Pita Kuning di Pohon Tua (Tie a Yellow Ribbon Round the Ole Oak Tree)
Tie a Yellow Ribbon Round the Ole Oak Tree
Sudah tiga tahun sejak Raka pergi. Katanya demi masa depan yang lebih baik, tapi bagi Sinta, kepergian itu hanya menyisakan tanda tanya.
Ia masih ingat janji yang pernah diucapkan Raka sebelum berangkat. “Kalau kau masih menginginkanku pulang, ikatkan pita kuning di pohon itu.” Tapi kini, di hadapan pohon besar yang dulu mereka jadikan tempat berbagi impian, hatinya diliputi keraguan.
Jemarinya sedikit gemetar saat mengikat pita kuning di batang pohon. “Jika kau masih ingat, kau akan melihatnya,” bisiknya pelan.
Hari berlalu, malam berganti. Hingga pagi itu, suara deru bus membuyarkan lamunannya. Raka berdiri di sana. Wajahnya lelah, tapi matanya penuh harap. Namun yang membuatnya terpaku bukan hanya Sinta, melainkan pohon yang kini penuh dengan ratusan pita kuning yang berkibar diterpa angin.
Ia tertawa kecil, “Sebenarnya satu saja cukup,” gumamnya.
Sinta tersenyum, lalu melangkah mendekat. Tidak terburu-buru, tapi tanpa ragu. Dalam sekejap, jarak bertahun-tahun itu lenyap.
Pohon tua itu tetap berdiri di sana. Menjadi saksi bahwa harapan tak pernah benar-benar hilang. Dan cinta? Jika memang sejati, ia selalu menemukan jalannya untuk pulang.
Yellow Ribbon versi now..
Sudah tiga tahun sejak Raka pergi, meninggalkan rumah demi mengejar sesuatu yang katanya “masa depan lebih baik.” Sinta dulu terharu, merasa seperti tokoh utama di drama Korea. Tapi sekarang? Ah, rasanya lebih seperti CS marketplace, sibuk melayani chat yang isinya cuma “Barang ready, Kak?” tapi nggak pernah checkout.
Dulu, Raka pernah berjanji dengan pedenya. “Kalau kau masih menginginkanku pulang, ikatkan pita kuning di pohon itu.” Sinta waktu itu cuma ketawa, ya ampun, drama banget. Sekarang, dengan ponsel di tangan dan dompet digital yang mulai nyaris kosong, ia mulai ragu. Masa masih harus pakai simbol-simbol ketinggalan zaman?
Pita kuning nggak menjamin apa-apa. Yang Sinta butuhkan bukan sekadar tanda, tapi kepastian. Kalau Raka benar-benar pulang, harusnya dia pulang dengan sesuatu yang nyata, kesuksesan, kemandirian, atau minimal rencana yang jelas. Bukan pulang karena melihat selembar pita di pohon.
Akhirnya, daripada menunggu keajaiban, Sinta langsung kirim chat.
Sinta: “Mas, kapan pulang? Aku udah ikat pita kuning di pohon kayak janjimu dulu.”
Biar tahu, apakah janji itu masih berlaku, atau cuma jadi kenangan usang yang tidak lebih dari dongeng romantis.
Centang biru. Lalu muncul tiga titik. Kemudian hilang.
Sinta menghela napas. Tiga tahun menunggu, dan sekarang, dia masih harus menunggu balasan chat juga?
Beberapa menit kemudian, Raka akhirnya membalas.
Raka: “Beneran? Kirimin foto deh. Jangan pakai filter ya.”
Sinta mendengus. Masih aja pake verifikasi segala. Ia buru-buru keluar rumah, motret pohon depan warung sebelah, lalu kirim ke Raka.
Tak lama kemudian, video call masuk. Sinta angkat dengan ekspresi setengah bete.
“Ciee, masih inget aku,” kata Raka dengan senyum miringnya.
“Lama banget ngilang, tiba-tiba muncul. Mau pulang nggak, sih?” tanya Sinta dengan nada setengah protes.
Raka tertawa kecil. “Tergantung…”
Sinta mengerutkan dahi. “Tergantung apa?”
“Tergantung lo beneran nunggu aku, atau nunggu aku sukses dulu.”
Sinta terdiam. “Hah?”
“Aku tahu kenapa lo nggak langsung jawab iya atau enggak.”
Raka bersandar di kursinya. “Lo nggak butuh gue cuma sekadar balik. Lo butuh kepastian. Dan lo nggak yakin gue bakal kasih itu.”
Sinta membuka mulut, tapi Raka sudah lebih dulu melanjutkan.
“Jujur aja,Kalau gue pulang hari ini, cuma bermodal rindu, lo yakin kita bakal baik-baik aja?”
Sinta menggigit bibir. Ia menatap layar, menimbang.
“Gini deh,” kata Raka akhirnya. “Gue nggak bakal minta transferan buat tiket. Gue juga nggak bakal balik cuma karena lo pasang pita kuning di pohon. Tapi kasih gue waktu.”
Sinta menghela napas. “Berapa lama?”
“Setahun. Kalau gue nggak bisa kasih kepastian dalam setahun, lo bisa anggap gue cuma jual janji.”
Sinta diam beberapa detik, lalu mengangguk pelan. “Baiklah. Tapi kalau setahun lagi lo cuma muncul dengan alasan yang sama, gue bakal blokir lo selamanya.”
Raka terkekeh. “Fair enough.”
Mereka sama-sama tertawa kecil.
…….
Di era digital ini, kepastian nggak datang dari pita kuning di pohon atau sekadar chat manis. Yang dibutuhkan adalah komitmen. Dan kalau masih ada ragu di antara keduanya, mungkin yang mereka tunggu bukan kepulangan, tapi jawaban apakah mereka benar-benar ingin bersama.
Belum tau sih 🤪
……….
Hahaha iseng nulis di hari Minggu..
Lelah abis ngejurnal berita aktual di minggu ini
Iya, berita politik itu memang berat, penuh intrik, kepentingan, dan analisis yang nggak bisa asal. Kadang harus menyaring antara fakta dan propaganda, memahami dinamika kekuasaan, dan menelaah dampaknya buat masyarakat.
#LaSasqi #pustakaaristoteles
Comments