Indonesia: Oligarki Kian Menguasai, Rakyat Menanggung Bebannya.




Indonesia: Oligarki Kian Menguasai, Rakyat Menanggung Bebannya

Setiap tahun, masyarakat disajikan angka-angka ekonomi yang mengkhawatirkan: utang negara terus membengkak, defisit APBN semakin dalam, penerimaan pajak lesu, sementara skandal korupsi seakan tak pernah berujung. Namun, alih-alih mencari solusi konkret, publik justru dipaksa menerima kenyataan ini sebagai bagian dari "dinamika ekonomi."

Lebih ironis lagi, saat rakyat mulai mempertanyakan siapa yang bertanggung jawab, perhatian dialihkan ke isu-isu lain:,revisi UU TNI, stabilitas politik, atau janji-janji perbaikan yang tak jelas kapan akan terealisasi. Diskusi seolah hanya boleh berkutat pada akibat, bukan mencari tahu siapa yang sebenarnya berada di balik semua ini.

Utang yang Menggunung: Siapa yang Menikmati, Siapa yang Menanggung?

Pemerintah kerap menyatakan bahwa utang adalah instrumen pembangunan. Namun, jika benar demikian, mengapa masyarakat justru lebih dulu merasakan bebannya ketimbang manfaatnya? Kenaikan harga-harga, peningkatan pajak, serta pengurangan fasilitas publik menjadi konsekuensi yang tak terhindarkan.

Di balik angka utang yang kian membesar, satu pertanyaan jarang diajukan: siapa sebenarnya yang menikmati dana tersebut? Jika ditelusuri lebih dalam, banyak proyek infrastruktur yang didanai dari utang justru menguntungkan segelintir perusahaan besar. Para kontraktor raksasa mengantongi proyek bernilai triliunan rupiah, sementara rakyat hanya mendapat bagian berupa tambahan pajak dan cicilan utang negara.

Ketergantungan Indonesia terhadap pinjaman luar negeri pun kian mengkhawatirkan. Bukan hanya soal fiskal, tetapi juga pola yang membuat negara semakin tunduk pada syarat-syarat kreditur global. Ketika pemerintah membutuhkan dana tambahan, mereka harus mengikuti kebijakan ekonomi yang ditetapkan oleh para pemberi pinjaman—termasuk pengurangan subsidi bagi rakyat.

Saat APBN mengalami defisit, solusinya hampir selalu sama: menaikkan tarif dan memangkas anggaran sosial. Ironisnya, utang yang diklaim demi pembangunan rakyat justru berujung pada peningkatan beban hidup mereka.

Korupsi Merajalela, Aset Tak Pernah Dikembalikan

Skandal korupsi terus bermunculan setiap tahun, dengan angka kerugian negara yang fantastis—bahkan melebihi anggaran pendidikan atau kesehatan. Namun, ada pola yang tak pernah berubah: hukuman ringan dan aset yang jarang benar-benar dikembalikan ke negara.

Mengapa demikian? Karena sistem yang ada memungkinkan para pelaku tetap menikmati hasil korupsinya. Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset yang seharusnya menjadi senjata untuk menyita kekayaan koruptor masih terbengkalai di parlemen. Tidak ada urgensi politik untuk mengesahkannya, sebab terlalu banyak kepentingan yang bisa terdampak jika aturan ini benar-benar diterapkan.

Padahal, jika pemerintah serius menyelamatkan APBN, bukankah lebih masuk akal menyita aset koruptor untuk menutup defisit daripada terus menekan pajak rakyat kecil? Namun, kenyataannya, negara lebih memilih menekan rakyat dibandingkan mengganggu kepentingan para elite ekonomi.

Mengapa Pajak Selalu Jadi Sasaran?

Setiap kali APBN mengalami defisit, solusi pertama yang diambil adalah meningkatkan pajak. Sektor usaha kecil dan menengah semakin terhimpit dengan regulasi yang diperketat, sementara perusahaan besar justru menikmati berbagai insentif dan keringanan pajak.

Sistem perpajakan ini bukanlah kebetulan. Pajak telah lama menjadi alat untuk mempertahankan ketimpangan ekonomi. Kelompok yang memiliki akses ke kekuasaan dapat menghindari pajak melalui berbagai celah hukum, sementara masyarakat kecil tak punya banyak pilihan selain patuh.

