Mimpi tentang Sepatu yang RusakCatatan dari Alam Bawah Sadar

Mimpi tentang Sepatu yang Rusak
Catatan dari Alam Bawah Sadar

Siang itu, di antara lelah dan kantuk, Si A tertidur. Dalam tidurnya yang sebentar, ia bermimpi ikut dalam sebuah gladi resik kegiatan besar, semacam atraksi yang menggabungkan gerak, keseimbangan, dan keberanian. Bisa dikatakan mirip ice  skating, tapi bukan di atas air melainkan  sebuah lantai yang memiliki lapisan khusus semacam marmer. Sudah pasti atraksi di mana tubuh dan pikiran harus bekerja dalam keserasian penuh macam seorang penari yang sangat luwes.  Entah dari mana datangnya, tapi ia tahu bahwa atraksi ini berasal dari sebuah kelompok seni besar dari Tiongkok, negara yang dalam ingatannya selalu identik dengan disiplin, keteraturan, dan harmoni yang nyaris matematis.

Di tengah latihan itu, sepatunya tiba-tiba rusak. Talinya putus, solnya mengelupas. Ia berhenti di tengah lintasan dan memandangi alas kaki itu seolah baru menyadari betapa rapuhnya benda yang selama ini menopang langkahnya. Tanpa panik, ia lalu berjalan mendekati panitia dan berkata bahwa ia akan membutuhkan sepatu khusus untuk tampil nanti saat pertunjukan sesungguhnya dimulai. Panitia itu mengangguk pelan, seolah hendak menjawab, tapi belum sempat satu kata pun terucap, Si A terbangun—dalam keheningan yang menggantung, seperti ada pesan yang belum selesai disampaikan.

Menurut pemikiran Carl Gustav Jung, mimpi semacam ini bukanlah kebetulan. Ia bukan gangguan tidur, melainkan percakapan halus antara kesadaran dan alam bawah sadar, antara bagian diri yang terlihat dan bagian yang tersembunyi. Gladi resik dalam mimpi adalah simbol dari tahap persiapan jiwa sebelum menghadapi babak baru dalam kehidupan. Ia menandai masa transisi, ketika seseorang tengah berada di ambang perubahan, tetapi belum sepenuhnya siap untuk melangkah.

Si A, dalam hal ini, sedang dilatih oleh batinnya sendiri. Ia tengah berlatih keseimbangan, bukan di dunia simbolik spiritual, melainkan di dunia nyata yang menuntut langkah pasti. Atraksi di daratan menggambarkan usaha untuk menemukan harmoni di tengah realitas yang keras. Ada tuntutan untuk menguasai keterampilan, kesabaran, dan ketepatan, sebuah latihan panjang menuju kedewasaan psikis.

Namun, sepatu yang rusak itu mengubah segalanya. Dalam simbolisme Jungian, sepatu adalah representasi dari cara kita berpijak di dunia, cara kita menapaki kenyataan dengan seluruh beban dan keyakinan yang kita punya. Ketika sepatu rusak, itu berarti alat ego mulai kehilangan daya tahan; ada keraguan, mungkin juga kelelahan. Tetapi alih-alih menyerah, Si A justru melakukan sesuatu yang menandakan kesadarannya mulai bekerja,  ia mencari panitia dan meminta sepatu baru. Di sinilah proses individuasi berproses menjadi diri seutuhnya mulai terjadi.

Tindakan sederhana itu menunjukkan bahwa Si A tidak menolak kenyataan, tetapi mengakuinya. Ia tahu ada sesuatu yang perlu diperbaiki. Ia memilih berdialog dengan “otoritas batin” yang diwakili oleh panitia, karena mereka yang mengatur jalannya pertunjukan. Simbol dari inner authority, dewan halus dalam diri yang menilai apakah seseorang sudah siap naik ke panggung kehidupan. 

Dialog itu mungkin belum selesai, karena Si A terbangun sebelum jawaban diberikan. Namun justru di situlah pesan mimpi bekerja dimana  yang belum selesai di dunia bawah sadar, diminta untuk diteruskan di dunia nyata.

Ketika ia terjaga, rasa ganjil itu masih melekat, seolah gladi resik itu benar-benar terjadi, dan sepatu itu benar-benar rusak.

Si A tahu, di balik citra mimpi itu, ada isyarat bahwa dirinya sedang bersiap menuju babak baru, tapi pijakannya masih perlu diperkuat. Alam bawah sadar seperti sedang menuntunnya untuk memperbaiki “sepatu” hidupnya: kemampuan, keyakinan, struktur yang menopang langkahnya agar tak mudah terlepas.

Mimpi itu menjadi cermin yang lembut namun jujur. Ia memperlihatkan bahwa proses kesiapan tidak selalu datang dengan gegap gempita, melainkan lewat latihan-latihan kecil, bahkan dalam tidur siang yang tak direncanakan. Seperti gladi resik itu sendiri, hidup juga sering kali adalah latihan panjang sebelum pertunjukan sejati dimulai.

Dan mungkin, pesan yang belum sempat diucapkan panitia dalam mimpi itu bukanlah peringatan, melainkan peneguhan. Bahwa tak apa jika sepatu kita rusak, asal kita mau memperbaikinya dan terus berlatih melangkah. Karena di balik setiap gladi resik, selalu ada panggung yang menanti.

Mimpi itu seperti surat kecil dari jiwa,” tulis Jung suatu kali. “Ia datang tidak untuk menakut-nakuti, melainkan untuk menuntun kesadaran kembali ke pusat dirinya.”

Maka barangkali Si A hanya perlu memahami satu hal: bahwa ia tidak sedang gagal melangkah, melainkan sedang belajar melangkah dengan sepatu yang lebih kuat, karena pertunjukan hidupnya belum dimulai, tapi sudah pasti akan datang.

Jakarta, 12 November 2025
Saskia Ubaidi ( Pustaka Aristoteles)

Comments

Popular posts from this blog

Jalur Pendidikan HBS - Hogereburgerschool

Tjakrabirawa di malam kelam 1 Oktober 1965

Kampung Arab Pekojan