Pasar Saham Butuh Patriot, Bukan Spekulan Internasional
Pasar Saham Butuh Patriot, Bukan Spekulan Internasional
Saat Asing Pergi, Investor Lokal Menjadi Penopang Pasar Modal KitaSejak awal 2025, pasar modal Indonesia didera tekanan hebat. Bukan hanya karena ketidakpastian global, tetapi juga karena faktor yang lebih politis dan simbolik yaitu kembalinya Donald Trump ke Gedung Putih, dan dimulainya kembali perang dagang ala proteksionisme AS.
IHSG pun sempat longsor ke 5.900 level terendah dalam empat tahun terakhir. Investor asing angkat kaki, mencatatkan penjualan bersih hingga Rp 35 triliun. Seolah pasar kita sedang dihukum oleh dinamika global yang tak bisa dikendalikan dari dalam negeri.
Namun justru dalam kekacauan itulah, harapan datang dari tempat yang lama dilupakan yaitu investor lokal.
Investor Lokal, Penyelamat Sementara?
Pada 8 April, tepat di hari pertama perdagangan pasca-Idul Fitri, investor ritel dan institusi domestik masuk pasar. Mereka menyerap hampir seluruh penjualan asing, bahkan mencatatkan pembelian bersih lebih dari Rp 4,9 triliun. Tindakan ini bukan hanya soal untung-rugi jangka pendek, tapi juga menunjukkan bahwa keberlanjutan pasar modal nasional kini tidak lagi tergantung pada investor asing.
Dulu, investor asing adalah barometer sentimen. Kini, dengan tekanan global yang semakin tak terduga, ketergantungan pada asing justru jadi sumber instabilitas.
Intervensi Negara, Seberapa Cukup?
BEI dan OJK tanggap. Mereka segera melonggarkan aturan buyback, menaikkan batas penurunan harga (ARB), dan menurunkan ambang trading halt. Tujuannya jelas redam kepanikan.
Namun satu pertanyaan muncul: apakah cukup?
Dari total rencana buyback Rp 14,97 triliun yang diumumkan oleh 21 emiten, baru sekitar 3 persen yang benar-benar direalisasikan. Artinya, sebagian besar perusahaan masih wait and see, mungkin karena keterbatasan kas atau ketakutan lebih dalam akan resesi global.
Dana Institusi, Mengapa Masih Minim di Saham?
Salah satu paradoks pasar modal Indonesia adalah ini: aset dana pensiun dan asuransi besar, tapi hanya sedikit yang dialokasikan ke saham. Rata-rata hanya 9%. Bandingkan dengan Thailand (26%), India (17%), atau Australia dan Selandia Baru yang mencapai 40% lebih.
Artinya, sumber dana domestik sebenarnya ada. Tapi belum cukup dioptimalkan.
Kita butuh reformasi regulasi yang memungkinkan dana institusi milik negara termasuk dana pensiun BUMN untuk ikut memperkuat pasar saham. Kalau tidak, kita akan terus berada dalam siklus ketergantungan pada investor asing yang rentan berubah arah sewaktu-waktu.
Danantara, Mimpi Sovereign Capital Fund?
Dalam konteks ini, hadirnya Badan Pengelola Dana Abadi Nasional (Danantara) layak dicermati. Lembaga ini disebut akan berfungsi sebagai "leverage equity", artinya menjadi katalis untuk menarik investasi dan menopang pasar.
Namun tentu saja, ini akan bergantung pada dua hal krusial yaitu transparansi dan tata kelola. Jangan sampai Danantara menjadi lembaga penampung dana yang tak punya misi jangka panjang untuk pendalaman pasar.
Kalau dikelola dengan benar, ia bisa menjadi versi Indonesia dari Temasek Singapura atau Khazanah Malaysia.
Menuju Kedaulatan Pasar Modal
Ketika dunia berubah cepat dan gejolak eksternal makin tak terkendali, kita tidak bisa terus berharap pada modal asing. Kini saatnya memperkuat kekuatan dari dalam. Mulai dari investor ritel, emiten yang bertanggung jawab, hingga reformasi kebijakan bagi dana institusi negara.
Kedaulatan ekonomi dimulai dari kedaulatan pasar modal. Dan itu hanya bisa dicapai jika kita serius mendorong partisipasi investor dalam negeridengan perlindungan, insentif, dan strategi jangka panjang.
Karena saat asing pergi, yang bisa kita andalkan adalah kita sendiri.
Jakarta,10 April 2025
Oleh: Pustaka Aristoteles (Saskia UBAIDI)
Comments