Rumah yang Menunggu
Rumah yang Menunggu
Desember di Jakarta tidak pernah benar-benar dingin. Sejak pagi, langit tampak rendah dan kelabu, seolah enggan meninggi. Sisa hujan semalam menyisakan udara lembap yang menempel di kulit. Napas terasa agak sesak, bukan karena udara, melainkan karena kota diapit deretan gedung tinggi yang berdiri terlalu rapat. Mungkin terlalu sedikit ruang bagi Jakarta untuk bernapas lega.
Ada yang menarik perhatian kaum urban, sebuah rumah tua yang berdiri seperti anak tiri kosmopolitan, dibiarkan begitu saja. Ia tidak dirawat sepenuhnya, juga tidak benar-benar dimusnahkan. Langit-langitnya tetap tinggi, jendelanya lebar, pintunya dari jati tua yang berat, seolah rumah itu masih berpegang pada aturan lama tentang udara dan cahaya. Angin datang, berhenti sebentar di ambang, lalu memutuskan untuk tidak masuk. Dinding apartemen di seberang telah lebih dulu menutup hembusan angin , barangkali angin lebih memilih bangunan yang muda dan cantik menurut selera zaman.
Rumah itu tampak diam dari luar, seolah tidak mengharapkan siapa pun masuk, seperti ada sesuatu yang menahan langkah. Tapi itu soal papan peringatan tentang anjing galak, bukan pula gembok berkarat yang mengunci pintu. Aku berhenti sejenak di ambang pintu yang seolah menyambut riuhnya hiruk kota dan kesunyian yang tertahan di balik pintu. Bau yang kukenal sejak lama menusuk hidungku lebih dulu, bahkan mendahului ingatan. Aku menjadi bodoh seketika, seperti ada jeda singkat, cukup untuk ragu, namun tak cukup untuk berpaling, pulang, atau bahkan berlari.
Aku melangkah masuk. Udara di dalam rumah terasa padat, seolah lama dibiarkan mengendap. Barangkali udara pun bisa menua, batinku. Cahaya dari jendela jatuh miring, memperlihatkan debu-debu halus yang bergerak pelan, seperti sesuatu yang masih ragu untuk menetap.
Langkah kakiku terdengar jelas di lantai tegel. Tegel-tegel lama bermotif bunga kecil itu dingin dan keras, bisa jadi marmer asli Italia, warnanya telah pudar menjadi krem kebiruan dengan retak-retak halus di sudutnya. Setiap pijakan menghasilkan bunyi yang khas, bunyi rumah-rumah lama yang tidak menyukai budaya buru-buru saat ini. Suara itu memantul sebentar, lalu menghilang, seakan rumah ini lebih akrab dengan suara lain. Suara yang datang lebih pagi, pikirku.
Dari arah dapur terdengar gerakan samar, bukan langkah, melainkan urutan yang pernah dihafal, kain taplak dilipat di atas meja kayu, panci diletakkan kembali dengan hati-hati, bunyi keran ledeng yang mengalir. Tidak ada yang terlihat, namun ritmenya sangat monoton. Aku tidak melihat siapa pun, tetapi urutan itu terasa dikenal. Seperti rumah yang masih mengingat jam-jam tertentu untuk bekerja, meski orang-orangnya telah lama pergi. Mereka yang dulu mengurus rumah ini pasti tahu persis kapan harus bergerak dan kapan harus menyelesaikan pekerjaan, kata hatiku.
Di ruang tengah, kursi-kursi jati berdiri berhadapan dengan meja besar, jaraknya seragam. Tidak rapat, tidak renggang. Bukan kebetulan, pikirku, melainkan kebiasaan yang telah terlalu lama dijalani hingga aturannya tak lagi dipertanyakan. Rumah ini menjadi saksi cara lama menyambut Natal, dengan rangkaian persiapan yang rapi dan tertib, bukan dengan kegembiraan sesaat yang perlu dipamerkan atau sengaja diunggah ke ruang publik.
Dari ruang tengah, pandanganku beralih ke sudut dekat jendela. Di sana berdiri pohon cemara natal dalam pot biasanya disebut pohon terang, pohon asli yang didatangkan dari luar kota yang bercuaca sejuk. Tingginya tidak mencolok. Jarum-jarumnya mulai menipis, beberapa rontok dan dibiarkan di lantai tegel. Hiasannya juga sedikit, Nampak sekali dipakai berulang kali dari tahun ke tahun. Bola-bola kaca buram menggantung tanpa kilap, memantulkan cahaya jendela secara terpotong. Lampu kecil melingkari batangnya, dinyalakan secukupnya, lalu dipadamkan kembali, seolah Natal di rumah ini cukup ditandai, tidak perlu dipamerkan.
