Demokrasi Makin Ringkih, Trias Politica Makin Bingung
Dalam sebuah negara yang menyebut dirinya demokrasi, namun terdapat pemilu yang tampak tidak lagi adil, media yang ditekan, dan pemimpin yang semakin kebal dari kritik, kita perlu mempertanyakan kembali seberapa demokratis negara tersebut.
Meskipun tampaknya demokrasi masih berjalan, ada sesuatu yang terasa janggal. Seperti mesin yang tetap berfungsi, tetapi dengan suara-suara aneh yang menandakan kerusakan tersembunyi.
Inilah yang membuat saya tertarik membahas fenomena kemunduran demokrasi.
Bagaimana mungkin proses yang seharusnya menjaga kebebasan justru berbalik arah dan melemahkannya? Fenomena ini tidak terjadi begitu saja.
Menurut Nancy Bermeo, seorang ilmuwan politik, kemunduran ini dikenal sebagai democratic backsliding alias kemunduran demokrasi yang terjadi secara perlahan dan halus. Bukan melalui kudeta atau revolusi, melainkan lewat pengikisan hak-hak sipil dan kebebasan politik yang berlangsung bertahap, hampir tanpa disadari.
Dengan demikian, kita perlu lebih waspada terhadap tanda-tanda ini, karena ancaman terhadap demokrasi tidak selalu datang dengan gemuruh, tetapi bisa hadir dalam keheningan yang menyesatkan.
Nancy Bermeo, seorang ilmuwan politik dari Universitas Oxford, memperkenalkan konsep Kemunduran Demokrasi (democratic backsliding) dalam tulisannya On Democratic Backsliding.
Konsep ini merujuk pada proses di mana institusi demokrasi secara bertahap melemah, dan kekuatan-kekuatan demokratis yang menopang sistem politik mengalami erosi. Proses ini sering kali tidak dilakukan secara frontal atau melalui cara-cara yang jelas seperti kudeta militer atau revolusi besar-besaran, melainkan melalui strategi yang lebih halus dan cenderung tampak sah di permukaan.
Proses Kemunduran Demokrasi
Kemunduran demokrasi sering terjadi melalui langkah-langkah yang tampak sah secara hukum, tetapi berdampak signifikan pada pengurangan hak-hak sipil dan politik.
Proses ini berlangsung halus dan bertahap, namun efeknya sangat terasa. Salah satu bentuknya adalah erosi hak-hak sipil alias adanya penggembosan di mana pemerintah secara perlahan membatasi kebebasan berbicara, berkumpul, dan berpendapat dengan alasan menjaga keamanan nasional atau stabilitas politik. Meskipun tidak langsung terlihat mencolok, langkah-langkah ini secara bertahap mengurangi ruang kebebasan masyarakat.
Salah satu contoh sederhana dari adanya undang-undang yang bisa mengarah pada penggembosan hak-hak sipil adalah aturan yang mengatur konten youtube atau siniar (podcast) dengan dalih menjaga keamanan nasional atau ketertiban umum. Misalnya, pemerintah memperkenalkan undang-undang yang membatasi topik tertentu yang boleh dibahas dalam siniar, seperti isu-isu sensitif politik, agama, atau kritik terhadap pemerintah.
Undang-undang ini mungkin awalnya tampak wajar, mengatasnamakan pencegahan ujaran kebencian atau konten yang dapat memicu kerusuhan. Namun, pada praktiknya, aturan ini bisa digunakan untuk membungkam kebebasan berekspresi dan diskusi terbuka. Konten kreator siniar atau pembuat film dokumenter, investigasi yang menyampaikan opini kritis terhadap pemerintah atau membahas topik yang dianggap sensitif, bisa terkena sanksi berat, baik berupa denda, penutupan platform, atau bahkan ancaman hukuman pidana. Akibatnya, ruang bagi masyarakat untuk berdiskusi secara bebas semakin menyempit, karena ada rasa takut akan represi hukum. Inilah contoh bagaimana regulasi yang terlihat legal justru dapat mengikis kebebasan berbicara secara perlahan-lahan.
Selain itu, pelemahan checks and balances juga menjadi tanda kemunduran demokrasi. Lembaga-lembaga pengawas pemerintah, seperti parlemen dan pengadilan, mulai kehilangan independensinya.
