Dokumentasi Sastra Melayu Tionghoa

Dokumentasi Sastra Melayu Tionghoa

Kali ini Indonesia Media mencoba menyuguhkan artikel tentang Sastra Melayu Tionghoa, yang nyaris lenyap begitu saja. Mungkin untuk kaum awam atau generasi muda banyak yang tidak sempat mengetahui bahwa begitu kayanya kebudayaan Sastra Indonesia (Melayu) yang bermesraan dengan sastra dan pengaruh budaya dari segala penjuru dunia. salah satunya adalah sastra Melayu yang berkombinasi dengan sastra dan budaya Tionghoa. dalam kesempatan ini Indonesia Media menggapai tokoh penulis yang tidak asing lagi untuk pembaca IM yaitu Myra Sidharta yang menulis "Mysteri Pura Tanjung Sari" pada IM terbitan bulan Maret kemarin. Beliau juga pernah bersilahturahmi ke Los Angeles memberikan seminar dan bertatap muka dengan masyarakat Indonesia di Los Angeles dan pernah berdialog dengan staff Indonesia Media. Berhubung artikel ini cukup panjang maka kami akan bagi untuk 2 kali penerbitan. Beberapa bagian dari tulisan ini bernarasumber dari Ibu Myra sendiri dan Mathias Hariyadi (Kompas).

Myra Sidharta


Myra Sidharta

MESKI diucapkan dengan lirih, kegembiraan yang meluap di lubuk hati Myra Sidharta (73) alias Ew Yong Tjhoen Moy, tampak nyata. Ini berkaitan dengan terbitnya Keppres No 6/Tahun 2000 yang mencabut Inpres No 14/Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Tionghoa.

''Keputusan Presiden Gus Dur itu bisa menjadi awal baik untuk menggali kekayaan sejarah, kebudayaan, dan kesastraan Melayu Tionghoa," ungkap pemerhati kebudayaan dan kesastraan peranakan Tionghoa yang akrab dipanggil Moy ini sambil tertawa lebar.

Tentulah kegembiraan Moy itu mencapai klimaksnya, ketika buku Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia Jilid I diluncurkan pertengahan Februari lalu di Bentara Budaya Jakarta (BBJ). Peluncuran buku ini menandai dibukanya pameran Buku-buku Sastra Melayu Tionghoa di tempat sama. Ia gembira, karena materi buku setebal 519 halaman terbitan Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) bekerja sama Yayasan Adikarya IKAPI dan The Ford Foundation ini banyak diambil dari buku-buku koleksi perpustakaan pribadinya.

''Jauh lebih berguna meminjamkan, bahkan bila perlu memberikan buku-buku koleksi saya tentang Sastra Melayu Tionghoa kepada penerbitan dibanding hanya menyimpannya di almari. Di situ paling-paling akan ditutupi debu halus, lalu dimakan ngengat," kata Moy.

BUKU-buku koleksi itu sebetulnya sudah ada yang mengincar. Awal tahun 1990 perpustakaan Cornell University sempat melirik buku-buku koleksinya dan berniat membelinya.

''Saya ndak mau kasih. Tiga anak saya, apalagi Amir Sidharta, juga tak setuju. Katanya, 'Koleksi itu 'kan jadi salah satu identitas Mami!' Begitu protes mereka agar saya tak melepas buku-buku itu," ungkap Moy menunjuk Amir Sidharta, sebagai kurator galeri.

Sebaliknya, Moy merelakan koleksinya dipinjam para mahasiswa Fakultas Sastra UI Jurusan Sastra Tionghoa, tempatnya mengajar puluhan tahun, sebagai bahan studi atau keperluan membuat tesis. Namun, ya itu tadi, desah Moy dalam-dalam, sudah jadi penyakit orang Indonesia yakni suka meminjam buku cepat-cepat, tetapi ketika ditagih untuk segera mengembalikan suka mangkir dengan seribu alasan.

Myra Sidharta sewaktu berkunjung ke L.A.''Saya pernah mangkel terhadap mahasiswa. Suatu kali saya mau boarding naik pesawat ke luar negeri, tiba-tiba saya ingat seorang mahasiswa membutuhkan buku saya untuk bahan tesisnya. Saya sudah rela repot-repot meninggalkan pesan kepada orang di rumah agar buku itu diberikan kepadanya, eh dua tahun setelah selesai S-2 buku itu baru rela ia kembalikan kepada gurunya," katanya. ''Satu lagi yang konyol. Satu buku dipinjam seorang mahasiswa, tahu-tahu ia terjemahkan buku itu dan kemudian mempublikasikannya dalam bentuk buku.

''Ya sudah, daripada repot urusan itu jauh lebih baik koleksi ini saya sumbangkan agar orang lain bisa menerbitkan bahan-bahan ini menyusul terbitnya buku Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia," jelasnya tentang motivasi menghibahkan 1000-an bukunya kepada BBJ beberapa pekan lalu.

Jumlah itu baru sebagian saja. Nenek lima orang cucu dengan daya ingat luar biasa ini mengajak Kompas melihat-lihat koleksinya. Di lantai dasar rumahnya yang asri, persis di atas turap bibir Kali Krukut di Jl Prapanca Raya, Jakarta Selatan, setumpuk buku kuno tersimpan rapi di tiga almari besar. ''Almari ini untuk buku-buku sastra Melayu Tionghoa, satunya untuk buku-buku tentang Tionghoa, lainnya khusus untuk buku-buku soal perempuan. Sementara almari-almari di lantai atas khusus untuk psikologi, fiksi, dan lainnya," kata istri Prof Dr Priguna Sidharta, dokter ahli syaraf, yang selama wawancara berlangsung ikut menemani dari atas kursi roda.

