"SOS !" Pancasila

Sos “ Pancasila

Harian Kompas hari ini memuat tulisan Romo Magnis tentang Pancasila . Tulisan ini menginspirasi saya untuk sekedar “Mikir - mikir”’ tentang Pancasila dari prespektif pribadi dan kebetulan juga pas sekali, besok adalah hari memperingati Lahirnya Pancasila.

Bicara Pancasila, pengalaman dulu saat masih berstatus pelajar di era Orde baru, pastilah kental dan hapal luar dalam soal Pancasila. Ingat saat itu “framing“ P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) atau Ekaprasetia Pancakarsa sangat populis. ( santiaji buat pegawai negri😃) 

Seluruh organisasi apapun harus menerapkan Pancasila sebagai asasnya. Termasuk dalam kegiatan orientasi siswa-siswi baru setingkat lanjutan atas bahkan mahasiswa perguruan tinggi wajib mendapatkan pengarahan P4. 

Sementara untuk anak didik dibawah itu , P4 lebih dulu diajarkan melalui mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) yang pertama kali diatur dalam Kurikulum 1975. 

Intinya Pancasila saat itu bukan sekedar dasar falsafah negara yang dikeramatkan dalam naskah UUD, melainkan Pancasila harus diamalkan. 

Ibarat air yang mengalir dari hulu ke hilir Pancasila harus bisa menginspirasi seluruh aspek kehidupan bangsa. Penjabaran Pancasila diciptakan lebih detail dengan istilah butir-butir pengamalan Pancasila yang terkandung di setiap sila tersebut. Butir-Butir Pengamalan Pancasila pertama kali diatur melalui Ketetapan MPR No.II/MPR/1978. ( Setelah era reformasi, Butir-Butir Pengamalan Pancasila disesuaikan berdasarkan Ketetapan MPR No. I/MPR/2003. ). 

Namun porsi penyalahgunaan Pancasila menjadi salah satu kelemahan. Penataran P4 berubah fungsi lebih menjadi alat kampanye ideologi yang paling berhasil yang pernah dilakukan di Indonesia. Metodologi penataran sudah dipolakan dan bersifat baku sehingga tidak mungkin diubah tanpa persetujuan BP7. 

Singkat cerita, Pancasila di era Orde Baru tidak sekedar dijadikan sebagai pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara, melainkan dijadikan mantra keramat bahkan alat politik untuk melegitimasi kekuasaan semata. Pancasila sebagai dasar negara malah diredusir, disalahartikan dan disalahgunakan sebagai simbol kekuasaan.
 
Masuk periode awal reformasi , adalah masa yang dianggap sebagai masa “Bersih-bersih” dari  apapun yang berbau Orba termasuk penghapusan  P4. 

Seiring perjalanan waktu, otomatis tidak ada lagi indoktrinasi Pancasila. Namun ini pun mulai menuai masalah baru. Penerapan asas tunggal Pancasila di semua organisasi masyarakat dan parpol kendor serta hilangnya cerita- cerita & nilai-nilai luhur yang terkandung dalam sila-sila Pancasila kepada generasi muda bangsa. Kepopuleran akan Pancasila itu sendiri pelan-pelan mulai tergerus seolah sesuatu yang sudah ketinggalan jaman lantaran stigma warisan Orba. Nyaris anak muda sekarang tidak hapal urutan sila. 

Secara tidak langsung terjadi proses de-ideologisasi Pancasila akibat trouma akan kepemimpinan orba. Bangsa kita sekarang mulai terhisap pada pusaran pertarungan ideologi fundamentalisme pasar dan fundamentalisme agama yang tengah bereksperimen secara agresif di tengah-tengah masyarakat kita saat ini. 

