Koalisi Rakyat Ala Jokowi
Mencermati Jokowi dalam Pilkada DKI memang cukup menarik, terutama saat putaran pertama dan menjelang Pilkada putaran kedua. Pada putaran pertama, saat pencoblosan sedang berlangsung, Jokowi menemui Hidayat Nur Wahid (HNW) dan menelpon Fauzi Bowo. Namun hanya HNW yang menyambutnya, sedangkan Fauzi yang sedang sibuk mengira itu telpon dari pemadam kebakaran. Mengapa hanya dua partai ini yang didekati Jokowi? Jawabannya sederhana: PKS adalah partai kader yang solid dan memiliki basis pendukung yang signifikan di Jakarta (memiliki jumlah kursi terbanyak kedua). Sedangkan Fauzi yang didukung demokrat, merupakan incumbent yang memiliki jumlah kursi terbanyak di DPRD DKI.
Komunikasi Jokowi terhadap dua partai terbesar ini, tentu bisa ditafsirkan macam-macam. Setidaknya, jika PKS mau diajak “berkoalisi” tentu peluang jokowi untuk menang di putaran dua cukup besar. Jika pun Fauzi yang menang (karena di berbagai survey Fauzi diunggulkan), Jokowi dan PDIP masih punya “saluran komunikasi” agar PDIP tidak “terbuang”, apalagi PDIP merupakan pendukung Fauzi pada pilkada sebelumnya. Bahkan pada pilkada kali ini pun, semula PDIP menjagokan Adang Ruchiatna untuk mendampingi Fauzi Bowo (simak semua pemberitaan pada pertengahan maret 2012). Tapi konstalasi politik yang berubah cepat, akhirnya PDIP memutuskan untuk memasangkan Jokowi dengan Ahok yang diusung oleh Gerindra. Artinya, Fauzi Bowo adalah figur yang sejak awal bisa diterima oleh PDIP.
Dalam politik, semua pertemuan apa pun bentuknya, bisa dimaknai sebagai upaya untuk membangun komunikasi atau mecari titik temu/kesepahaman guna menjalin kerjasama lebih lanjut yang saling menguntungkan. Politik adalah power sharing, dan itu sangat difahami Jokowi dan PDIP. Kronologi di atas sebenarnya menggambarkan bahwa Jokowi dan PDIP sejak awal menghendaki adanya koalisi dengan partai-partai lain guna memenangi pilkada
Setelah putaran pertama usai, PKS adalah merupakan salah-satu partai penentu kemenangan pada putaran kedua. Membangun koalisi dengan PKS, akan memberikan kepastian dan biaya yang lebih murah dalam memenangi pilkada. Jadi tak aneh jika kemudian Jokowi pun mengunjungi markas PKS. Sayang, pada akhirnya PKS lebih memilih untuk bergabung dengan Fauzi-Nachrowi. Pasca keputusan PKS tersebut, maka siapa yang bakal memenangi pilkada sudah bisa diprediksikan, meskipun belum tentu sesuai dengan kenyataan di lapangan. Namun hal ini cukup membuat kubu Jokowi gusar.
Maka muncullah jargon berkoalisi dengan rakyat, setelah sebelumnya hampir semua partai mendekat ke kubu Fauzi. Jargon ini pun kemudian disambut oleh para pendukungnya dengan berbagai asa akan memenangi suara rakyat. Koalisi ini tentu tidak seperti koalisi yang dibangun Fauzi, dimana ada kontrak politik dengan parpol lain, tetapi Koalisi dengan Rakyat hanya “sebatas” jargon yang implementasinya tidak ada ikatan yang jelas dengan rakyat pendukungnya. Apalagi, Koalisi Rakyat bukan sesuatu yang orisinal dan dipersiapkan sebelumnya dengan matang. Koalisi Rakyat hanya respon atas kegusaran Jokowi karena tidak mampun meyakinkan partai lain, terutama PKS, untuk berada di barisannya
sumber :
href="http://politik.kompasiana.com/2012/08/14/koalisi-rakyat-ala-jokowi
Comments