Mengapa Kita Selalu Merasa Ada yang Kurang?
Mengapa Kita Selalu Merasa Ada yang Kurang?
Sejak kecil, setiap dari kita membawa sesuatu yang sulit dijelaskan. Ada sebuah ruang kecil dalam diri yang tidak pernah benar-benar terisi. Ia muncul diam-diam. Mungkin kita pernah merasakan saat kita masih kecil ditinggal ibu sebentar atau saat teman tidak mengajak bermain, bahkan saat jatuh cinta, lalu menyadari, ada rindu yang tak bisa disampaikan. Dan hal ini bisa terjadi juga ketika ada pencapaian besar, ternyata tak membahagiakan seperti yang kita kira.
Ruang itu tidak pernah hilang. Ia tumbuh bersama usia, bersembunyi di balik ambisi, cinta, keberhasilan, kekalahan, dan doa. Sebagian orang mengira itu luka. Sebagian mengira itu kekurangan. Tetapi bagaimana jika justru ruang kecil itu adalah pusat dari siapa kita?
Cerita Tuti memberi kita jalan masuk untuk memahami hal itu. Saat masih bayi, Tuti selalu tidur di pangkuan ibunya, dalam dunia kecil yang hangat dan utuh. Tidak ada kata, tidak ada batas, tidak ada jarak. Dunia Tuti hanyalah napas ibu, nada lembut, dan pelukan yang membuat segalanya menyatu. Ia tidak mengenal “aku”, dan tidak perlu mengenalnya. Dunia terasa bulat, penuh, dan sempurna.
Suatu pagi, saat merangkak mencari mainannya, Tuti berhenti di depan cermin lemari. Di sana, ia melihat seorang bayi lain yang menatapnya dengan mata besar dan senyum lucu. Tuti mengangkat tangan, dan bayi itu mengangkat tangan juga. Sebuah rasa bahagia muncul untuk pertama kalinya, ia merasa menemukan dirinya. “Itu aku,” pikirnya dengan polos. Ia merasa utuh, seperti bayi di cermin itu padahal yang ia lihat hanyalah gambaran yang lebih rapi daripada dirinya yang sebenarnya. Inilah awal dari ego manusia, identitas yang lahir dari salah mengenali diri, identitas yang manis tetapi ilusif.
Namun utuh yang berasal dari cermin tidak bertahan lama. Ketika Tuti mulai membesar, pelukan ibu tidak lagi selalu tersedia. Ibu harus memasak, mencuci, bekerja, berbicara di telepon, atau sekadar menutup pintu untuk beristirahat. Pada detik-detik itu, Tuti merasakan sebuah kekosongan kecil di dadanya. Satu hal yang ia tahu hanyalah bahwa ada sesuatu yang hilang, meski ia tidak tahu apa. Kadang seperti rindu, kadang seperti kecewa, kadang seperti pertanyaan tanpa jawaban. Lubang kecil itu muncul pertama kali justru ketika cinta yang dulu total mulai memiliki jarak.
Suatu sore, ayah duduk di depannya dan berkata, “Coba bilang aku.” Tuti menirunya dengan bangga. “A-ku… Tu-ti.” Dengan kata itu, Tuti masuk ke dunia baru, dunia kata, aturan, nama, dan struktur. Bahasa membuatnya bisa berbicara dan memahami dunia, tetapi sekaligus membuatnya sadar bahwa ia adalah seorang “aku” yang berbeda dari yang lain, bukan lagi satu dengan ibunya seperti dulu. Bahasa memberi bentuk, tetapi juga memberi batas.
Semakin banyak ia belajar kata-kata, semakin jelas batas itu terasa. Dunia tidak lagi bulat seperti pelukan ibu atau seperti bayi dalam cermin. Dunia kini memiliki garis-garis tegas antara boleh dan tidak boleh, ini milikmu dan itu bukan, ini benar dan itu salah. Dan di antara garis-garis itu, lubang kecil di hati Tuti mulai berdenyut. Sesuatu yang tidak bisa ia ucapkan, tidak bisa ia gambarkan, tidak bisa ia mengerti, yang selalu tertinggal di hati, tapi sulit dijelaskan dengan kata-kata.
