Pilkada: Panggung Elite Menuju Estafet Kekuasaan 2029
Para calon berlomba menyampaikan visi dan janji kepada masyarakat, seolah semua masalah akan terselesaikan. Namun, ketika kekuasaan digenggam, realitas sering kali berbeda.
Dalam pandangan Machiavelli, kekuasaan tidak mengenal moral, hanya bertahan. Kant mungkin berbicara tentang idealisme, tetapi kenyataan sering mencemarinya. Sartre menyebut pemimpin yang melupakan janji sebagai bentuk bad faith mencari alasan untuk membenarkan janji yang diabaikan. Pada akhirnya, kampanye hanyalah panggung, dan janji-janji itu sekadar tiket menuju kekuasaan.
Di balik itu, Pilkada di Jakarta, Jawa Tengah, dan daerah strategis lainnya menjadi ajang penting menuju Pemilu 2029. Sejarah politik kepala daerah pada masa reformasi menunjukkan Pilkada bukan sekadar pemilihan lokal, melainkan bagian dari strategi elite untuk mempersiapkan kekuatan nasional. Pilkada adalah arena kompetisi menjadi batu loncatan bagi calon pemimpin nasional untuk membangun basis elektoral dan memperkuat pengaruh.
Teori oligarki dari Jeffrey Winters relevan di sini. Kekuasaan politik dan ekonomi sering terkonsentrasi pada segelintir elite, yang menggunakan Pilkada sebagai alat untuk mengendalikan politik lokal dan mempersiapkan Pemilu nasional. Suara rakyat bukan lagi penentu utama, karena keputusan elite telah lebih dulu mengarahkan peta kemenangan.
C. Wright Mills menambahkan bahwa elite politik, ekonomi, dan militer sering bekerja bersama untuk mempertahankan status quo. Di Pilkada, manuver politik di belakang layar mengarahkan pemilih untuk mendukung calon yang sudah disiapkan, mengurangi makna demokrasi yang sejati.
Pilkada pun tak lebih dari ajang untuk mempertahankan kekuasaan elite, mempersiapkan mereka untuk estafet menuju Pemilu 2029, memastikan dominasi mereka tetap terjaga dalam struktur politik Indonesia.
Sejarah pemikiran intelektual yang telah mengalir sejak dahulu mengingatkan kita bahwa politik selalu menjadi medan penuh kompleksitas, di mana idealisme sering kali tergerus oleh kepentingan pragmatisme. Maka, pantaskah kita terus mendukung dengan begitu fanatik, tanpa mempertimbangkan realitas di balik janji-janji manis?
Mungkin inilah saatnya kita lebih kritis, bukan sekadar menjadi pendukung setia tanpa batas, tetapi memahami bahwa politik sering kali mengorbankan moralitas demi kekuasaan.
Jakarta, 21 September 2024
Saskia UBAIDI ( Pustaka Aristoteles)
CATATAN
1. Machiavelli dalam karyanya Il Principe menyebutkan bahwa seorang pemimpin, untuk mempertahankan kekuasaan, harus siap untuk bersikap pragmatis, bahkan mengesampingkan moralitas jika diperlukan. Dalam kampanye, janji-janji indah sering dilontarkan untuk menarik dukungan, tetapi saat menjabat, realitas politik yang keras membuat pemimpin harus membuat keputusan-keputusan yang mungkin tidak sejalan dengan janji mereka. Menurut Machiavelli, ini bukanlah sepenuhnya tindakan yang lupa diri melainkan adaptasi terhadap kenyataan kekuasaan.
2. Dari perspektif Immanuel Kant, manusia seringkali terjebak dalam kontradiksi antara apa yang ideal dan apa yang nyata. Kant berpendapat bahwa manusia memiliki imperatif kategoris, yaitu kewajiban moral untuk bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip yang berlaku universal. Namun, dalam praktiknya, manusia sering gagal mematuhi prinsip-prinsip tersebut karena kepentingan pribadi atau godaan kekuasaan. Ini mungkin menjelaskan mengapa pemimpin bisa tampak lupa dirI setelah berkuasa.
3. Jean-Paul Sartre, seorang eksistensialis, berpendapat bahwa manusia itu terkutuk untuk bebas, yang berarti setiap individu selalu memiliki pilihan dan bertanggung jawab atas tindakannya. Namun, dalam kebebasan itu juga ada kecenderungan manusia untuk menghindari tanggung jawab dan jatuh dalam apa yang disebut Sartre sebagai bad faith (itikad buruk), di mana mereka menyangkal kebebasan mereka sendiri dan memilih untuk bertindak sesuai dengan tekanan eksternal (seperti kekuasaan atau situasi politik).
Comments