Dari Tim Sukses ke Kursi Kekuasaan: Demokrasi atau Patronase?

Dari Tim Sukses ke Kursi Kekuasaan: Demokrasi atau Patronase?
Oleh Saskia Ubaidi

Dalam praktik politik Indonesia hari ini, menjadi bagian dari tim sukses bukan hanya soal komitmen ideologis atau kerja elektoral. Ia juga membuka jalan menuju jabatan strategis, baik di badan usaha milik negara (BUMN), badan usaha milik daerah (BUMD), hingga posisi penting di kementerian atau lembaga negara lainnya. Fenomena ini mengundang pertanyaan tajam, apakah ini bagian dari demokrasi, atau justru cerminan patronase politik yang terselubung?

Demokrasi ideal menjanjikan meritokrasi, siapa yang berkompeten, dialah yang pantas menduduki jabatan publik. Namun dalam kenyataan yang kerap kita saksikan, prinsip meritokrasi sering dikalahkan oleh logika balas jasa politik. Ketika posisi strategis diberikan bukan karena keahlian, melainkan karena kontribusi dalam memenangkan pemilu, maka demokrasi kita telah tergelincir ke dalam patronage democracy yaitunsuatu bentuk demokrasi yang dibajak oleh kepentingan elite dan jaringan kekuasaan.

Dalam teori kekuasaan, praktik ini sangat dekat dengan konsep patron-klien. Patron dalam hal ini pemegang kekuasaan politik memberi akses terhadap sumber daya negara sebagai imbalan atas loyalitas dan jasa politik dari para klien (tim sukses, relawan, simpatisan elite). Relasi ini tidak berbasis kinerja, melainkan pada keterikatan personal dan timbal balik kekuasaan.

Fenomena ini juga dapat dijelaskan melalui teori elite seperti yang dikemukakan oleh Vilfredo Pareto dan Gaetano Mosca. Menurut mereka, dalam setiap sistem politik, ada kecenderungan terbentuknya sirkulasi elite, di mana orang-orang dari lingkaran dalam kekuasaan akan selalu mengisi posisi penting, tak peduli apa sistemnya bisa monarki, otoriter, bahkan demokrasi sekalipun. Demokrasi prosedural pun bisa dikendalikan oleh minoritas elite yang saling bertukar posisi, membentuk semacam oligarki elektoral.

Praktek dalam dunia global bukan tidak ada. Di Brasil, Filipina, bahkan Amerika Serikat di masa lalu, praktik serupa pernah terjadi. Namun negara-negara tersebut, melalui reformasi birokrasi dan tekanan masyarakat sipil, mulai memperbaiki sistem agar posisi publik tidak lagi menjadi alat transaksi politik.

Di Indonesia, kita justru makin terbiasa dengan normalisasi ini. Pengangkatan tim sukses menjadi komisaris, staf ahli, atau pejabat kementerian sering diterima publik sebagai hal wajar. Padahal, jika ditelaah lebih dalam, inilah bentuk “Privatisasi jabatan publik” di mana posisi yang seharusnya menjadi milik rakyat, justru menjadi alat distribusi kekuasaan bagi segelintir elite.

Maka, pertanyaannya bukan lagi: "Apakah ini sah dalam demokrasi?" Tapi  "Apakah demokrasi kita masih layak disebut demokrasi bila dikelola seperti ini?"

Demokrasi sejati menuntut lebih dari sekadar pemilu lima tahunan. Ia menuntut integritas, akuntabilitas, dan keberpihakan pada kepentingan publik. Bila tidak, yang tersisa hanyalah cangkang demokrasi yang dikuasai oleh logika feodal dalam balutan modernitas.

Jakarta, 29 April 2025
Saskia UBAIDI (Pustaka Aristoteles)

Comments

Popular posts from this blog

Jalur Pendidikan HBS - Hogereburgerschool

Kampung Arab Pekojan

Tjakrabirawa di malam kelam 1 Oktober 1965