Greed dan Envy, Dosa Kapitalisme dan Sosialisme yang Perlu Kita Renungkan
Kapitalisme dan sosialisme, dua sistem ekonomi yang bertolak belakang, sering kali menjadi pusat perdebatan tentang bagaimana masyarakat seharusnya diatur. Namun, jika kita melihat lebih dalam, masing-masing sistem memiliki "dosa" moralnya sendiri, greed atau keserakahan dalam kapitalisme, dan envy atau rasa iri dalam sosialisme.
Apakah keduanya benar-benar tidak dapat disatukan, atau masih ada ruang untuk kompromi yang lebih berkeadilan?"
Kapitalisme, dengan prinsip pasar bebas dan kepemilikan pribadi, sering kali dianggap sebagai penggerak inovasi dan pertumbuhan ekonomi. Namun, di sisi lain, sistem ini juga melahirkan ketimpangan sosial yang tajam. Keserakahan menjadi dosa utama ketika keuntungan pribadi ditempatkan di atas kepentingan bersama. Burkard Sievers, dalam artikelnya Towards a Socioanalysis of Capitalist Greed, menganalisis bahwa keserakahan dalam kapitalisme tidak sekadar perilaku individual, tetapi menjadi bagian struktural dari sistem itu sendiri. Keserakahan, menurut Sievers, mendorong kapitalisme untuk terus mengejar pertumbuhan tanpa batas, bahkan jika itu berarti mengorbankan keadilan sosial, keberlanjutan lingkungan, atau nilai-nilai etis.
Sementara itu, sosialisme yang menjunjung tinggi pemerataan dan kepemilikan kolektif membawa janji keadilan sosial. Namun, di balik itu, rasa iri terhadap mereka yang memiliki lebih sering kali menjadi penghambat utama. Helmut Schoeck, dalam bukunya Envy, A Theory of Social Behavior, mendalami konsep rasa iri sebagai bagian dari dinamika sosial yang universal. Schoeck menjelaskan bahwa rasa iri sering kali didorong oleh keinginan untuk merugikan mereka yang dianggap lebih unggul, bukan oleh motivasi untuk memperbaiki keadaan kolektif. Situasi semacam ini berisiko menciptakan budaya stagnasi, di mana individu merasa enggan berusaha lebih keras atau berinovasi karena hasil kerja mereka akan disamaratakan tanpa menghargai perbedaan kontribusi.
Namun, apakah kapitalisme dan sosialisme benar-benar tidak dapat dipertemukan? Christopher Snowdon, dalam bukunya Selfishness, Greed and Capitalism, menawarkan sudut pandang menarik, ekonomi pasar tidak bergantung sepenuhnya pada kebajikan atau keburukan moral manusia. Snowdon berargumen bahwa pasar memiliki mekanisme internal yang memungkinkan kolaborasi dan efisiensi, terlepas dari apakah individu bertindak secara egois atau altruistik. Dengan kata lain, motivasi manusia yang beragam, mulai dari keserakahan hingga kepedulian sosial, dapat dimanfaatkan untuk menciptakan sistem yang produktif dan berfungsi baik.
Snowdon juga menekankan bahwa kapitalisme bukan hanya tentang akumulasi kekayaan oleh segelintir orang, tetapi juga tentang penciptaan peluang. Dalam sistem pasar bebas, bahkan tindakan yang didasari oleh kepentingan pribadi dapat menghasilkan manfaat luas, seperti terciptanya lapangan kerja, inovasi teknologi, dan peningkatan standar hidup. Namun, Snowdon mengingatkan juga bahwa kapitalisme memerlukan regulasi yang tepat untuk memastikan bahwa manfaat tersebut tidak terdistorsi oleh monopoli atau penyalahgunaan kekuasaan.
Apa yang Cocok untuk Indonesia?
Indonesia, sebagai negara yang berlandaskan nilai-nilai Pancasila, memiliki potensi besar untuk membangun sistem ekonomi yang menggabungkan keunggulan kapitalisme dan sosialisme. Sila kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, menuntut adanya keseimbangan antara kebebasan pasar dengan perlindungan terhadap yang lemah.
Dalam konteks ini Kapitalisme dapat dimanfaatkan untuk mendorong inovasi, investasi, dan pertumbuhan ekonomi, selama dikendalikan oleh regulasi yang berpihak pada rakyat.Elemen sosialisme dapat diterapkan dalam bentuk redistribusi yang adil melalui program-program seperti pendidikan gratis, jaminan kesehatan, dan perlindungan sosial untuk masyarakat miskin.
