Wahyu yang hilang Negeri yang Guncang
Judul buku : Wahyu yang Hilang, Negeri yang
Guncang
Penulis :
Onghokham Kata Pengantar : Goenawan Mohamad
Penerbit : Pusat Data
dan Analisa TEMPO bekerja sama dengan Freedom Institute dan LSSI, Jakarta
Cetakan : Pertama, Mei
2003 Tebal : xv+380 halaman
Ketika kekuasaan menjadi bagian dari panggung
politik, maka kekuasaan adalah hal mutlak. Kekuasaan menjadi bagian yang tak
terpisahkan [salah satu hal pokok] dalam strategi politik membangun masyarakat
berdasarkan impian dan keinginan penguasanya. “Kekuasaan Cenderung
Korup”, serta Lontaran-lontaran yang lain nyaring terdengar
dalam pendengaran kita. Suara-suara yang nyaris kosong tanpa makna, selalu mengusik
dan akhirnya membuat semua membelalakkan mata hati kita atas tingkah polah elite
politik kita. Sebuah tanda tanya besar yang akhirnya muncul dalam benak
penilis, “ketika kekuasaan diselewengkan dan dimanfaatkan semau
gue?”. Bahkan penulispun menganggap [penyelewengan] kekuasaan dengan
sekehendak hati adalah potret ”biasa” di bumi Nusantara !!!!.
Melalui
cerita yang diramu oleh seorang Onghokham, kita bisa membaca album kenangan
kekuasaan Indonesia dari dari yang dramatis hingga tragis dalam konteks politik,
ekonomi, kebudayaan, dan lainnya yang selalu hangat untuk diperbincangkan. Di
tangan “terampilnya” nukilan peristiwa masa lampau seolah menjadi baru dan kredible
[kembali] . melalui “pengakuan” Goenawan Mohamad dalam pengantarnya menyatakan,
Paman Ong adalah orang penting. Apa yang menyebabkan Paman Ong penting adalah
bahwa ia, seraya memberi komentar tentang sesuatu yang tengah dihadapi masyarakat
Indonesia, menawarkan “pandangannya” sebagai seorang sejarawan—seorang yang
empunya pemelaahan masa lalu yang hebat. lanjutnya, lebih menarik lagi, sikapnya
bukanlah mengemukakan tesis bahwa ”sejarah berulang”. Dalam tulisan-tulisan
Paman Ong sebagaimana dapat diamati dalam buku ini, jelas bahwa masa silam tidak
mungkin sama dengan masa kini.
Juga Paman Ong tidak hendak menunjukkan kepada kita apa yang sudah jadi ”klise”
(biasa): bahwa kita harus belajar dari masa lalu. Sebab dengan mengemukakannya
dalam kolom-kolom pendek, semacam sketsa yang selintas, tulisan-tulisannya yang
tanpa pretensi menggambarkan bahwa ia mengetahui semuanya (hlm. xiv).
Semacam inilah pokok pikiran dalam buku karya Paman Ong yang semua naskahnya
semula merupakan kolom-kolom yang pernah dipublikasikan majalah Tempo tahun
1976 hingga 2002. Gambaran tanpa pretensi itu dapat ditemui, misalnya, dalam
artikel Wahyu dalam Sejarah Raja-raja Jawa (hlm. 9). Begini ia bercerita
”Beliau adalah Yang Maha
Sempurna yang jadi raja di dunia seperti nabi zaman dahulu”. Dengan kata-kata
itulah Susuhunan Pakubuwono IX melukiskan Sultan Agung,
Raja
Mataram abad ke-17. Seakan-akan nenek moyangnya yang masyhur ini adalah titisan
para nabi—bahkan Tuhan sendiri. Tentu ke-Tuhanan menitis pada raja tidak
secara badaniah, tetapi secara spiritual. Artinya, raja adalah penerima
wahyu Tuhan yang terkenal sebagai wahyu kedaton (kerajaan).”
Melalui
pelukisan ini Paman Ong hendak menjelaskan bahwa legitimasi kekuasaan raja Jawa
sering didasarkan pada wahyu kerajaan yang diterimanya. Konsep ini lebih dominan
daripada konsep legitimasi berdasarkan hak-hak lain, misalnya keturunan. Konsep
wahyu, di satu pihak, menjelaskan kekuasaan mutlak raja dan menganggap perlawanan
terhadap dia sebagai perlawanan terhadap Tuhan.
Tetapi,
di lain pihak, konsep ini juga menjadikan kedudukan raja tidak stabil. Sebab,
wahyu dapat berpindah setiap waktu dan datang pada siapapun juga. Kekuasaan
raja menurut konsep ini reinkarnatif.
Paman
Ong bercerita juga tentang Terbentuknya Kapitalisme di kalangan Peranakan Tonghoa
di Jawa (hlm. 112) untuk menjelaskan bagaimana awal mula kalangan Tionghoa dapat
menguasai perekonomian, khususnya, di Jawa yang sering dikatakan bahwa sukses
orang Tionghoa di Indonesia disebabkan karena mereka bekerja keras dan hidup
hemat.
Padahal
ada juga petani yang bekerja keras dan hidup lebih hemat daripada usahawan kota
yang menjadi jutawan, namun petani tetap tidak bisa jadi jutawan. Mengapa? Diceritakan,
bahwa ”… faktor pertama yang menonjol mengenai kedudukan orang Tionghoa, sejak
adanya Belanda dengan VOC-nya di Indonesia, adalah bahwa golongan ini dikembangkan
sebagai golongan pedagang.Kedua bangsa ini, Belandan dan Cina, datang untuk
berusaha di Indonesia. Kebersamaan antara keduanya dibentuk sejak mula.
Meskipun
pada permulaan zaman VOC (awal abad ke-17) orang Tionghoa sebenarnya tetap merupakan
bangsa asing bagi Belanda. Namun ia dipercaya oleh Belanda sebagai kawan dalam
berdagang. Bahkan pacht dipercayakan kepada Cina. Pacht adalah salah satu sumber
keuangan yang penting sejak zaman VOC sampai ke pemerintahan Hindia-Belanda”.
Pacht
adalah suatu sistem
di mana monopoli atau hak pajak penguasa politik, Belanda maupun Jawa, dijual
kepada para pedagang (orang Tionghoa) dalam lelangan umum. Dengan demikian penarikan
pajak, bea-cukai, penjualan candu, pegadaian, pengangukutan, penyeberangan melalui
sungai, pengambilan sarang burung, pajak pasar, pembuatan garam, dan lain-lain,
yang dianggap monopoli pemerintah, dijual untuk jangka waktu satu tahun atau
lebih pada pedagang-pedagang Tionghoa dan dilaksanakan oleh mereka (hlm. 114).
”Mendengar” cerita Paman Ong dalam buku ini bukan semata ”mendengar” dongeng.
Hikmah-hikmah atau pesan penting diungkap secara lugas dan keterkaitan-keterkaitan
sejarah dijelaskan secara lugas.
Comments