Legalitas kekerasan atas nama agama (1)
Tapi pelaku agama, tetap seorang pribadi yang memiliki kecondongan berbuat jahat dan jatuh dalam dosa. Meraka banyak berserakan dan mudah dijumpai, berciri khas tidak jelas pemahaman ajaran agamanya.
Tanpa disadari mereka merasa eklusif karena milik Tuhan, merasa sudah paling dekat Tuhan dibanding insan-insan berdosa yang belum terselamatkan alias yang belum mendapat hidayah dalam hidup. Tak heran kumpulan seperti ini, gemar memperoleh ilmu agamanya secara instan serta didapat dari nara sumber yang tidak jelas.
Semua keburukan bercirikan ekslusifitas itu menjadi satu cerminan penyakit sosial keagamaaan. Bagaikan demand dan suply dalam rumus ekonomi, menghasilkan titik equilibrium yang tepat antara titik kebodohan arogansi beragama dan titik pengikutnya yang tidak disadari serta terus menerus tak bisa diobati. Sehingga menghasilkan suatu siklus baru dalam beragama.
Mereka tersesat dan menyesatkan pemahaman agama umat, sehingga penampilan wajah keberagamaan berubah menjadi sangar, menakutkan, jauh dari keselamatan, dan kasih sayang.
Apa yang diyakini dalam bathin sebagai nilai juga terungkap dalam sikap hidup. Ini menjelaskan apa yang akan kita lakukan ketika bersikap dan berbuat. Antara nilai agama yang dianut akan mencerminkan kata dan perbuatan. Agama rawan dipakai sebagai legitimasi membenarkan sikap dan perilaku. Inilah hal yang menjadikan mengapa ada kekerasan atas nama agama.
Berbuat Kejujuran, ketulusan hati, kelemah-lembutan, pengendalian diri dan berbagi kebajikan memang bukan monopoli orang beragama. Namun harus diakui, agama memegang peranan penting dalam menggerakkan perilaku moral kita. Jika interprestasi yang salah terhadap teks-teks agama terus berlanjut dan tidak bisa dikendalikan, agama akan menjadi bentuk legalitas kekerasan yang diyakini bahwa mereka bertindak atas nama Tuhan.
Comments