Masalah yang kita hadapi sekarang bukan lagi indoktrinasi Pancasila melainkan berhadapan dengan issue radikalisme identitas, krisis kebangsaan,keadilan. Krisis kebudayaan dls . Seiring dengan ini pula tumbuh gerakan anti -Pancasila yang pelan-pelan berkembang subur, serta organisasi masyarakat yang mengatas namakan agama kerap melakukan kekerasan. 

SOS Pancasila (2) 
Narasi diatas sedikit menceritakan proses perjalanan bangsa kita yang ternyata diwarnai dengan berbagai macam tantangan terhadap Pancasila itu sendiri. 

Pancasila ini selalu dijadikan semcam justifikasi untuk keperluan-keperluan sesaat. Padahal kita sepakat bahwa Pancasila itu adalah way of life kalau kita adalah warga negara plus 62  ini  ! 

Pancasila merupakan pandangan hidup bangsa Indonesia, berfungsi sebagai norma, pegangan hidup, pedoman hidup dan petunjuk arah bagi kehidupan bangsa Indonesia . 

Pancasila seharusnya bisa dijadikan tujuan akhir dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Indonesia karena sangat cocok dengan keragaman suku, agama dan ras di bumi pertiwi ini. Pemikiran akan Pancasila adalah salah satu pemikiran yang brilian untuk sebuah negara yang pluralis.

Namun apakah Pancasila itu masih dirindukan?  Apakah sekarang kita hanya berteriak  “ SOS “Kembalikan  “Pancasilaku” kami ingin hidup sesuai dengan amanah 5 sila yang terkandung “ dimana ada rasa Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan sosial ? 

Mungkin langkah awal sederhana adalah  pemikiran Pancasila harus dipikirkan ulang sebagai way of life bangsa, bukan Pancasila yang pernah salah kaprah. Selanjutnya jangan menukarkan Pancasila agar sejajar dengan akidah agama.  Disini saya sangat cocok dan sepakat dengan ulasan Romo Magnis perihal posisi Pancasila dan agama. 

Dus logikanya, justru dengan kita beragama, pastilah nila-nilai ketuhanan itu melekat dalam diri kita dan pasti  mencerminkan sikap Pancasila itu sendiri. Seperti yang dikatakan oleh Romo Magnis dalam artikel beliau haru ini.
“ Manusia Indonesia bukan beretika dan beragama karena ia Pancasila , melainkan Ia ber”’Pancasila”karena ia beragama dan beretika “ 

Jelas sekarang , agama dan Pancasila  saling dukung dan saling menguatkan. Pancasila mengakui agama dan juga agama mengapresiasi nilai-nilai Pancasila. Pancasila memberi ruang yang luas bagi agama. Nilai ketuhanan yang terkandung dalam Pancasila adalah inti ajaran agama. Sementara itu agama menilai positif pada isi Pancasila karena tidak bertentangan dengan doktrin agama. Menghormati setiap agama/kepercayaan yang ada di Indonesia, menjaga toleransi adalah hal awal yang esensi dalam mengobati kebobrokan intoleransi dan ekslusifitas dalam beragama apalagi mabuk beragama. 

Mungkin, pengamalan  Pancasila belum sepenuhnya bisa diamalkan pada masyarakat Indonesia karena Pancasila hanya dianggap sebagai jargon. Justru orang yang beragama yang bisa meyakini Pancasila karena 5 silanya amat sesuai dengan ajaran agama . 

Pancasila itu ada dalam kehidupan orang yang bergama. Jadi yang perlu kita koreksi adalah seberapa baiknya kita menjadi orang yang beragama supaya bisa menjadi Pancasilais. Ujung-ujung sebagai negara Pancasila, keberagaman bukanlah penghalang untuk bisa bekerjasama dalam mewujudkan Indonesia yang lebih baik. Jadi tidak perlu ada kekerasan atas nama agama. 

#pustakaaristoteles

Comments

Popular posts from this blog

Jalur Pendidikan HBS - Hogereburgerschool

Kampung Arab Pekojan

Tjakrabirawa di malam kelam 1 Oktober 1965