Dunia yang membusuk dari dalam: Analisa Samir Amin atas Krisis Sistim Dunia Kontemporer
The implosion Of Contemporary Capitalism (Samir Amin)
Ketika Kapitalisme Membusuk dari Dalam: Membaca Samir Amin dan Keruntuhan Dunia Modern
Pernahkah kita merasa dunia ini terus bergerak, tapi bukan menuju kemajuan, melainkan perlahan ke arah kehancuran?
Harga-harga terus naik, bumi memanas, kesenjangan makin tajam, anehnya, semua itu terasa begitu “biasa”. Seolah penderitaan struktural sudah menjadi bagian alami dari kehidupan modern. Kita menyebutnya “dinamika ekonomi global”, padahal sesungguhnya kita sedang hidup di tengah sistem yang pelan-pelan membusuk dari dalam.
Pemikir ekonomi-politik Mesir-Prancis, Samir Amin, sudah melihat gejala ini sejak awal 2000-an. Dalam karyanya The Implosion of Contemporary Capitalism (2013), ia menulis dengan nada muram sekaligus tajam:
“Capitalism today reproduces itself only through crisis. Its expansion has reached its limits; what remains is implosion.”
Kapitalisme, menurut Amin, bukan lagi sistem yang tumbuh, melainkan sistem yang bertahan lewat krisis. Ia tidak lagi bisa memperluas dirinya keluar, karena hampir seluruh dunia sudah terserap ke dalam jejaring globalnya. Maka yang tersisa adalah ekspansi ke dalam yaitu perusakan struktur sosial, lingkungan, dan bahkan nilai-nilai manusia itu sendiri.
Krisis yang Menyeluruh, Bukan Sekadar Ekonomi
Dalam pandangan Amin, krisis kapitalisme bukanlah kecelakaan sesaat seperti resesi atau inflasi yang bisa diperbaiki dengan kebijakan moneter. Ia adalah krisis sistemik, mencakup dimensi sosial, ekologis, politik, dan moral.
Kapitalisme modern telah menjelma menjadi bentuk yang disebutnya financialized capitalism , sistem di mana uang melahirkan uang, bukan dari kerja produktif, tetapi dari spekulasi dan utang.
Selama abad ke-20, ekonomi dunia masih berputar di sekitar produksi barang dan jasa. Namun memasuki abad ke-21, sektor finansial mengambil alih pusat kendali. Bursa saham menjadi semacam “agama baru”, dengan indeks dan angka-angka yang disembah seolah itu ukuran kemakmuran umat manusia. Nilai-nilai kemanusiaan, lingkungan, dan solidaritas sosial tenggelam di balik grafik keuntungan perusahaan.
Amin menulis,
“Financialized capitalism is not an accident; it is the final stage of a system that has exhausted its historical function.”
Kapitalisme finansial bukanlah penyimpangan dari sistem, tetapi justru tahap akhir dari kapitalisme itu sendiri, sebuah sistem yang telah kehabisan makna dan fungsi historisnya. Kini ia hanya bisa bertahan dengan menciptakan krisis baru, meminjam dari masa depan, dan mengorbankan kehidupan di masa kini.
Dunia yang Membusuk dari Pusat
Berbeda dengan narasi umum bahwa “negara maju” adalah pusat kemajuan peradaban, Amin melihatnya secara terbalik: justru pusat itulah yang sedang membusuk.
Amerika Serikat, Eropa Barat, dan Jepang yang selama berabad-abad menjadi motor kapitalisme, kini hidup dari ilusi pertumbuhan. Mereka mencetak uang, menumpuk utang, dan memindahkan beban krisisnya ke negara-negara pinggiran.
Kapitalisme di Barat sudah tak lagi berbasis pada produksi nyata. Pabrik-pabrik besar berpindah ke Asia dan Afrika, tetapi keuntungan mengalir kembali ke Wall Street dan London. Sementara itu, negara-negara dunia ketiga hanya menjadi pemasok bahan mentah dan tenaga kerja murah, rantai bawah dari sistem global yang tak adil.
Amin menyebut sistem ini sebagai “imperialisme kolektif” — bentuk kolonialisme baru yang tak lagi memakai senjata, tetapi bekerja lewat mekanisme pasar, lembaga keuangan internasional, dan ideologi globalisasi. Negara-negara kaya hidup dari “perahan” negara-negara miskin. Dan dunia dibiarkan percaya bahwa itulah tatanan yang wajar.
Krisis Moral dan Demokrasi Semu
Namun, krisis ini tidak hanya soal ekonomi. Ia juga mengguncang jantung nilai-nilai politik modern.
Bagi Amin, demokrasi liberal di era kapitalisme monopoli hanyalah ilusi. Demokrasi yang kita kenal hari ini memang memberi kebebasan memilih, tetapi tidak memberi kebebasan menentukan. Rakyat boleh berganti pemimpin, tapi arah kebijakan ekonomi tetap dikendalikan oleh modal.
