NIlai Afeksi sebagai bekal SDM Indonesia maju
Pembangunan SDM yang tangguh, berdaya saing, berkeativitas tinggi, mampu bersaing di tingkat internasional, tidak tertinggal oleh disrupsi teknologi, tidak luntur oleh globalisasi, bahkan mendorong pertumbuhan negara itu adalah “Sesuatu , alias “Oke banget” ! tapi bakalan “Wacana only” kalau tidak ada penguatan moderasi kerukunan umat beragama alias penyediaan layanan keagamaan yang adil dan merata. Bukan sebatas pemaksaan terselubung hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan dalam menerapkan SDM Indonesia. Pembangunan SDM tidak boleh melihat suku, agama, ras, dan antargolongan.
SDM adalah kekayaan yang tak terhingga bagi NKRI, janganlah terkontaminasi oleh pemikiran primordial. (Apalagi jika sudah dipoitisir). Tapi mungkin masih bisa terselamatkan dengan Langkah kongkrit merubah benang kusut dalam pendidikan formal Indonesia, dengan mengajarkan semangat gerakan pluralisme dalam kelompok itu sendiri. (Karena lebih mudah untuk merubah pola pikir suatu kelompok jika dimulai dari anggota dalam kelompok itu sendiri).
Dari pendidikan formal kita mengharapkan adanya output SDM Indonesia yang berkarakter terampil, berpendidikan serta cerdas. Dan sudah pasti peka dengan issue-issue promordial yang merusak persatuan. Sehingga cerdas dalam bermasyarakat.
Salah satu solusi yang paling mudah dilakukan jika kita berbicara soal SDM, adalah menempatkan pendidikan agama berbasis afeksi yakn budi pekerti yang baik, kepribadian dan keterampilan dalam mengamalkan ajaran agama masing-masing dalam kehidupan bermasyarakat sejak pendidikan dasar.
Pendidikan agama di sekolah bukan semata-mata mempelajari esensi berteologianya, yang pada akhirnya kerap menimbulkan konflik sosial atas nama agama alias penyakit “Plural Society" & Konflik Identitas. Namun pendidikan agama sebagai cara pembentukan karakter “values education” dalam bermasyarakat.
Dus, Negara mampu menghasilkan SDM unggul dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi juga menghasilkan SDM berkualitas dalam jati diri, karakter dan kepribadiaan.
Last but not least, Jadi teringat tulisan Bp Komaruddin Hidayat (Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah) yang mengatakan ada ungkapan “ Yang agama jangan dibudayakan, yang budaya jangan diagamakan “ ( Inilah yang suka mengundang permasalahan dalam berinteraksi dengan sesama., sehingga kita lupa bahwa kita tidak hidup dalam batasan Halal dan Haram)
Marilah kita memiliki tanggung jawab dan rasa memiliki terhadap masa depan Indonesia. Bangun SDM kita yang cerdas.
Comments