Di sinilah Jacques Lacan, seorang psikoanalis Prancis yang dikenal karena membongkar cara manusia membentuk diri masuk dalam cerita. Lacan bukan penulis buku self-help yang menawarkan jalan pulang ke keutuhan. Sebaliknya, ia menunjukkan bahwa manusia justru dibangun dari ketidaksempurnaan. Dalam pandangannya, ada bagian dari diri yang tidak pernah sepenuhnya bisa dijelaskan oleh kata-kata, tidak bisa ditunjukkan oleh cermin, dan tidak bisa ditata oleh logika. Bagian ini ia sebut The Real.
The Real bukanlah sesuatu yang misterius dalam arti mistik. Ia adalah bagian paling murni dari diri manusia, tetapi sekaligus bagian yang paling sulit disentuh oleh kesadaran. Ia muncul bukan sebagai kalimat yang jelas, melainkan sebagai getaran halus, rindu yang tidak tahu kepada siapa, gelisah yang tidak tahu dari mana datangnya, keinginan yang tidak punya bentuk, dan rasa kurang yang tidak pernah benar-benar pergi. The Real adalah apa yang tersisa setelah cermin gagal menggambarkan diri kita secara sempurna, dan setelah bahasa gagal menjelaskan siapa kita sebenarnya.
Lacan menunjukkan bahwa apa yang paling kita rasakan dalam sunyi yang samar, yang tak terjelaskan, yang tidak bisa diucapkan justru adalah inti dari diri kita. Kita tidak pernah kembali utuh seperti gambar dalam cermin masa kecil, kita juga tidak pernah terwakili sepenuhnya oleh kata “aku.” Selalu ada sisa yang tidak pas, tidak cocok, tidak masuk dalam kategori apa pun. Dan justru sisa itu yang paling jujur tentang kita.
Žižek lalu melangkah lebih jauh. Jika Lacan menyebut lubang itu sebagai kekurangan dalam diri, Žižek mengatakan sesuatu yang lebih tajam, lubang kecil itu bukan sesuatu yang Tuti miliki melainkan sesuatu yang membentuk Tuti. Diri bukan rumah penuh isi yang kebetulan ada celah; diri adalah celah itu sendiri. Subjek adalah kekosongan itu, retakan kecil itu, ruang yang tidak pernah selesai dicari jawabannya.
Dan mungkin ini saatnya pembaca mengenal siapa Žižek. Ia adalah filsuf yang tumbuh di Slovenia pada akhir abad ke-20, masa ketika Eropa Timur sedang retak, ide-ide besar mulai runtuh, komunisme goyah, dan kapitalisme masuk seperti gelombang besar yang tidak terbendung. Ia hidup di zaman di mana orang-orang mencari kepastian baru, sebagian ke psikologi populer, sebagian ke motivasi spiritual, sebagian ke janji-janji politik. Tetapi Žižek justru berjalan ke arah berlawanan. Alih-alih memberikan resep kebahagiaan, ia menunjuk pada bagian hidup yang paling tidak nyaman yaitu kekurangan, kegelisahan, dan ruang kosong dalam diri manusia.
Dalam ceramah-ceramahnya yang sering terlihat kacau, dengan rambut acak-acakan dan tangan bergerak tak henti, Žižek berbicara tentang manusia seperti seseorang bercerita tentang rahasia yang selalu kita ketahui tetapi tidak pernah kita akui, bahwa kita tidak lengkap, dan kita tidak akan pernah lengkap. Ia mengambil teori Lacan dan memadukannya dengan dunia yang sangat akrab bagi kita yaitu film, politik, iklan, budaya sehari-hari untuk menunjukkan bahwa lubang kecil di dalam diri bukan fenomena abstrak, tetapi sesuatu yang hadir dalam hidup kita seluruhnya.
Bagi Žižek, dunia modern tidak memberikan keutuhan, tetapi justru memperlihatkan retakan-retakan yang kita coba tutupi melalui prestasi, cinta, pencapaian, kepemilikan, bahkan lewat layar-layar media sosial yang kita tatap setiap hari. Ia melihat kekurangan bukan sebagai kelemahan, tetapi sebagai energi yang menggerakkan kehidupan. Dan di sinilah ia menyambung cerita Tuti, bahwa lubang kecil yang dulu muncul saat pelukan ibu mulai berjarak tidak pernah pergi karena memang tidak seharusnya pergi. Lubang kecil itu adalah pusat dari siapa kita.