Kekuasaan eksekutif mempersempit peran legislatif dan yudikatif, sehingga kedua lembaga ini tidak lagi mampu menjalankan fungsi pengawasan yang efektif terhadap pemerintah. Proses ini juga terlihat dalam pembatasan kebebasan pers dan oposisi politik. Media independen, yang seharusnya menjadi kontrol terhadap kekuasaan, kerap diintimidasi atau dikendalikan oleh pemerintah. Pada saat yang sama, partai-partai oposisi ditekan atau dipinggirkan, yang pada akhirnya memperlemah suara alternatif dalam politik.
Meskipun tidak terjadi secara drastis, proses-proses ini secara perlahan merongrong fondasi demokrasi. Demokrasi mungkin masih terlihat berjalan, tetapi dengan esensinya yang semakin memudar, tanda-tanda kemundurannya menjadi semakin nyata.
Bentuk-Bentuk Kemunduran yang Tidak Kasat Mata
Kemunduran demokrasi di era modern, menurut Nancy Bermeo, sering kali tidak terlihat namun sebagai langkah jelas menuju otoritarianisme.
Sebaliknya, kemunduran ini terjadi melalui pengikisan elemen-elemen inti demokrasi dari dalam. Salah satu bentuknya adalah manipulasi pemilu, di mana meskipun pemilu masih diadakan, prosesnya tidak lagi berjalan adil. Pemerintah yang berkuasa mungkin memanfaatkan berbagai cara untuk memanipulasi hasil, seperti menambahkan suara secara ilegal, mengintimidasi pemilih, atau menggunakan aparat negara untuk mempengaruhi jalannya pemilu.
Selain itu, ada juga pengabaian terhadap aturan hukum. Dalam hal ini, pemerintah menerapkan hukum secara selektif atau bahkan mengabaikannya untuk melindungi kepentingannya. Lembaga hukum dipolitisasi dan kehilangan netralitas, membuat hukum tidak lagi berfungsi sebagai pengawas independen yang melindungi keadilan.
Bentuk lain dari kemunduran demokrasi adalah konsentrasi kekuasaan di tangan eksekutif. Ini ditandai dengan semakin besarnya kekuasaan yang dikendalikan oleh presiden atau perdana menteri.
Dengan menggunakan dekrit atau kebijakan darurat, mereka dapat memperluas kekuasaan mereka, melemahkan peran parlemen, dan meminggirkan oposisi. Proses ini berlangsung secara bertahap dan halus, membuat kemunduran demokrasi sulit terdeteksi secara kasat mata, namun dampaknya semakin merongrong fondasi demokrasi yang sejati.
Konsep kemunduran demokrasimyang dikemukakan oleh Nancy Bermeo memberikan wawasan tentang bagaimana demokrasi dapat terancam dari dalam, tanpa perlu adanya perubahan besar yang tampak jelas. Melalui proses erosi hak-hak sipil, pelemahan checks and balances, serta konsentrasi kekuasaan eksekutif, demokrasi dapat kehilangan substansinya meskipun tetap terlihat berfungsi secara formal. Fenomena ini menjadi peringatan bahwa demokrasi tidak hanya perlu dipertahankan dari ancaman eksternal, tetapi juga harus dijaga dari pengikisan internal yang lebih halus namun berbahaya.
Kemunduran Demokrasi dengan Pendekatan Trias Politica
Mari kita telaah kemunduran demokrasi dengan pendekatan Trias Politica yang adalah konsep ini merupakan fondasi utama dalam sistem demokrasi modern yang ideal.Trias Politica, yang diperkenalkan oleh Montesquieu, menekankan pentingnya pemisahan kekuasaan antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif untuk mencegah dominasi satu cabang kekuasaan dan menjaga keseimbangan (checks and balances). Ketika pemisahan kekuasaan ini mulai melemah, kemunduran demokrasi terjadi secara perlahan namun signifikan.
Dalam konsep ini, kekuasaan negara terbagi menjadi tiga cabang yang saling independen: eksekutif (menjalankan undang-undang), legislatif (membuat undang-undang), dan yudikatif (menegakkan hukum).
Ketiga cabang ini harus saling mengawasi dan menjaga keseimbangan (checks and balances), agar tidak ada satu kekuasaan yang menjadi dominan, sehingga penyalahgunaan kekuasaan bisa dicegah.
Namun, dengan pendekatan democratic backsliding ala Nancy Bermeo, kemunduran demokrasi sering terjadi bukan melalui perubahan besar seperti kudeta, melainkan secara halus dan bertahap.
