Cerpen Elegi Natal Untuk Sofia
Di sudut jalan Karangjati, di kota Semarang, berdiri sebuah rumah tua peninggalan amtenar Belanda. Dindingnya tinggi dengan cat putih gading yang mulai mengelupas, memiliki jendela-jendela besar berjalusi demi menjaga sirkulasi udara. Di halaman depan, pohon asem rindang menaungi beranda yang luas, ranting-rantingnya menjulur liar, dan daun-daunnya berguguran perlahan ke tanah.
Beranda berlantai tegel itu dihiasi kursi rotan tua dan meja kecil, tempat pemilik rumah sering duduk membaca koran sambil menikmati secangkir teh. Rumah ini, meski tak lagi sempurna, tetap memancarkan kehangatan dan menyimpan jejak masa lalu dalam setiap sudutnya.
Ruang makan terletak di tengah rumah, dengan lampu gantung tembaga berbentuk mangkuk terbalik menggantung rendah tepat di atas meja makan kayu jati. Meja ini adalah warisan keluarga yang telah turun-temurun, memiliki mekanisme lipatan tersembunyi di bagian tengahnya. Papan tambahan tersebut dapat memperluas meja, menjadikannya praktis saat harus menampung lebih banyak hidangan di acara keluarga atau jamuan istimewa.
Persiapan makan malam Natal di rumah itu hampir selesai. Meja panjang dari kayu jati ditutup kain putih berenda, dihiasi lilin-lilin kecil yang berkelip lembut, menciptakan suasana hangat dan tenang. Hidangan khas mulai memenuhi meja: bistik berkuah kental yang masih mengepul, salad kentang bercampur bit dan apel, sepiring kentang halus yang dipanggang hingga keemasan, dan tentu tidak lupa nasi putih hangat.
Di dapur, Amalia memeriksa hidangan sekali lagi , memastikan rasa sudah pas. Malam ini, dia tampak cantik. Perempuan ini mengenakan kebaya encim putih dengan bordiran sederhana yang dipadukan dengan kain batik, rambutnya dicepol rapi seperti gaya Sofia, yang selalu tampil anggun setiap Natal. Aroma halus dari parfum Maja Myrurgia Spanyol yang dikenakannya melengkapi kesempurnaan malam itu, membawa kesan nostalgia dan keanggunan yang membaur dengan hangatnya suasana keluarga.
Herman, suami Amalia, sedang berbincang dengan ayahnya, si tua Opa Huis, ayahnya Belanda totok yang memilih untuk menetap di Indonesia hingga akhir hayatnya.
Meski Sofia, istrinya, telah lama berpulang, Opa Huis tetap menganggap Indonesia sebagai rumahnya, tempat kenangan bersama Sofia terukir dalam setiap sudutnya. Sofia adalah cinta sejatinya walau berbeda ras dan bangsa. Dari pernikahan itu, mereka dikaruniai satu anak, Herman, yang tumbuh dengan darah dan budaya campuran dan sudah tentu ganteng balsteran ini.
“Malam Natal selalu terasa berbeda tanpa Ma,” gumam Opa Huis dengan nada berat, matanya menerawang ke foto Sofia yang terpajang di dinding.
“Dia selalu membuat suasana jadi hangat, Pa,” jawab Herman pelan. “Tapi Amalia sudah menjaga tradisi ini dengan baik. Kau lihat, kan, dia mengenakan kebaya encim yang selalu dipakai Ma saat Natal” Herman berusaha bergurau kepada ayahnya.
Opa Huis tersenyum tipis, tatapannya masih tertuju pada foto Sofia. “Ma selalu nampak anggun berkebaya encim setiap malam Natal, meski ia sendiri tidak pernah merayakannya secara pribadi,” ucapnya pelan. “Tapi dia selalu punya cara membuat segalanya terasa sempurna. Kehangatan yang ia ciptakan seolah menjembatani perbedaan, membuat semuanya terasa alami.”
Ia berhenti sejenak, menatap Herman dengan sorot mata yang penuh rasa syukur. “Aku tak pernah menyesal tinggal di sini, Herman. Pulang ke Belanda hanya akan membuat kenangan bersamanya terasa jauh. Di sini, di rumah ini, aku merasa dia tetap dekat.”
