Konstruksi Jender Seksualitas
Sedikit mengutip dari harian kompas Minggu 9 Desember 2012 dalam rubrik Psikologi "Seks dan Persolan Hidup " ada penulisan dalam sebuah paragraf yang sangat saya sukai dikarenakan bisa kita pikirkan dengan sudut pandang bias jender.
Paragraf tersebut menuliskan sikap yang terjadi pada seorang bupati menjadi contoh klasik konstruksi seksualitas yang tidak setara, dimana perempuan menjadi sekedar objek, yang harus memenuhi fantasi seksual pasangannya.
Fantasi seksual itu bisa saja bahwa si perempuan itu harus "Perawan",memiliki karakteristik tertentu, dan sebagainya. Ketika sang perempuan itu tidak memuaskan,atau tidak memeuhi fantasi itu, dengan mudahnya dibuang begitu saja karena dianggap "Tidak layak pakai", dan sang pria tidak merasa bersalah karena telah memenuhi.
Dalam kaitan denga ilmu antropologi, praktik budaya yang membahas seksualitas banyak kita temui dengan adanya perjodohan, nikah dini, praktek belis dan mas kawin,tabu-tabu seksual, stigma seksual ( perawan tua, janda,bukan perempuan baik-baik), perdagangan seks alias prostitusi, penghukuman pada pihak-pihak yang dianggap menodai kehormatan keluarga karena melanggar aturan yang lagi-lagi sering terkait masalah seks sampai kesempatan berpoligami bagi suami serta issue nikah siri.
Pada akhirnya dapatlah dibuat sebuah kesimpulan juga bahwa pihak-pihak yang sering mengalami kekerasan atau eksploitasi seksual, adalah perempuan, anak dan kelompok minoritas seksual. Hal inilah yang membuat dampak serius sehingga perlu pendekatan konseling atau terapi untuk korban maupun pelaku eksploitasi bila masih dapat dilakukan penanganan psikologis.
Kesimpulan apakah wanita tidak berdaya dalam konstruksi jender, apakah tidak ada kesetaraan? Bahkan apakah makna idealnya sebuah lembaga pernikahan yang melegalkan seksualitas jika kenyataan telah bergeser makna menjadi sebuah pemaknaan kebutuhan dan fantasi? Apakah masih ada nilai kemanusian ketika minat gairah seksual sebagai titipan alamiah dari pencipta menjadi rusak pencitraannnya karena dianggap vulgar dan tidak etis?
( Tulisan ini terinspirasi ketika saya membaca ruang Konsultasi Psikologi dalam Harian Kompas Minggu 9 Desember 2012 "Seks dan Persoalan Hidup oleh Kristi Poerwandari -
Beberapa alinea memang tersadurkan dari tulisan tersebut.)
Comments