“Liberal democracy in the age of monopoly capitalism is nothing but democracy for the few. The people are invited to choose, but not to decide.”
Kata-kata itu terdengar seperti peringatan bagi masyarakat modern. Kita hidup dalam demokrasi prosedural yang tampak hidup, padahal substansinya kosong.
Politik berubah menjadi ritual lima tahunan yang dipenuhi janji-janji palsu, sementara keputusan penting diambil di ruang-ruang tertutup para pemegang saham, lembaga keuangan, dan elite global.
Di sinilah, menurut Amin, terjadi keruntuhan moral peradaban kapitalis.
Kita memuja kebebasan individu tapi mengabaikan penderitaan kolektif. Kita membenarkan ketimpangan dengan dalih meritokrasi, seolah kemiskinan hanyalah akibat “kurang usaha”, bukan hasil dari struktur yang menindas.
Delinking: Jalan Menuju Kemandirian
Apa yang ditawarkan Amin bukan sekadar kritik, tapi sebuah strategi delinking.
Istilah ini sering disalahpahami sebagai isolasi, padahal maknanya jauh lebih dalam. Delinking berarti menegaskan otonomi pembangunan, membangun ekonomi dari dalam negeri dengan prinsip solidaritas dan kemandirian, bukan meniru model negara-negara kaya.
“Delinking is not isolation. It is the affirmation of autonomy, the choice to build development from within, not from imitation.”
Bagi Amin, delinking bukan anti-globalisasi, melainkan re-globalisasi dengan arah baru, di mana negara-negara Selatan (Global South) membangun solidaritas ekonomi dan politik berdasarkan kebutuhan rakyat, bukan kepentingan modal global.
Ia melihat harapan di Asia, Afrika, dan Amerika Latin untuk membentuk poros baru yang menolak logika neoliberal. Bagi Amin, hanya dengan keluar dari ketergantungan struktural itulah bangsa-bangsa bisa menemukan martabatnya.
Ekonomi Global sebagai Penjara
Samir Amin melihat dunia modern sebagai penjara tanpa dinding. Kita merasa bebas karena bisa memilih merek ponsel, gaya hidup, atau karier, tetapi dalam skala sistemik, pilihan itu dibatasi oleh mekanisme pasar.
Kita bekerja untuk membeli barang yang kita produksi sendiri, membayar bunga dari uang yang kita pinjam dari bank, dan hidup dalam lingkaran utang yang dijustifikasi sebagai “pertumbuhan ekonomi”.
Kapitalisme menciptakan illusion of choice, kebebasan palsu yang membuat manusia merasa berdaulat padahal dikendalikan oleh struktur ekonomi global.
Dan yang paling ironis, bahkan ketika sistem ini gagal, seperti krisis finansial 2008 atau pandemi 2020 , solusi yang diambil tetaplah memperkuat kapitalisme, bukan menggantinya.
Kemanusiaan di Persimpangan
Amin menutup bukunya dengan kalimat yang bergetar seperti nubuat:
“The implosion of capitalism opens a window: either a new form of barbarism, or a new beginning based on solidarity.”
Keruntuhan kapitalisme membuka dua jalan yaitu menuju barbarisme baru, atau awal baru yang dibangun atas dasar solidaritas.
Peringatan ini terasa sangat nyata hari ini, ketika dunia menghadapi krisis iklim, perang sumber daya, dan ketimpangan ekstrem. Tanpa arah baru, manusia bisa terjerumus ke dalam kekacauan global, sistem tanpa nilai, pasar tanpa moral, kemajuan tanpa tujuan.
Namun di balik nada pesimisnya, Amin tetap percaya bahwa sejarah manusia belum berakhir.
Ia menyerukan kelahiran “renaissance global” yang menempatkan manusia dan alam sebagai pusat, bukan modal. Dalam pandangannya, sosialisme abad ke-21 harus lahir bukan dari ideologi dogmatis, tetapi dari kesadaran ekologis, kesetaraan gender, dan solidaritas lintas bangsa.
Mengapa Penting Dibaca Hari Ini
Membaca Samir Amin hari ini seperti menatap cermin yang memantulkan wajah dunia modern, berkilau di luar, rapuh di dalam.
Ketika media sosial dipenuhi berita investasi, startup, dan AI, kita mudah lupa bahwa sebagian besar umat manusia masih berjuang untuk sekadar bertahan hidup.
Kapitalisme digital yang kini diagungkan hanyalah versi baru dari kapitalisme lama, memindahkan eksploitasi dari pabrik ke layar.
Pemikiran Amin mengajak kita untuk berpikir ulang tentang makna kemajuan.
Apakah pertumbuhan ekonomi yang terus dikejar itu benar-benar kemajuan, atau sekadar percepatan menuju kehancuran ekologis? Apakah “inovasi” berarti kemerdekaan, atau hanya bentuk baru dari ketergantungan?