Opa Huis terdiam, pikirannya melayang jauh, menembus waktu hingga ke awal pertemuannya dengan Sofia di kota Ciamis. Ia kembali mengingat sosok Sofia di belakang meja sebuah perusahaan Belanda, tempat ia bekerja sebagai sekretaris direksi, posisi yang lumayan. Hari itu Sofia mengenakan kemeja sederhana dengan rambut yang terikat rapi, tangannya cekatan mengetik laporan penuh angka dengan presisi yang mengagumkan. Wajahnya memancarkan ketenangan saat bekerja.
Ma bukan orang yang mudah terpesona, Herman,” ujar Opa Huis, tersenyum kecil mengenang masa lalu. “Dia berbeda, aku mengaguminya sejak pertama kali aku bertemu dengannya di Ciamis. Ayahnya, seorang advokat lulusan Leiden, sangat terpandang di kalangan masyarakat setempat. Dia memiliki pemikiran maju dan mendorong Ma untuk mendapatkan pendidikan terbaik pada zamannya. Ma lulus dari Hogere Burgerschool (HBS), sebuah prestasi yang sangat jarang bagi perempuan lokal saat itu. Setelah itu, dia mengambil kursus mengetik, yang membuka jalan baginya untuk bekerja di kantor, dimana tidak semua saat itu masuk dalam dunia kerja.
Opa Huis berhenti sejenak, matanya menerawang, mengenang sosok Ma yang muda, cerdas, dan penuh percaya diri. “Ma sangat mandiri dan tegas. Saat pertama kali bertemu di kantor, dia tidak menunjukkan rasa hormat berlebihan seperti yang lain. Dia berbicara sopan tapi lugas, tanpa basa-basi. Baginya, aku hanya seorang amtenar Belanda. Itu membuatku sekaligus kagum dan merasa tertantang.”
Opa Huis tersenyum tipis, matanya berbinar. “Aku mencoba mendekatinya dengan percakapan ringan, menanyakan tentang keluarganya. Tapi dia hanya menjawab singkat, “Tuan Huis, jika Anda membutuhkan dokumen ini, saya akan mengetiknya sekarang.’ Tidak ada senyum, tidak ada obrolan. Saat itu aku sadar, jika ingin mengenalnya lebih jauh, aku harus membuktikan diriku.”
Ia menarik napas panjang sebelum melanjutkan. “Aku mulai memperhatikan hal-hal kecil. Aku memuji pekerjaannya, menunjukkan bahwa aku menghargai kecerdasannya. Suatu hari, aku tahu dia suka membaca puisi. Aku memberinya buku puisi Belanda favoritku. Awalnya dia ragu, tapi keesokan harinya dia kembali dengan senyum kecil, berkata, ‘Tuan Huis, puisi ini indah, tapi Anda harus membaca karya dari tanah saya.’ Lalu dia menyerahkan buku puisi lokal dalam bahasa Indonesia.”
Opa Huis tertawa kecil, mengenang saat itu. “Itu momen penting, Herman. Aku tahu dia lebih dari sekadar cerdas. Perlahan dia mulai membuka dirinya. Dan ketika dia mulai mempercayaiku, aku tahu aku telah memenangkan hati seseorang yang luar biasa.
“Ibumu, Herman, adalah kombinasi sempurna antara keberanian, kecerdasan, dan cinta yang tak tergantikan.”
Dia tersenyum kecil, namun matanya berkaca-kaca. “Ciamis adalah awal dari segalanya. Setelah menikah, aku ditugaskan ke Semarang, dan Ma berhenti bekerja di Ciamis. Tapi kau tahu Ma, dia tidak pernah bisa diam saja. Dia meminta untuk mengikuti kursus membuat kue dengan Nyonya Alida, seorang pembuat kue yang terkenal di Semarang. Dari situ, dia mulai menemukan kecintaannya pada dunia kue.”