Aku bergeser dari dekat pohon itu, menyusuri rumah yang perlahan berubah menjelang sore. Natal di rumah ini rupanya tidak dimulai dari hiasan, melainkan dari dapur. Dari sana, aroma mentega hangat dan rempah tipis merambat ke ruang tengah, bau yang tidak manis berlebihan. Di meja dapur, adonan roti telah disiapkan sejak pagi. Speculaas, hmmm ..aku mulai mengira-ngira, kue Natal yang selalu dibuat berulang setiap tahun, dengan kayu manis dan pala yang ditakar dengan teliti dan hati-hati. Ada juga loyang berisi klappertaart yang didinginkan perlahan, permukaannya dirapikan agar tidak retak sebelum ditaburi cacahan kenari. Seorang pelayan biasanya mengaduk, berhenti sejenak, lalu melanjutkan, pekerjaan yang tak boleh tergesa, sebab Natal di rumah ini tidak pernah menyukai kesalahan kecil.
Di sudut lain, ayam utuh telah dibersihkan, disiapkan untuk dipanggang perlahan. Tidak banyak bumbu, hanya mentega, lada, dan sedikit bawang. Hidangan harus terasa layak rasa bukan hanya mengesankan tampilan makanan. Sup bening diletakkan di atas kompor, api kecil dijaga agar kaldu tetap jernih. Makan malam Natal bukan tentang kenyang, seperti ada suara lama berbisik, melainkan tentang urutan.
Para nyonya Belanda biasanya turun menjelang sore, berdiri sebentar di ambang dapur. Mereka tidak ikut memasak, hanya memastikan semuanya berjalan sebagaimana mestinya. Tidak perlu instruksi panjang. Para pelayan sudah hafal, mana yang harus disajikan lebih dulu, mana yang menunggu.
Di ruang makan, taplak meja telah digelar sejak siang, disetrika rapi. Peralatan makan disusun dengan jarak yang sama, sendok dan garpu mengilap, bukan karena baru, melainkan karena dirawat terus-menerus. Gelas kristal dikeluarkan dari lemari hanya setahun sekali. Seorang pelayan biasanya mengangkatnya dengan dua tangan, seolah benda itu menyimpan ingatan yang mudah pecah.
Menjelang senja, rumah menjadi lebih sunyi. Semua persiapan hampir selesai. Lampu-lampu dinyalakan perlahan, satu per satu. Natal di rumah ini tidak pernah datang dengan sorak. Ia hadir lewat aroma dapur, meja yang tertata, dan pekerjaan yang dilakukan nyaris tanpa suara.
Para nyonja dan noni Belanda telah duduk rapi di sekeliling meja. Mereka memakai gaun berwarna putih, berenda lurus, dan memakai sepatu pantofel, mereka duduk tegak nyaris tidak bergerak selain oleh tarikan napas yang tertahan. Di belakang mereka, para pelayan melintas cepat dan senyap, mengangkat piring, menuangkan sup bening, menyajikan ayam panggang, seolah tubuh mereka menyatu dengan irama rumah itu sendiri. Tidak ada percakapan yang perlu dipanjangkan. Tidak ada tawa yang dibiarkan lepas.
Di ujung meja, sang Tuan rumah berdiri. Punggungnya tegak, satu tangan bertumpu ringan di sandaran kursi. Ruangan mendadak hening, seperti menunggu aba-aba yang telah lama dikenalnya. Ia menundukkan kepala, lalu mengucapkan doa dengan suara rendah, berbahasa Belanda“Wij danken U voor dit brood, voor dit huis, en voor de orde die U ons geeft.”
Tidak ada yang menyahut. Semua kepala tertunduk. Doa itu tidak dimaksudkan untuk didengar, melainkan untuk ditaati. Setelahnya, ia duduk kembali, lalu seperti setiap tahun mengucapkan petuah pendek tentang kelahiran Sang Juruselamat. Ceritanya tidak berubah selalu tentang malam yang sunyi, tentang bayi yang lahir tanpa kemewahan. Tidak ada yang menanggapi. Semua mendengarkan dalam diam, seolah kisah itu bukan untuk direnungkan, melainkan untuk diingat sebagaimana adanya.
Setelah acara jamuan makan selesai, barulah kado-kado dikeluarkan. Tidak serempak, tidak dengan sorak. Dibuka satu per satu, dimulai dari urutan keluarga yang tertua hingga termuda seolah urutannya telah disepakati bersama. Kotak-kotak kecil berbalut kertas minyak dari negeri Belanda berpindah tangan. Ada botol parfum Prancis berleher ramping; aromanya segera memenuhi ruangan, terlalu wangi untuk tropis, terasa asing bagi udara Batavia. Sang bapak biasanya mendapat sekotak tembakau Bremen, ada pula yang menerima sekotak coklat. Coklat lembut dan lezat, cepat meleleh di lidah, yang segera disimpan kembali agar tidak lunak oleh udara lembap. Ada juga yang menerima savon, sabun dengan aroma bunga yang terasa jauh dari keseharian tropis. Wanginya menyenangkan, memberi kesan mewah. Namun sabun itu jarang dipakai, lebih sering kotaknya dibuka sebentar, aromanya dihirup, lalu disimpan kembali di laci.