Kemunduran ini seringkali diawali dengan terkonsentrasinya kekuasaan di tangan satu cabang pemerintahan, khususnya eksekutif, yang pada akhirnya merusak keseimbangan Trias Politica.
Trias Politica sebagai Benteng Demokrasi
Sistem Trias Politica merupakan benteng utama untuk melindungi demokrasi dari penyalahgunaan kekuasaan. Ketika salah satu cabang kekuasaan melemah atau dikendalikan oleh cabang lainnya, kemunduran demokrasi mulai terjadi. Oleh karena itu, menjaga keseimbangan dan independensi antar cabang kekuasaan sangat penting untuk memastikan demokrasi yang sehat dan berfungsi.
Selain mengambil alih fungsi legislatif, eksekutif yang terlalu kuat juga sering kali memengaruhi kekuasaan yudikatif yang seharusnya bersifat independen.
Pemimpin eksekutif dapat menempatkan hakim-hakim yang loyal pada posisi penting, sehingga keputusan-keputusan pengadilan lebih condong untuk menguntungkan kepentingan pemerintah. Dengan demikian, independensi yudikatif terganggu dan lembaga peradilan tidak lagi berfungsi sebagai penjaga keadilan yang netral.
Selain itu, pengabaian terhadap Rule of Law juga menjadi salah satu indikasi melemahnya yudikatif. Pemerintah menerapkan hukum secara selektif, melindungi kepentingan kelompok yang berkuasa, sementara oposisi politik atau lawan politik sering menjadi target penegakan hukum yang tidak adil. Hal ini semakin menggerus kepercayaan publik terhadap keadilan hukum dan memperkuat dominasi eksekutif dalam kehidupan politik negara.
Salah satu akar dari kemunduran demokrasi adalah penyalahgunaan kekuasaan oleh eksekutif. Ketika kekuasaan terkonsentrasi pada satu tangan, yaitu eksekutif, prinsip pemisahan kekuasaan yang menjadi landasan demokrasi mulai runtuh.
Eksekutif yang kuat cenderung menggunakan berbagai cara untuk mengkonsolidasikan kekuasaannya, seperti melalui pengendalian media. Media yang seharusnya menjadi penyeimbang kekuasaan justru dikendalikan, ditekan, atau bahkan dimanfaatkan untuk memperkuat citra pemerintah, mengaburkan kritik, dan membatasi informasi yang dapat diakses publik.
Penindasan terhadap oposisi politik juga menjadi salah satu strategi eksekutif untuk mempertahankan kekuasaan. Dengan membungkam suara oposisi, eksekutif dapat bergerak tanpa ada perlawanan yang berarti. Tidak hanya itu, pembatasan kebebasan berpendapat membuat ruang publik untuk berdiskusi dan menyuarakan pendapat semakin menyempit, menciptakan rasa takut di kalangan masyarakat untuk menyuarakan kritik terhadap pemerintah.
Dalam situasi seperti ini, akuntabilitas eksekutif pun semakin berkurang. Tanpa adanya checks and balances yang efektif dari legislatif dan yudikatif, eksekutif tidak lagi bertanggung jawab kepada rakyat maupun lembaga pengawas lainnya. Hal ini membuka pintu bagi korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan untuk berkembang tanpa ada konsekuensi yang berarti.
Proses demokrasi yang seharusnya transparan dan akuntabel semakin jauh dari kenyataan, dan rakyat kehilangan kontrol terhadap pemerintahan yang semestinya melayani mereka.
Kemunduran demokrasi, sebagaimana dijelaskan oleh Nancy Bermeo, sering kali terjadi secara bertahap dan halus. Dalam konteks Trias Politica, kemunduran ini ditandai dengan erosi kekuatan legislatif dan yudikatif, serta konsentrasi kekuasaan di tangan eksekutif. Meskipun lembaga-lembaga demokrasi mungkin masih ada secara formal, jika keseimbangan kekuasaan tidak dijaga, demokrasi bisa kehilangan substansi dan berubah menjadi sistem yang otoriter.
Penting bagi negara-negara demokratis untuk terus menjaga keseimbangan kekuasaan ini agar demokrasi dapat bertahan dan melindungi hak-hak warga negara secara efektif.
Jakarta,24 September 2024
Pustaka Aristoteles ( Saskia UBAIDI)
Karya Nancy Bermeo yang berjudul "On Democratic Backsliding," diterbitkan di jurnal Journal of Democracy tahun 2016. Artikel ini sangat berpengaruh dalam literatur politik dan kajian demokrasi.
Comments