Huis berhenti sejenak, mengenang sosok Ma yang penuh semangat. “Setelah kelahiranmu, Herman, dia memutuskan membuka toko kecil di pasar. Awalnya, aku khawatir itu akan terlalu berat baginya, tapi Ma punya cara sendiri. Dia tidak hanya menjalankan toko dengan penuh dedikasi, tapi juga mengurus rumah tangga dengan sempurna. Kau tahu, Herman, bagaimana Ma bisa menangani semuanya dengan baik. Dari memastikan pelanggan puas hingga menjaga rumah tetap teratur. Dia adalah pusat dari segalanya di rumah ini.”
Dia menghela napas panjang, lalu melanjutkan dengan suara yang lebih lembut. “Walau Ma sudah lama wafat, aku tetap memilih tinggal di Indonesia. Pulang ke Belanda tak pernah menjadi pilihan. Di sini, bersama kenangan Ma, aku merasa dia tetap hidup dalam setiap sudut rumah ini, dalam setiap langkahku. Semarang adalah rumah kami, dan kenangan bersama Ma adalah alasan aku tetap bertahan di sini.”
Herman menepuk bahu ayahnya dengan lembut, mengangguk tanpa kata-kata. Malam itu, ruang tamu yang hangat itu bercerita kenangan dan cinta lama yang tetap hidup di hati Opa Huis.
Opa Huis tersenyum kecil, lalu menghela napas panjang. “Kau tahu, Herman, meskipun Ma sendiri tidak merayakan Natal, dia selalu memahami apa artinya malam ini bagi orang-orang. Itu sebabnya dia membuat kue Moscovis dengan penuh cinta. Kue itu bukan hanya untuk dijual, tetapi untuk membawa kebahagiaan bagi mereka yang merayakannya. Setiap Natal, dia selalu mengirimkan 2 loyang besar ke panti asuhan anak-anak. Dia bilang, berbagi adalah cara terbaik untuk merayakan cinta.”
Herman mengangguk, mengenang. “Ya, Pa. Aku ingat bagaimana toko selalu penuh menjelang Natal. Orang-orang antre panjang untuk membeli kue bolu Moscovis. Tapi bukan hanya itu, Ma juga terkenal dengan kue-kue lainnya. Pelanggan selalu memuji kerstkransjes kue berbentuk lingkaran dengan rasa vanila dan almond yang khas. Kue itu hanya dibuat Ma saat menjelang Natal , dan rasanya selalu mengingatkan mereka pada kehangatan rumah di Eropa.”
Herman berdiri dan berjalan menuju lemari kayu di sudut ruangan yang berfungsi sebagai cooler. Tangannya meraih sebotol Sauvignon Blanc dari rak, botol yang sudah lama ia simpan untuk momen istimewa yang akan dia suguhkan pada acara makan malam nanti. Saat menggenggamnya, pikirannya melayang ke masa kecil, Natal-natal yang ia habiskan bersama Pa dan Ma.
Ia teringat di usia 12 tahun saat itu , ketika Sofia menawarkan segelas kecil wine untuknya, sambil tersenyum penuh arti.
“Diam-diam saja, ya,” bisik Sofia sambil menuangkan sedikit wine ke gelas kecil Herman. “Minum cepat sebelum Papa melihatmu. Kau sudah cukup besar untuk merasakannya sedikit.”
Herman tersenyum kecil mengingat kejadian itu. Ia merasa istimewa bukan hanya karena mencicipi wine untuk pertama kalinya, tetapi karena Sofia, dengan cara lembutnya, membuat segalanya terasa hangat dan penuh makna.
Natal tahun ini berbeda. Mereka kedatangan tamu istimewa, adik Opa Huis, yaitu Opa Hans, dan istrinya, Oma Mareike. Pasangan itu sedang berlibur ke Semarang, mengunjungi tempat-tempat bersejarah yang mengingatkan masa lalu. Opa Hans, juga sudah tua, tapi tampak lebih bugar dibandingkan Opa Huis. Mungkin karena dia banyak bergerak, bersepeda di belanda sana. Rambut putihnya tertata rapi, dan ia berbicara dengan suara tegas meski kurang lancar berbahasa Indonesia. Sebaliknya, Oma Mareike, dengan senyum ramahnya, bisa berbicara sedikit dalam bahasa Indonesia, menambah suasana hangat di rumah itu.
