Mentalitas Inlander : Antara kolonialisme Dan Revolusi Mental Pendidikan

Pada masa kolonial, terdapat pameo yang berbunyi “Inlander blijft inlander.”  Pameo ini mengingatkan kita akan sejarah dan peran kata “Inlander” dalam konteks kolonialisme dan perbedaan kelas sosial di masa lalu.

Inlander” adalah istilah yang digunakan oleh orang Belanda untuk merujuk kepada penduduk asli Indonesia. Pada Undang-Undang Kolonial tahun 1854, orang Indonesia ditempatkan sebagai warga negara kelas tiga, yang disebut inlander. Sayangnya, istilah ini sering digunakan dengan konotasi merendahkan dan ejekan.

Pandangan merendahkan terhadap orang Indonesia sudah dimulai pada dekade pertama abad ke-17. Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen bahkan menganggap orang pribumi malas, tak mudah diatur, dan tidak dapat dipercaya. Oleh karena itu, mentalitas inlander menjadi bagian dari warisan sejarah yang masih mempengaruhi budaya hingga saat ini.

Adalah Ki Hajar Dewantara, seorang tokoh besar dalam sejarah pendidikan Indonesia, membawa gagasan yang menggugah dan menciptakan terobosan melawan stigma ini.

Beliau lahir pada tanggal 2 Mei 1889 di Pakualaman dengan nama asli Raden Mas Soewardi Soerjaningrat. Namun, lebih dikenal dengan panggilan akrabnya, Ki Hajar Dewantara. Visi besar beliau adalah memberikan pendidikan yang layak bagi seluruh rakyat Indonesia.

Ki Hajar Dewantara tidak hanya bercita-cita akan sebuah perubahan fisik dalam sistem pendidikan, tetapi juga mengusung  "software" manusia yang tangguh dengan melakukan revolusi mental. 

Beliau percaya bahwa kemerdekaan sejati tidak hanya berarti membebaskan diri dari penjajahan fisik, tetapi juga dari penjajahan pikiran. Revolusi mental ini adalah panggilan untuk merdeka berpikir, membebaskan diri dari belenggu pikiran yang membatasi potensi diri. 

Dalam mewujudkan visinya, Ki Hajar Dewantara mendirikan Taman Siswa pada tahun 1922, ( National Onderwijs Institut Taman Siswa ) gerakan pendidikan alternatif yang mengedepankan kebebasan belajar, kemandirian, dan pengembangan karakter. 

Metode pembelajaran yang digagasnya melampaui batasan kelas dan buku teks, mengajak siswa untuk belajar dari lingkungan sekitar dan pengalaman hidup mereka dimana salah satu aspek monumental dari karya Ki Hajar Dewantara adalah konsep inklusi dan kesetaraan dalam pendidikan. 

Beliau memperjuangkan hak pendidikan untuk semua golongan, tanpa memandang status sosial, ekonomi, atau budaya dengan  membangun sekolah-sekolah rakyat demi memperluas akses pendidikan. Sosok pendobrak yang membuka pintu bagi jutaan anak Indonesia untuk meraih mimpi mereka.

Pada masa kolonial, mentalitas inferioritas terhadap bangsa Indonesia terasa kuat lantaran kaum kolonial dan imperialis memandang bangsa jajahannya sebagai bangsa yang lebih rendah dan bodoh. Perjuangan Ki Hajar Dewantara untuk membebaskan diri dari mentalitas inlander sangat relevan. Beliau mengajak kita untuk merdeka berpikir, membebaskan diri dari belenggu pikiran yang membatasi potensi diri, dan memperjuangkan hak pendidikan untuk semua golongan.

Dus, lebih lanjut apa yang menggugah pemikiran kita saat ini ?
Apakah Intisari revolusi mental yang digagas Ki Hajar Dewantara sudah membuat bangsa kita memiliki pendidikan karakter tangguh sehingga benar-benar bukan mentalitas inlander merujuk pada masa kolonial ? 

Menyambung dalam konteks Hari Pendidikan Nasional tahun 2024, kita dapat merenungkan relevansi nilai-nilai revolusi mental KiHajar Dewantara,  bagaimana nilai-nilai tersebut dapat membentuk mental bangsa yang kuat dan berdaya saing. 

Selain aspek akademik, pendidikan juga harus membentuk karakter yang kuat akan cinta tanah air. Kita dapat mengajarkan nilai-nilai moral, etika, dan kebangsaan kepada generasi muda agar mereka menjadi warga negara yang bertanggung jawab dan mencintai Indonesia. Kita jangan terjebak pada hilangnya identitas budaya karena dominasi budaya luar yang seringkali lebih Kuat.

Selain itu pendidikan yang berkualitas akan membentuk kesadaran bangsa akan nilai demokrasi yang lebih matang,  sehingga mampu menalar virus pola politik pragmatis yang hanya memperhatikan kepentingan pribadi atau kelompok tertentu yang merusak arti  demokrasi itu sendiri.

Jadi sejatinya, bangsa kita masih berada dalam perjalanan revolusi mental,tetapi pendidikan berkualitas dengan moral dan etika dapat membimbing kita menuju bangsa yang berkarakter unggulan seperti yang dicita-citakan Ki Hajar Dewantara.

Selamat Hari Pendidikan National
2 Mei 2024
#PustakaAristoteles 
Saskia Ubaidi


Comments

Popular posts from this blog

Tjakrabirawa di malam kelam 1 Oktober 1965

Jalur Pendidikan HBS - Hogereburgerschool

Kampung Arab Pekojan