Romansa Perjalanan Bangsa
Romansa perjalanan bangsa kita memang unik. Berapa
kali kita merasakan terapan-alias uji coba demokrasi yang pernah kita
lalui. Apakah kita juga merenungkan
bagimana prinsip dan sikap para pejuang bangsa yang berusaha tegas dalam
menggodok Undang-undang dasar negara ini agar tidak bersifat agamis dan memilih
menjadi non agamis. Sudahkah kita, menghargai para founding fathers kita ?
atau hanya sekedar berpolemik mempermasalahkan
pilihan politik, atau mungkin seputar papan karangan bunga ?
Ingatkah kita pada sosok “The Smiling General“ yang pernah menorehkan Indonesia pada masa
kejayaan dalam sosok kediktatoran militer. Dari sana pula, kita mengetahui berapa
banyak kekayaan ekstrem para lapisan atas, yang pada akhirnya piawai membidani konglomerasi
dan penyakit kroniisme. Saat itu, kita mulai berkenalan dengan lapisan baru
sekelompok kecil dalam masyarakat alias “Oligarki”
yang dibangun secara bertahap dengan bahasa retorika pembangunan bangsa. Fokus
utama dalam tahap ini hanyalah mengeruk kekayaan nasional yang bisa disalurkan
untuk menyogok para pesaing potensial ditubuh angkatan bersenjata. Di awal
tahun70an, terbentuklah awal kemitraan bisnis antara etnis Tionghoa dan para
jenderal, dilanjutkan dekade 80an, dengan menggandeng lebih banyak pebisnis dari
kalangan pribumi Indonesia. Kombinasi yang menggurita, mengantar strategi
kekayaan sebagai sumber daya kekuasaan paling ampuh dalam mempengaruhi hasil
politik. Terbukti orde baru menguasai Indonesia selama 32 tahun.
Namun ada juga yang melemahkan orde baru, ketika
kapasitas anak-anak Soeharto yang tumbuh dan tidak bisa dibendung dalam hal
meminta hak kepemilikan dan mengurus segala macam bisnis dengan alasan
pemerataan perekonomian mulai tidak terkendali. Titik batas akhir muncul ketika
Soeharto mulai menyiapkan beberapa anaknya untuk maju dalam suksesi politik
serta momentum yang tidak menyenangkan menjelang krisis finansial 1997. Semua
bergerak meninggalkan kesaktian Soeharto, mahasiswa mulai merapatkan barisan di
jalan dan Soeharto tak lagi terlindungi diikuti politik mulai rapuh. Rezim runtuh
dan terbentuklah sebuah demokrasi baru.
Wajah dan isi negara kontan berubah banyak. Suhu
politik, sosial dan ekonomi bergejolak menghantar hadirnya era reformasi dengan episode baru dan ciri tersendiri. Reformasi sebagai kontra rezim
otoriter. Kebebasan hampir dirasakan disetiap
aspek kehidupan, banyak pemain baru menyuarakan moralitas untuk sebuah
perubahan. Atas nama rakyat kecil ,tertekan dan tidak diperhitungkan berteriak kebebasan berpendapat demi meninggikan nilai-nilai kemanusiaan yang
telah diberangus. Walau tidak dipungkiri, kenyataannya saat ini aspirasi rakyat
tidak sepenuhnya tersuarakan. Keterwakilan selalu bagi yang memiliki uang, kontrol
propaganda selalu milik kekaisaran media , jaringan dan posisi di partai
politik sebatas tawar menawar dan itung itungan kampanye supaya mampu dititik
impas, bahkan menikmati keuntungan menjadi dewa sakti. Sebagai pelengkap hidangan politik, perlu menyewa sentuhan agen
komunikasi politik yang piawai, mampu memainkan jurus-jurus marketing politik melebihi peluncuran
produk baru dalam dunia usaha. Paket lengkap bagi pemain kontestasi
politik. Wajah demokrasi ingin dibedah supaya cantik jelita, namun salah kaprah demokrasi tetap buruk rupa buruk cermin dibelah. Sebut saja kejadian baru-baru
ini, bagaimana kursi panas DKI satu diraih. Kekerasan sebagai letusan kristalisasi ketidakpuasan, saling menyudutkan dan menyalahkan
pribadi serta memanipulasikan gelombang besar politik islam fundamentalis
berbalut sentimen agama yang dikemas bagai cerita drama heroik.
Apakah begitu keadaan bangsa kita yang notabene cukup
toleransi. Dibalik junjungan “Pluralisme”
yang salah kaprah kita harus mengatakan “Ia”
kepada setiap isu toleran yang permisif, alias toleransi yang bersifat negatif. Apakah
kita harus mengatakan“Ia” kepada korupsi
yang jelas-jelas nyata didepan mata kita terjadi. Bukankah korupsi adalah bulan
madu penyalahgunaan kekuasaan penyalur hasrat rakus setelah seremonial akad bagi-bagi kue pesta. Miris memang, masalah korupsi atau banjakan sudah merusak lini kehidupan
masyarakat, mulai dari tukang catut amatiran sampai pemburu rente kelas kakap.
Semangat kegotong-royongan seolah sudah tergantikan dengan semangat ke-upahan
alias “Wani Piro”. Sungguh bangsa kita masih dijajah dengan mental feodalisme di era globalisme.
Romansa
bangsa kita jangan ditutup dengan cerita pilu. Kerikil-kerikil masih bertebaran
sepanjang perjalanan berbangsa dan bernegara. Wajah-wajah baru koruptor,
penghisap rente, penyebar kebencian, pemecah belah persatuan, akan terus hidup
silih berganti merusak dan menghancurkan sumsum kehidupan bangsa dan negara.
Mari kita tinggalkan tindakan politik devide
et impera, adu-domba, diskriminasi, pembenaran serta kembali merenungkan akan makna Pancasila sebagai way
of life bangsa Indonesia dengan semangat berbangsa yang berkebhinekaan.
-->
NKRI
harga mati.
Comments