Amalia muncul dari dapur, mengenakan kebaya encim putih dengan motif sederhana yang dipadukan kain batik. Rambutnya disanggul rapi, menambah keanggunannya. “Maaf membuat kalian menunggu,” katanya sambil membawa sepoci teh melati ke meja. Senyumannya hangat, seperti mewakili semangat yang selalu dihidupkan Sofia pada Natal-natal sebelumnya.
Mareike memandang Amalia dengan kagum. “Kebayamu cantik sekali, Amalia. Kau mengingatkanku pada Sofia. Dia selalu tampil seperti ini, anggun.”
Amalia tersenyum, matanya berkaca-kaca. “Saya hanya berusaha menjaga tradisi yang Ma tinggalkan, Tante Mareike. Saya rasa ini cara terbaik untuk mengenangnya.”
Opa Hans menatap kakaknya, Huis, dengan senyum kecil. “Huis, aku bisa melihat dirimu, Sofia, dan tradisi Natal masa kecil kita di Den Haag. Kau benar-benar menjaga semangat itu tetap hidup,” ujarnya sambil melirik meja makan yang penuh hidangan khas.
Ia berhenti sejenak, menatap lebih dekat, lalu tersenyum. “Traditie is een mooie herinnering.” (Tradisi adalah kenangan indah.) Ucapannya terdengar lembut, tapi penuh rasa kagum.
Matanya beralih ke sudut ruangan, ke arah pohon Natal yang berdiri dengan sederhana namun anggun. Cemara lokal itu dihiasi ornamen dari biji pohon pinus yang dicat warna-warni, lampu kecil yang berkedip-kedip, dan keramaian kertas crepe yang menghiasi sekelilingnya. “Pohon Natal ini, dengan semua sentuhan lokal, membawa suasana pesta yang tak pernah hilang,” katanya dengan tawa ringan. “Ini seperti perpaduan Den Haag dan Semarang di bawah satu atap, fantastis, Huis ! .”
Huis tersenyum, balas menatap adiknya. “Den Haag memang indah, Hans,” ujarnya pelan, nada suaranya bercampur gurauan. “Tapi, maar mijn hart is hier verankerd.” (Tapi hatiku telah berlabuh di sini.)
Hans tertawa kecil mendengar kata-kata itu. “Ah, Huis, aku tidak heran. Siapa yang butuh Den Haag kalau kau punya bistik seperti ini?” Matanya melirik meja makan dengan senyum lebar. “Dan jangan lupa, Sofia dulu selalu bilang, aroma makanan lebih penting dari pemandangan taman mana pun.”
Huis tertawa, mengenang kata-kata Sofia. “Dia benar. Semarang adalah rumahku sekarang, Hans. Sofia, kenangan kami, semuanya tetap hidup di sini. Tidak ada tempat lain yang bisa menyaingi itu.”
Hans mengangguk, menatap meja makan penuh hidangan yang memadukan Belanda dan Indonesia. “Je hebt gelijk, Huis.” (Kau benar, Huis.) “Hidangan ini, suasana ini… Sofia pasti bangga melihat apa yang kau bangun di sini.”
Huis menatap Hans, matanya berkaca-kaca, tapi senyumnya tetap hangat. “Tradisi yang kita bawa, meskipun bercampur, adalah cara kita menjaga masa lalu tetap dekat, tapi juga menjadikannya relevan dengan masa kini. Kau tahu, Hans, aku tidak pernah ingin kehilangan itu.”
Hans tertawa lagi, kali ini lebih ringan. “Dan aku tidak akan melewatkan bistik ini. Kau benar-benar tahu caranya membuat kenangan tetap hidup, melalui perut, tentu saja.”
Tawa mereka memenuhi ruangan.
Herman menuangkan wine ke gelas-gelas saat semua sudah berkumpul di meja makan. Meja dihiasi lilin-lilin kecil, dan aroma bistik memenuhi ruangan, menciptakan suasana hangat dan akrab.