''Yang saya lakukan ini mengikuti jejak suami saya yang juga telah menghibahkan ribuan buku tentang studi kedokteran kepada Universitas Atmajaya. Saya kenal dia dalam sebuah pesta dansa. Dia tengah belajar spesialis syaraf di Leiden, sementara saya di Amsterdam. Kami menikah pada 31 Januari 1953 di Oegstgeest dan mendapat tiga anak: Sylvia, masih lajang dan kini di Australia; Julie di AS; dan si bungsu Amir," jelas Moy.

''Saya suka dia, karena Moy pintar bahasa asing," ungkap Prof Sidharta alias Sie Pek Giok menyambung Moy yang mahir berbahasa Jerman, Belanda, Perancis, Mandarin, Hokkian, Melayu Malaysia, dan tentu saja Inggris.

***

KISAH Moy yang mencintai kesastraan Melayu Tionghoa berjalan seiring dengan sejarah hidupnya. Itu tampil jelas dalam naskah otobiografinya berjudul In Search of My Ancestral Home yang ia tulis. Di situ ia mengisahkan betapa mendiang kakeknya sangat berharap agar Moy jangan sampai kehilangan identitasnya sebagai seorang peranakan Tionghoa. Maklumlah, kata Moy, kakeknya adalah seorang Khe imigran asal Meixian, Propinsi Guangdong, RRT, yang sejak tahun 1872 memutuskan menetap di Belitung (Sumsel) demi penghidupan yang lebih baik. Tahun 1895 sang kakek menikah dengan gadis Khe lokal bernama Chung Ah Kee.

Desakan itu dilakukan antara lain dengan menyuruh Moy belajar bahasa Mandarin. Hal yang sebenarnya secara kebetulan bisa dilakukan Moy, karena di rumah kakeknya waktu itu tengah mondok gratis seorang perempuan guru bahasa Mandarin. Bersama sepupunya Moy belajar bahasa Mandarin pada awal masa pendudukan Jepang.

''Studi saya maju. Kakek begitu bangga kepada saya hingga suatu kali saya berani menunjukkan tulisan saya. Tiba-tiba ia berkomentar begini, 'Nah, kamu kini bisa menunjukkan kepada banyak orang, meski kamu didikan Belanda namun toh kamu tetap bisa menjadi seorang gadis Tionghoa yang baik.' Kakek mengatakan itu, karena beliau mencemaskan kami yang telah berpendidikan Belanda ini suatu kali akan kehilangan cita rasa dan identitas ketionghoaan kami," ungkapnya.

Begitulah Moy yang selama puluhan tahun rela nongkrong berjam-jam di Pasar Senen, Jakarta Pusat, memburu buku-buku kuno kesastraan Melayu Tionghoa. Kebiasaan berburu buku itu terpaksa ia tinggalkan, karena tahun-tahun terakhir ini otot-otot kakinya sudah tak kuat lagi menahan berat tubuhnya setiap kali harus lincah bergerak kala menyusuri lorong-lorong gelap dan sempit di pasar loak Senen. ''Satu lagi, saya trauma karena di situ pernah sekali waktu saya hampir kecopetan," jelas perempuan kelahiran Belitung 1927.

Selain di Pasar Senen, Moy juga berburu buku ke Muara Karang, Jakarta Utara. ''Kebetulan di situ ada pedagang langganan saya. Namun, tak jarang saya harus beradu cepat dengan Library of Congress AS yang juga berminat. Namun, mereka juga sering membantu saya mendapatkan buku-buku itu," tambah Moy. (Bersambung ke edisi berikutnya)

LULUS sebagai psikolog dari Rijks Universitet Leiden, namun garis sejarah Moy menentukan lain: menjadi pemerhati kesastraan Melayu Tionghoa. Itu sebabnya ia juga tak lama bertahan membuka praktik psikologi. ''Saya capai, memberi konsultasi berjam-jam. Barangkali karena tak pernah nyuntik dan memberi obat, para pasien lalu tak mau bayar," katanya geli.

Namun, sejumlah buku psikologi lahir dari tangan Moy. Taruhlah Menuju Kesejahteraan Jiwa (bersama MAW Brouwer, 1984), Rumah Sakit dalam Cahaya Ilmu Jiwa (1983), dan Penilaian Psikologis terhadap Anak-anak dengan Brain Disfunction (1973). Selebihnya, buku atau makalah kesastraan Melayu Tionghoa seperti The Making of the Indonesian Chinese Woman (1984), 100 Tahun Kwee Tek Hoay (1987), Khoo Phing Hoo, Writer of Kungfu Stories in Indonesia (1991), Jakarta Through the Eyes of Ko Put On (1995).

''Yang pasti, saya takkan berhenti menulis," katanya.

Comments

Popular posts from this blog

Jalur Pendidikan HBS - Hogereburgerschool

Kampung Arab Pekojan

Tjakrabirawa di malam kelam 1 Oktober 1965