Mereka tersenyum, mengangguk kecil sebagai tanda terima kasih. Tidak ada kejutan yang perlu ditampilkan. Hadiah-hadiah itu lebih berfungsi sebagai penanda bahwa hubungan masih terjaga, dan jalur kapal dari Eropa masih setia menghubungkan rumah ini dengan tanah kelahiran mereka Eropa.
Aku ikut menurunkan kepala, seperti yang dilakukan semua orang di meja itu. Tanganku hampir bergerak mengambil sendok di depanku. Ada jeda singkat, antara ragu atau sekedar refleks, lalu tanganku berhenti di udara. Sendok itu terasa terlalu dingin. Bukan dingin karena logam, melainkan dingin seperti benda yang lama tidak disentuh siapa pun. Aku menoleh ke kiri. Kursi di sampingku kosong, sandarannya menghadap lurus ke meja, rapi, tak sedikit pun bergeser. Di kanan, kursi lain juga kosong. Tidak ada bekas duduk. Tidak ada lipatan gaun. Tidak ada suara napas.
Meja panjang itu mendadak terasa begitu luas untuk satu keluarga, terlalu sunyi untuk sebuah jamuan. Piring-piring tetap tersusun rapi, sendok-sendok sejajar, sup masih mengepul tipis, ayam panggang tetap utuh. Segalanya tampak siap, namun tak ada satu pun gerak yang menyusul kesiapan itu.
Aku berdiri sendirian. Tidak ada nyonya dan noni. Tidak ada pelayan. Tidak ada siapa pun yang menunggu perintah tuan dan nyonja. Yang tersisa hanyalah rumah tua ini, dengan hidangan yang tidak pernah benar-benar dimaksudkan untuk disantap lagi, sebuah perjamuan yang terus diulang di dalam ingatan, tanpa tamu, tanpa akhir.
“Nak”
Suara itu datang dari belakang, datar, tidak keras, tidak juga tergesa-gesa. Namun cukup untuk meruntuhkan seluruh jamuan di kepalaku. Sup berhenti mengepul. Ayam panggang lenyap. Kursi-kursi kembali menjadi kayu tua yang diam. Aku menoleh. Seorang perempuan tua berdiri di ambang pintu ruang tengah. Rambutnya memutih, disanggul sederhana., tersenyum ramah kepadaku. Tangannya memegang kain lap. Tatapannya biasa saja. “Kamu dari tadi berdiri di situ,” katanya. Aku melihat sekeliling. Meja panjang kosong. Tidak ada sup. Tidak ada piring. Pohon Natal cemara dalam pot berdiri di sudut dekat jendela, lampunya mati. Lantai tegel terasa dingin di telapak kakiku.
“Maaf,” kataku. Suaraku terdengar terlalu pelan, bahkan untuk diriku sendiri. Perempuan itu mengangguk kecil. “Cuaca seperti mau hujan,” katanya. “Kalau mau duduk, duduk saja.” Ia berbalik menuju dapur. Langkahnya pelan, nyata untuk sebuah bayangan.
Aku duduk. Beberapa saat kemudian, aku menyadari sesuatu, kain lap yang tadi ia pegang kini terlipat rapi di atas meja dapur. Tidak basah. Tidak ada jejak air di lantai. Seolah kain itu sudah lama berada di sana.
Aku tersentak dari lamunanku.
“Sudah sore,” kataku pelan, entah kepada siapa.
Aku menyusuri pintu dan menutupnya perlahan. Mungkin lebih baik ke pusat kota. Lampu-lampu Natal, etalase toko, keramaian yang bisa dimengerti atau berpayung di derasnya hujan dan jalanan becek.
“Ke mana?” suara itu muncul di kepalaku, atau mungkin dari belakang.
“Pulang,” jawabku singkat. “Atau belanja. Seperti orang lain.”
Aku menuruni tangga tanpa menoleh.
Di ujung halaman, langkahku berhenti sendiri.
“Selamat Natal,” kata seseorang. Tidak keras. Tidak dekat. Dua nada berdampingan, seolah diucapkan bersamaan.
Aku menoleh setengah badan. Tidak ada siapa pun. Hanya senja dan mendung yang perlahan kehilangan warna.
“Sebentar saja,” kataku, refleks.
Tidak ada jawaban. Aku melanjutkan langkah.
Setiap tahun menjelang Natal, hal yang sama selalu terjadi. Tanpa rencana, tanpa undangan, aku kembali ke rumah ini.
Jakarta, 25 Desember 2025
Lasasqi

Comments