Prinsip gotong royong yang terkandung dalam Pancasila juga menekankan pentingnya kolaborasi antara sektor swasta, pemerintah, dan masyarakat dalam menciptakan keseimbangan ini. Dengan demikian, Indonesia tidak perlu terjebak dalam dikotomi kapitalisme atau sosialisme, tetapi dapat mengembangkan model ekonomi yang berakar pada nilai-nilai lokal dan menempatkan manusia sebagai pusat pembangunan.
Di sinilah letak tugas negara, menciptakan keseimbangan ekonomi yang tidak hanya adil, tetapi juga berkelanjutan dan sesuai dengan kepribadian Indonesia. Karena sejatinya, kekuatan ekonomi sejati adalah yang memanusiakan manusia.
Jakarta, 12 Desember 2024
Pustaka Aristoteles, Saskia Ubaidi.
Referensi
1. Sievers, Burkard. Towards a Socioanalysis of Capitalist Greed. Academia.edu.
2. Schoeck, Helmut. Envy: A Theory of Social Behavior. Academia.edu
3. Snowdon, Christopher. Selfishness, Greed and Capitalism. SSRN.com.
catatan
Prof. Miriam Budiardjo, seorang pakar ilmu politik Indonesia, menyunting buku berjudul Simposium Kapitalisme, Sosialisme, Demokrasi yang diterbitkan pada tahun 1984. Buku ini merupakan kompilasi berbagai artikel yang membahas hubungan antara kapitalisme, sosialisme, dan demokrasi. Melalui karya ini, Budiardjo menyoroti bagaimana kapitalisme menekankan aspek kebebasan (liberty), sementara sosialisme lebih menekankan pada persamaan (equality). Kedua nilai ini dianggap esensial dalam praktik demokrasi.
Budiardjo juga mengangkat pandangan para pemikir seperti Eduard Bernstein, yang mengkritik Marxisme ortodoks dan mengusulkan sosialisme demokratik melalui jalur parlementer dan reformasi konstitusional. Hal ini menunjukkan upaya untuk menjembatani perbedaan antara kapitalisme dan sosialisme dalam kerangka demokrasi.
Melalui buku ini, Budiardjo memberikan perspektif bahwa baik kapitalisme maupun sosialisme memiliki keterkaitan dengan demokrasi, meskipun dengan penekanan yang berbeda. Karya ini menjadi referensi penting dalam memahami dinamika antara ketiga konsep tersebut dalam konteks politik dan ekonomi.
Saya berpendapat bahwa Prof. Miriam Budiardjo lebih banyak membahas politik dibandingkan ekonomi, meskipun karya-karyanya kerap menyentuh dimensi ekonomi sebagai bagian dari analisis politik. Hal ini terlihat dari fokusnya pada hubungan antara kapitalisme, sosialisme, dan demokrasi, yang ia telaah melalui perspektif politik dan teori sistem pemerintahan.
Dalam buku Simposium Kapitalisme, Sosialisme, Demokrasi (1984), beliau menyoroti konsep-konsep seperti kebebasan (liberty) dalam kapitalisme dan kesetaraan (equality) dalam sosialisme, tetapi pembahasannya lebih diarahkan pada implikasi politik kedua konsep tersebut dalam praktik demokrasi.
1. Demokrasi sebagai kerangka penyelesaian konflik. Beliau menggarisbawahi bagaimana kapitalisme dan sosialisme, dengan nilai yang bertentangan, dapat dipertemukan melalui sistem demokrasi yang mengakomodasi pluralisme ide.
2. Sosialisme Demokratik, Pembahasan tentang Eduard Bernstein, yang mengusulkan reformasi konstitusional dan jalan parlementer untuk sosialisme, menunjukkan minat Prof. Budiardjo pada mekanisme politik sebagai sarana menciptakan perubahan ekonomi.
3. Pancasila dan Demokrasi, Dalam karya-karyanya tentang Pancasila, beliau lebih menitikberatkan pada aspek moral, nilai-nilai kebangsaan, dan proses politik yang inklusif, daripada analisis ekonomi semata.
Hal ini mengindikasikan bahwa, meskipun ia memahami dan mengakui pentingnya dimensi ekonomi, fokus analisisnya tetap pada bagaimana sistem politik dapat mengelola perbedaan ideologis dan menciptakan stabilitas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dengan demikian, karya-karya Prof. Miriam Budiardjo lebih dapat digolongkan sebagai analisis politik yang menyentuh dimensi ekonomi secara tidak langsung, dibandingkan sebaliknya. Pandangan Anda sesuai dengan esensi dari pendekatan beliau.
Comments