Lebih parahnya, beban pajak ini tidak disertai transparansi dalam pengelolaannya. Rakyat dipaksa membayar lebih, tetapi tak pernah benar-benar tahu ke mana dana tersebut digunakan. Ketika masyarakat mulai mempertanyakan ini, perhatian kembali dialihkan ke isu-isu lain—ancaman ketidakstabilan politik, perlunya menjaga investasi, atau pengorbanan demi pembangunan.

Militer dalam Jabatan Sipil: Untuk Kepentingan Siapa?

Di tengah krisis ekonomi dan menurunnya kepercayaan publik, pemerintah justru mengajukan revisi UU TNI yang memungkinkan perwira militer mengisi lebih banyak posisi di sektor sipil. Langkah ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah negara benar-benar kekurangan tenaga sipil hingga harus melibatkan militer?

Sejarah membuktikan bahwa ketika militer terlalu banyak berperan dalam urusan sipil, demokrasi yang menjadi taruhannya. Namun, dalam konteks saat ini, persoalannya lebih dari sekadar politik—melainkan strategi kontrol sosial.

Saat kondisi ekonomi memburuk dan ketidakpuasan rakyat meningkat, negara membutuhkan cara untuk memastikan stabilitas tetap terjaga. Militer pun menjadi alat yang efektif untuk menekan potensi perlawanan. Bukan kebetulan jika dalam situasi ekonomi yang sulit, peran militer dalam pemerintahan justru diperluas.

Dengan semakin banyaknya perwira TNI di jabatan sipil, negara menciptakan mekanisme kontrol yang lebih kuat. Jika suatu saat rakyat mulai mempertanyakan sistem yang ada, pemerintah akan lebih mudah merespons dengan langkah-langkah represif.

Apa yang Sebenarnya Terjadi?

Rangkaian kebijakan ini bukan sekadar kesalahan teknis atau kebijakan ekonomi yang kurang efektif. Ini adalah konsekuensi dari sistem yang sejak awal memang dirancang untuk menguntungkan segelintir orang di atas kepentingan rakyat banyak.

Utang bertambah bukan karena negara kekurangan sumber daya, tetapi karena ada pihak yang diuntungkan dari kebijakan ini.

APBN defisit bukan karena rakyat kurang membayar pajak, tetapi karena kebocoran anggaran yang mengalir ke elite.

Korupsi terus berlanjut bukan karena hukum yang lemah, tetapi karena sistem yang tak pernah benar-benar dirancang untuk menghukum mereka yang berkuasa.

Militer diberi peran lebih besar bukan karena kebutuhan stabilitas, tetapi sebagai alat untuk mengontrol rakyat.

Masyarakat hanya disuguhkan dampaknya, tetapi dilarang mencari tahu akar masalahnya. Kita boleh marah pada utang, kecewa pada korupsi, dan keberatan dengan pajak yang mencekik. Namun, kita tidak boleh mempertanyakan siapa yang benar-benar diuntungkan dari semua ini.

Selama sistem ini tetap berjalan seperti sekarang, yang berubah hanyalah wajah-wajah di pemerintahan. Sementara itu, pola yang sama akan terus berulang: segelintir orang menikmati keuntungan, sementara rakyat menanggung bebannya.

Jakarta, 19 Maret 2025
Pustaka Aristoteles (Saskia UBAIDI)

DISCLAIMER.
SEBUAH OPINI UNTUK MEMBUKA WAWASAN

Tulisan ini bukanlah sebuah analisis akademik atau laporan investigasi resmi. Ini adalah opini yang didasarkan pada berbagai fakta dan fenomena yang terjadi di Indonesia, dengan tujuan membuka ruang diskusi dan memperluas wawasan.

Setiap masyarakat berhak memahami bagaimana negara dikelola, bagaimana kebijakan dibuat, dan siapa yang paling diuntungkan atau dirugikan dalam sistem yang ada. 

Opini ini tidak bermaksud untuk menyerang pihak tertentu, melainkan sebagai ajakan untuk berpikir kritis terhadap realitas yang kita hadapi bersama.

Dengan membaca ini, diharapkan pembaca dapat menggali perspektif lain, mempertanyakan status quo, dan mencari solusi yang lebih baik bagi masa depan bangsa.




Comments

Popular posts from this blog

Jalur Pendidikan HBS - Hogereburgerschool

Kampung Arab Pekojan

Tjakrabirawa di malam kelam 1 Oktober 1965