Rumah Politik Kita dalam Cermin Aristoteles

Rumah Politik Kita dalam Cermin Aristoteles




Bayangkan sebuah rumah besar bernama Indonesia. Dari luar, ia tampak kokoh dan megah. Namun ketika kita masuk, kita menemukan penghuni yang tak selalu hidup harmonis, partai-partai politik dengan wajah, luka, dan ambisinya masing-masing. Aristoteles dalam Politics menulis, “Man is by nature a political animal”[^1] , manusia hanya dapat mewujudkan kodratnya melalui kehidupan politik bersama. Tetapi ia juga menegaskan, polis tidak akan bertahan hanya dengan kekuasaan, melainkan dengan kebajikan moral yang menopang setiap penghuninya.

Di ruang tamu kita bertemu PSI, partai muda yang penuh energi dan percaya diri, lantang menyatakan, “Kami solid!”. Namun Aristoteles dalam Nicomachean Ethics mengingatkan, “The good for man is an activity of the soul in accordance with virtue”[^2]. Pertanyaan muncul, apakah soliditas PSI sudah merupakan areté, kebajikan yang matang atau hanya semangat remaja yang masih mencari bentuk?

Tak jauh dari sana terdengar keributan, itulah PPP, keluarga lama yang kini terpecah. Aristoteles menulis, “The city does not come into being for the sake of life only, but rather for the sake of living well”[^3]. Tanpa kesatuan tujuan, rumah politik berubah menjadi arena perebutan kepentingan pribadi. PPP menunjukkan bahwa sejarah besar tidak cukup untuk menopang keberlangsungan jika ego lebih kuat daripada visi bersama.

Di ruang tengah berdiri PDIP, penghuni terbesar dengan dinding kokoh. Ia masih menjadi pemenang suara nasional, tetapi noda kasus hukum dan renggangnya relasi dengan Presiden Jokowi membuat fondasinya retak. Aristoteles mengajarkan tentang phronesis, kebijaksanaan praktis yang menghubungkan prinsip dengan tindakan nyata. PDIP ditantang bukan hanya mempertahankan kursi, tetapi menemukan phronesis untuk memastikan regenerasi kepemimpinan berjalan dan moral politik tetap terjaga.

Golkar tampak tenang, piawai bertahan dari masa ke masa melalui adaptasi. Namun Aristoteles bertanya: “Every action and pursuit is thought to aim at some good”[^4]. Hidup politik bukan sekadar bertahan, melainkan mencapai telos, tujuan luhur. Pertanyaannya, apa kebaikan yang sebenarnya diperjuangkan Golkar bagi bangsa?

NasDem tampil visioner, sering berbicara tentang masa depan. Tetapi Aristoteles menulis, “What we have to learn to do, we learn by doing”[^5]. Retorika tanpa tindakan tidak cukup. Jika NasDem ingin dikenang, idealisme itu harus dibuktikan melalui kebijakan konkret, bukan hanya janji atau imajinasi.

PAN berusaha menjadi penengah, meredam konflik. Sikap ini dekat dengan gagasan Aristoteles tentang mesotes yaitu jalan tengah. Tetapi ia juga menegaskan bahwa kebajikan sejati menuntut keberanian mengambil posisi yang tepat. PAN perlu memilih isu yang diperjuangkan secara konsisten agar kehadirannya tidak larut dalam abu-abu kompromi.

Demokrat hadir dengan cerita yang berbeda, ia pernah menjadi pusat perhatian ketika memimpin pemerintahan, tetapi kini lebih sering menempati ruang tengah rumah sebagai oposisi yang tidak sepenuhnya oposisi. Aristoteles mengingatkan, “The excellence of the citizen must be relative to the constitution of which he is a member.  Dengan kata lain, peran Demokrat baru bermakna bila jelas posisi dan kontribusinya terhadap tata rumah politik yang ada. Tanpa kejelasan sikap, Demokrat berisiko kehilangan areté sebagai partai yang membedakan diri dari sekadar penumpang dalam arus besar kekuasaan.

Dan di kursi terbesar duduk Gerindra, dengan Prabowo sebagai kepala keluarga. Ia kini memegang kendali rumah besar ini. Aristoteles mengingatkan, “The true statesman is not the one who rules for his own advantage, but for the common good”[^6]. Kekuasaan hanyalah alat; tanpa telos yang luhur, ia akan menjadi dominasi. Tantangan Gerindra adalah memastikan energi besar yang dimiliki digunakan bagi polis, bukan hanya demi kepentingan diri atau kelompoknya.

Akhirnya, rumah besar ini menjadi cermin jiwa bangsa. Ada yang masih mencari jati diri, ada yang terpecah oleh ego, ada yang krisis integritas, ada yang piawai beradaptasi, ada yang bermimpi, ada yang menengahi, dan ada yang kini berkuasa. Aristoteles mengajarkan bahwa kebesaran politik tidak diukur dari jumlah kursi atau kemenangan elektoral, melainkan dari sejauh mana politik membawa manusia pada eudaimonia yaitu hidup baik bersama.



Saskia Ubaidi, 30/9/2025 
[^1]: Aristotle, Politics, trans. C.D.C. Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing, 1998), 1253a.
[^2]: Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1098a.
[^3]: Aristotle, Politics, 1280b.
[^4]: Aristotle, Nicomachean Ethics, 1094a.
[^5]: Aristotle, Nicomachean Ethics, 1103a.
[^6]: Aristotle, Politics, 1279a.

Comments

Popular posts from this blog

Jalur Pendidikan HBS - Hogereburgerschool

Tjakrabirawa di malam kelam 1 Oktober 1965

Kampung Arab Pekojan