Malam Imlek
Malam Imlek
Malam itu, hujan turun perlahan di kota kecil dekat semenanjung, membasahi atap genteng rumah besar milik Tuan Lim.
Lampion merah yang tergantung bergoyang pelan kena angin basah, cahayanya memantul di air genangan halaman depan. Orang-orang tua bilang, hujan di malam Tahun Baru itu tanda rejeki besar. Titis hujan malam itu macam membawa berkah yang tak putus-putus.
Di dalam rumah, suasana hangat dan ramai. Bau ikan kukus dengan jahe sama bawang putih semerbak di udara, bercampur dengan wangi dupa yang dibakar di altar leluhur. Meja bundar dari kayu jati penuh dengan makanan khas Imlek.
Tepat jam tujuh malam, semua keluarga sudah kumpul di sekitar meja, muka-muka mereka berseri-seri menyambut malam Tahun Baru.
Ada mie panjang umur yang masih beruap, pangsit kukus yang empuk, ayam rebus utuh, kue keranjang di piring porselen biru, sama sepiring besar jeruk keprok. Semua makanan terhidang mewah, katanya biar bawa rejeki banyak, panjang umur, sama bahagia sepanjang tahun depan.
Njonja Lim, dengan kebaya sutra merah berhias motif burung hong yang anggun, berdiri di tengah ruang tamu besar.
Matanya mengamati meja bundar besar di tengah ruangan, memastikan sekali lagi semua hidangan di atas meja, termasuk piring dan mangkuk porselen motif kuning biru sudah disiapkan. Ia kemudian menoleh ke arah seorang pelayan perempuan yang berdiri di sudut ruangan.
“Kim Nya! Cepat ambil sumpit makan dari dapur. Jangan sampai orang-orang tunggu lama-lama!” perintahnya dengan nada tegas namun tetap terjaga wibawanya.
Ada meja kecil di sudut ruang, teko besar berisi air jahe sudah siap, dikelilingi cawan porselen kecil yang tersusun rapi di atas nampan kaleng bermotif bunga.
Ah Hua, anak gadis Nyonya Lim, dengan rambut dikepang dua dan dihias pita kecil berwarna jambon di ujungnya, berdiri sambil memegang nampan di tangannya. Ia mengenakan gaun model baru berwarna jambon juga, paka kerah bulat bertatah renda halus. Lengan bajunya diberi renda kecil, sementara roknya melebar sederhana. Penampilannya sederhana tetapi manis sekali, memancarkan keceriaan seorang gadis muda.
Njonja Lim melangkah anggun, mempersilakan tamu-tamu yang sudah duduk di ruang makan. “Mari, semua, minum air jahe dulu, biar badan hangat. Malam ini anginnya masih terasa dingin,” ucapnya lembut, sambil tersenyum ramah kepada keluarga yang hadir.
Malam itu, tamu-tamu yang hadir adalah keluarga dekat, masing-masing membawa kehangatan tersendiri. Tio Pek, adik tertua suami Njonja Lim, duduk di ujung meja, sementara di sampingnya ada Nyonya Tio, istrinya. Di sebelah mereka, ada Nyonya Kim, adik perempuan Njonja Lim,yang tampil anggun dengan kebaya hijau zaitun berhias bordir bunga anggrek dan suaminya Kim Hia.
Tiba-tiba, terdengar suara deru mesin mobil dari luar. Pintu terbuka, dan Ah Bui, anak laki-laki Njonja Lim dan Tuan Lim, baru saja datang dari Batavia. Penampilannya mencuri perhatian, lantaran mengenakan jas putih penampilannya seperti amtenar Belanda.
Ah Hua, yang duduk di dekat meja, segera menghampiri kakaknya dan dengan cepat berkata, “Tapi Kakak masih juga pakai baju putih! Aiyaa, Kakak, kau tak dengar pantang kah?” Ah Bui, yang baru turun dari mobil dengan langkah tegap, hanya tertawa mendengar teguran adiknya.
Ah Bui, cepat tukar baju kau! Ini malam suka cita, bukan malam berkabung. Apa kau mau halau rejeki kita?” suara Nyonya Lim meninggi, dengan tatapan tajam ke arah anak sulungnya.
Ah Bui tertawa kecil. “Baiklah, Mak, jangan marah. Saya tukar sekarang. Takut nanti semua orang tak bisa tidur gara-gara saya.” Tak lama, ia muncul kembali dengan atasan kemeja merah tua berhias sulaman naga emas di bagian dada. Penampilannya kini lebih cocok dengan suasana, membuat semua mengangguk puas.
“Ah, baru betul macam anak Tionghoa kaya! Kau mau ikut adat atau tidak, Ah Bui? Mana bisa pakai putih malam begini,” kata Kim Cik, yang duduk sambil meneguk air jahe hangat dari cawan porselen.
Ah Bui tertawa kecil mendengar teguran itu. “Ah, Kim Cik, jangan khawatir. Saya sudah ganti kok. Takut nanti kalau saya tetap pakai baju putih, semua orang malah jadi susah tidur!” ujarnya sambil tersenyum santai, lalu duduk di dekat meja.
Suasana di meja bundar begitu hangat, sembari mulai ambil makanan. Mereka ngobrol tentang harapan untuk tahun baru yang datang. Pangsit kukus jadi petanda keberuntungan, ayam rebus utuh tanda kesatuan keluarga, ikan kukus bawa harapan kelimpahan, dan mie panjang umur yang tak boleh dipotong saat makan, adalah doa supaya sehat panjang umur.