Maka ketika Žižek mengatakan bahwa diri bukan wadah yang retak, melainkan retakan itu sendiri, ia sedang mengajak kita melihat bahwa apa yang kita kira sebagai masalah pribadi seperti rasa kurang, tidak puas, tidak tenang justru adalah fondasi kemanusiaan kita. Kita mencari bukan karena kita tahu apa yang dicari, tetapi karena mencari adalah sifat paling dasar dari manusia. Tanpa kekosongan itu, tidak ada gairah, tidak ada pencarian makna, tidak ada cinta yang mendalam, bahkan tidak ada tulisan seperti ini.
Kita hidup justru karena ada ruang yang tidak pernah selesai diisi. Dan lubang kecil di hati Tuti yang akhirnya juga menjadi lubang kecil di hati kita semua, adalah tempat di mana manusia benar-benar dimulai. Bukan dari keutuhan, tetapi dari kekosongan kecil yang diam-diam memberi arah.
Manusia tidak pernah berhenti menginginkan sesuatu. Bukan semata karena kita mengejar benda, cinta, atau pencapaian itu sendiri, melainkan karena kita terus berusaha menyentuh sebuah ruang kosong yang tidak mungkin tertutup. Kita hidup karena kurang. Kita mencintai karena kurang. Kita bertarung, belajar, bekerja, dan berdoa karena ada sesuatu dalam diri kita yang tidak lengkap dan justru karena itulah kita bergerak.
Tuti mungkin tidak pernah tahu istilah seperti: lack, symbolic, atau the Real, tetapi ia merasakannya setiap kali hujan turun dan ia duduk sendirian, setiap kali ia ingin dipeluk, setiap kali ia tiba-tiba sedih tanpa sebab setelah merasa bangga. Ia tahu ada lubang kecil itu, dan lubang itu membuatnya ingin dicintai, ingin diakui, ingin dilihat. Dari lubang kecil itulah seluruh hidupnya beranjak, tumbuh, dan mencari.
Pada akhirnya, kita semua adalah Tuti. Kita dibangun oleh ilusi pertama kita sendiri, dipisahkan oleh bahasa, dibentuk oleh kehilangan, dan disatukan oleh sesuatu yang tidak pernah bisa kita ucapkan. Kita mengira kekurangan itu adalah cacat, padahal justru di situlah letak kemanusiaan kita. Kita bukan keutuhan yang retak kita adalah retakan yang membuat hidup menjadi mungkin.
Dan mungkin itulah jawabannya. Kita selalu merasa ada yang kurang, karena kurang itulah yang membuat kita hidup. Kurang itu bukan musuh kita. Kurang itu adalah bagian diri yang diam-diam menuntun kita menjadi manusia.
Jakarta, 21 November, 2025
Saskia Ubaidi [Pustaka Aristoteles]
Catatan
Gagasan dalam tulisan ini merujuk pada Jacques Lacan dalam Écrits dan The Four Fundamental Concepts of Psychoanalysis, serta pembacaan Slavoj Žižek dalam The Sublime Object of Ideology dan The Ticklish Subject.
Konsep (Lacan): Lack, Symbolic, dan The Real
Lack (kekurangan)
Ini adalah perasaan dasar bahwa dalam diri kita selalu ada “yang kurang”. Perasaan ini muncul ketika kita tidak lagi menyatu sepenuhnya dengan ibu atau sumber kehangatan pertama dalam hidup. Kita merasa ada ruang kosong di dalam diri. Kekosongan ini bukan kelemahan, justru membuat kita ingin mencari, ingin dicintai, ingin diakui, dan ingin berkembang. Tanpa “lack”, manusia tidak akan bergerak.
Symbolic (dunia bahasa dan aturan)
Ini adalah dunia ketika kita sudah bisa berbicara dan belajar kata “aku”. Di sini kita mulai mengenal aturan, identitas, dan batas, mana yang boleh, mana yang tidak, siapa diri kita, dan siapa orang lain. Dunia ini membantu kita memahami hidup, tapi juga memisahkan kita dari keutuhan awal ketika kita masih bayi.
The Real (bagian diri yang tak bisa dijelaskan)
Ini adalah sisi diri yang tidak bisa diucapkan dengan kata-kata. Kita merasakannya sebagai rindu yang tidak jelas, gelisah tanpa alasan, mimpi yang tidak lengkap, atau perasaan kosong yang sulit dijelaskan. The Real bukan sesuatu yang ajaib, itu hanya bagian diri yang tidak bisa ditata oleh bahasa, tapi tetap selalu terasa.

Comments