Dalam konteks Indonesia, gagasan delinking bisa dibaca sebagai dorongan untuk memperkuat ekonomi nasional berbasis solidaritas sosial, bukan utang luar negeri dan investasi spekulatif.
Kemandirian pangan, energi, dan industri rakyat adalah bentuk paling nyata dari “pembangunan dari dalam” yang dimaksud Amin.
Penutup: Dari Kapitalisme ke Solidaritas
Dunia mungkin tidak akan runtuh dalam satu malam. Tapi keretakan-keretakan kecil sudah terasa di mana-mana , di bumi yang menjerit, di kesenjangan yang makin dalam, di politik yang kehilangan arah moral.
Seperti tubuh yang menua, kapitalisme terus bertahan dengan memakan dirinya sendiri.
Mungkin benar, seperti yang dikatakan Samir Amin:
“Capitalism does not collapse from outside; it decays from within.”
Dan tugas kita hari ini bukan sekadar mengutuk kebusukan itu,
melainkan membayangkan dunia yang bisa tumbuh tanpa merusak.
Sebuah dunia yang diukur bukan dari laba, tapi dari keberlangsungan hidup manusia dan bumi.
Dunia yang dibangun atas dasar solidaritas, bukan akumulasi.
Karena di tengah keruntuhan ini, masih ada satu kemungkinan yang tersisa,
bahwa dari puing-puing kapitalisme,
akan lahir peradaban baru,
yang lebih manusiawi, lebih adil, dan lebih sadar akan batasnya sendiri.
Saskia Ubaidi
Tulisan sebagai refleksi pribadi atas pemikiran Samir Amin.
Sebuah catatan pribadi untuk Pustaka Aristoteles ( ruang refleksi bagi pembaca yang ingin memahami dunia, bukan sekadar menontonnya).
Kapitalisme modern sudah mencapai batas geografis dan ekologis.
Tidak ada lagi wilayah baru untuk dieksploitasi,tidak ada lagi model ekonomi yang bisa memperluas akumulasi modal tanpa menghancurkan fondasi sosialnya.
Sama seperti tubuh hidup yang menua dan kehilangan daya regenerasi, kapitalisme kini memakan dirinya sendiri demi bertahan.
Itu sebabnya metafora “membusuk” sangat akurat , bukan sekadar “runtuh”.
Karena runtuh terjadi cepat, sementara membusuk menggambarkan proses yang pelan, berbau, tapi pasti, seperti peradaban yang kehilangan vitalitasnya sedikit demi sedikit.
Referensi
1. Samir Amin, The Implosion of Contemporary Capitalism (New York: Monthly Review Press, 2013), hlm. 7.
Amin membuka bukunya dengan pernyataan bahwa kapitalisme modern telah mencapai batas sejarahnya dan kini hanya mampu bertahan melalui krisis berulang — “a system that reproduces itself only through crisis.”
2. Ibid., hlm. 12–14.
Ia menegaskan bahwa krisis yang kita lihat bukan bersifat sektoral (ekonomi saja), tetapi krisis sistemik yang meliputi dimensi sosial, ekologis, politik, dan moral.
3. Ibid., hlm. 19.
“Financialized capitalism is not an accident; it is the final stage of a system that has exhausted its historical function.” Amin menulis bahwa kapitalisme finansial merupakan tahap terakhir dari sistem yang telah kehilangan fungsi historisnya.
4. Ibid., hlm. 31–32.
Di bagian ini Amin menjelaskan bahwa negara-negara kapitalis maju (Amerika Serikat, Eropa Barat, Jepang) kini hidup dari spekulasi finansial, bukan dari produksi nyata, sehingga pusat kapitalisme justru menjadi sumber krisis.
5. Ibid., hlm. 46–48.
Amin memperkenalkan konsep “collective imperialism” — yaitu kerja sama ekonomi-politik antara negara-negara kaya dalam mengeksploitasi negara-negara di Selatan.
6. Ibid., hlm. 65.
“Liberal democracy in the age of monopoly capitalism is nothing but democracy for the few.” Demokrasi liberal, kata Amin, telah kehilangan substansi rakyat karena dikendalikan oleh kepentingan modal global.
7. Ibid., hlm. 87–89.
Dalam bab The Delinking Alternative, Amin menekankan bahwa delinking bukanlah isolasi dari dunia, tetapi “the affirmation of autonomy” — penegasan kemandirian dan arah pembangunan yang lahir dari dalam.
8. Ibid., hlm. 95.
Amin menegaskan bahwa kapitalisme kontemporer tidak lagi memiliki potensi transformatif: sistem ini “has reached the end of its historical legitimacy.”
9. Ibid., hlm. 120.
“The implosion of capitalism opens a window: either a new form of barbarism, or a new beginning based on solidarity.” Amin menutup bukunya dengan pilihan moral dan sejarah: antara barbarisme baru atau solidaritas baru antarbangsa.
#PustakaAristoteles #PetitJournal #SamirAmin #PostCapitalism #FilsafatEkonomi #IndonesiaRenaissance
Comments