Di luar, hujan perlahan mereda. Langit kini hanya menyisakan tetesan kecil yang membasahi dedaunan.
Tepat tengah malam, semua keluar ke halaman. Ah Bun memegang korek api, wajahnya berbinar penuh semangat. “Mak, lihat, hujan sudah berhenti! Nian takkan bisa sembunyi sekarang!” serunya dengan girang, sambil mempersiapkan diri untuk menyalakan petasan yang dibeli Ah Bui di Batavia.
“Sudah Mak bilang, hujan ini bawa rejeki. Lihat, sekarang langit kasi kita kesempatan untuk sambut tahun baru dengan sempurna,” ujar Nyonya Lim sambil tersenyum puas.
Tamu-tamu yang hadir ikut nimbrung, tertawa dan memberikan semangat. Tio Pek pun ikut menyela, “Bakar petasan, boleh usir pengaruh buruk dan sambut tahun baru dengan bahagia dan rezeki!” sementara Kim Cik menambah, “Petasan ni pasti bawa berkah, petasan bisa dbawa keberuntungan dan rezeki. Diharap dengan letusan keras dan cahaya yang memancar, rezeki datang sepanjang tahun. Kita tengok je nanti!”
Ah Bun menyalakan petasan pertama. Suara letusan keras menggema, diikuti percikan cahaya merah yang menerangi langit malam. Semua bersorak, lega karena berhasil “mengusir” roh jahat dan membuka jalan bagi rejeki yang baru. Lampion merah yang tergantung di halaman berayun pelan, memancarkan kehangatan ke wajah-wajah mereka.
Setelah selesai, keluarga kembali ke dalam rumah. Di ruang tamu, mereka duduk sambil menikmatin manisan buah, kacang, dan teh hijau hangat.
Ah Bun, yang mulai mengantuk, tetap berusaha terjaga. Ia memeluk mangkuk kecil berisi kue keranjang dan menatap lentera merah di luar jendela. “Kalau malam ini kita Shou Sui, tahun depan pasti lebih banyak rejeki!” katanya dengan suara pelan, membuat semua orang tertawa kecil.
Di tengah obrolan ringan, Tuan Lim tersenyum dan berkata, “Bagaimana kalau kita main mahjong? Malam Imlek belum lengkap tanpa sedikit peruntungan.”
Semua mengangguk setuju. Nyonya Lim menambahkan, “Betul, mari kita main. Tahun baru harus dimulai dengan penuh semangat dan harapan.”
Nyonya Lim mengangguk setuju. “Ayo, mari kita main. Semoga tahun baru membawa lebih banyak keberuntungan.” Sembari tertawa, tangannya terangkat sedikit dan dengan ceria mengucapkan, “Kiong Hee!” penuh semangat, memancarkan kebahagiaan dan harapan di malam itu.
Mereka pun segera ke meja mahjong. Tio Pek, Kim Cik, Nyonya Lim, dan Tuan Lim mulai menyusun bidak mahjong dan memulai permainan.
Tio Pek yang memimpin permainan, sesekali tertawa kecil saat melihat susunan bidak Kim Cik yang agak kacau.
Jangan terlalu serius, nanti malah kena batunya,” sambil melirik ke Nyonya Lim yang serius mencari kombinasi yang tepat.
“Eh, Kim Cik, hati-hati! Itu bisa jadi kebalik !” seru Tio Pek sambil tertawa, melihat langkah Kim Cik yang agak terburu-buru.
Nyonya Lim memandangi bidaknya dengan cermat, seolah-olah sedang merencanakan langkah terakhir. “Kalian belum tahu, nanti saya akan tiba-tiba menang besar,” katanya sambil tersenyum licik.
Dengan suara “tik-tik-tik” dari bidak yang dipasang, permainan semakin seru. Semua tertawa, ada yang pura-pura serius, ada mulai merasa panik.
Suasana malam itu semakin hangat, dengan permainan mahjong yang berlangsung hingga tengah malam, penuh tawa dan kebersamaan.
Akhirnya ada lagi bunyi petasan dari tetangga, letusan yang riuh dengan “kraakk”… “boom” yang menggema, bunyi dentuman kuat menyambut tahun baru dengan penuh kegembiraan.
Tak lama lepas itu, hujan pun turun lagi. Nyonya Lim tersenyum sambil melihat keluar jendela, menikmati bunyi hujan yang turun perlahan. “Lihat, hujan balik. Ini tanda rejeki datang lagi, tahun ini kita akan lebih diberkahi dan diberi umur panjang,” katanya dengan penuh keyakinan, memandang langit yang gelap seolah menyampaikan berkat di malam penuh harapan itu.
Dan akhirnya keluarga Tuan Lim melewati Shou Sui dengan sukacita menjelang imlek pergantian tahun.
Penulis: Lasasqi
#SelamatImlek #TahunUlar2025 #CNY2025 #Imlek2566 #LunarNewYear
*************
Menjaga Malam (Shou Sui/守岁)
Beberapa keluarga memiliki tradisi imlek begadang hingga tengah malam untuk menyambut pergantian tahun, yang dipercaya membawa umur panjang bagi orang tua.
Tio Pek: sebutan untuk paman tertua dari pihak suami.
Kim Cik: sebutan untuk bibi dari pihak istri, biasanya lebih muda. Aturan ini mencerminkan tradisi Peranakan semenanjung.
Comments