Sebelum mereka mulai makan, Opa Huis berdiri perlahan dengan bantuan tongkatnya. Ia memandang adiknya, Opa Hans, istrinya Oma Mareike, putranya Herman, menantunya Amalia, dan cucunya Dina yang duduk mengelilingi meja. Dengan suara lembut, ia berkata, “Sebelum kita berbagi hidangan malam ini, izinkan aku mengucapkan syukur dalam doa.”
Dengan khidmat, Opa Huis menutup matanya dan mulai berdoa dalam bahasa Belanda, suaranya tenang namun penuh rasa syukur.
“Onze Vader in de hemel, wij danken U voor deze dag van samenzijn”
“Zegen deze maaltijd en vul onze harten met liefde en vrede.
“Amen.”
(Bapa kami yang di surga, kami berterima kasih atas hari ini, untuk kebersamaan ini. Berkatilah makanan ini dan penuhi hati kami dengan cinta dan damai. Amin.)
Setelah doa selesai, mereka mengangkat gelas masing-masing. Opa Huis tersenyum, menatap semua yang hadir. “Proost!” serunya pelan, diikuti Herman, Amalia, Opa Hans, Oma Mareike, dan Dina yang ikut berseru serempak, “Proost!”
Herman tersenyum, mengangkat gelasnya sedikit lebih tinggi. “Mari kita nikmati ini untuk menghormati kebersamaan kita, dari masa lalu hingga sekarang. Berkat Natal adalah kebersamaan dan kasih, dan malam ini kita merayakan itu bersama.”
Opa Hans mengangkat gelasnya dengan semangat, matanya berbinar.
“Voor de familie, en voor de mooie herinneringen die we meebrengen, van Den Haag tot Semarang. Laat deze Kerstmis ons nieuwe geluk brengen.”
(Untuk keluarga, dan untuk kenangan indah yang kita bawa, dari Den Haag hingga Semarang. Semoga Natal ini membawa kebahagiaan baru bagi kita semua.)
Setelah toast, mereka mulai menikmati hidangan yang tersaji. Percakapan mengalir hangat, penuh tawa dan nostalgia.
Ketika jamuan hampir selesai, Amalia membawa hidangan penutup yang telah ditunggu-tunggu; kue Moscovis, resep andalan Sofia.
Opa Huis mengambil potongan pertama kue Moscovis, memandang Herman dan Amalia dengan mata berkaca-kaca, lalu menoleh kepada Opa Hans. “Sofia pasti senang melihat tradisinya tetap hidup. Ini bukan sekadar makanan, ini adalah cinta yang selalu ia bagikan,” katanya dengan suara pelan, penuh rasa syukur.
Malam itu, kebersamaan dan kenangan menjadi inti dari perayaan Natal di rumah tua itu, menghubungkan dua kota Den Haag, tempat kenangan masa kecil, dan Semarang, rumah yang kini menyimpan cinta abadi mereka.
Samar-samar, terdengar melodi saat piringan hitam memutar Nach over Java membawa kehangatan yang khas, seolah menghidupkan kembali Natal-natal yang sudah terlewatkan. Rumah tua di Karangjati menjadi saksi dari cinta, tradisi, dan kebersamaan yang terus hidup, mengalir dari masa lalu hingga masa kini.
Nach over Java (Malam di atas Jawa)
Als de avond valt over Java,
En de kampong rustig wordt,
Klinkt een lied over Java,
Dat een diepe weemoed stort.
Waar de gamelan zachtjes speelt,
Onder 't schijnsel van de maan,
En de aarde het verhaal vertelt
Van liefde, eens gedaan.
(Dit gedicht heeft geen naam.)
Saat malam tiba di atas Jawa,
Dan kampung mulai sunyi,
Terdengar sebuah lagu tentang Jawa,
Yang memancarkan kerinduan mendalam.
Di mana gamelan bermain lembut,
Di bawah sinar rembulan,
Dan bumi menceritakan kisah
Tentang cinta yang pernah ada.
Jakarta, 25 Dec 2024
Cerpen Natal La Sasqi / Saskia Ubaidi
Comments