Di Balik Jamuan Diplomatik: Menghitung Ulang Harga Investasi China


Di Balik Jamuan Diplomatik: Menghitung Ulang Harga Investasi China

Kedatangan Perdana Menteri China, Li Qiang, ke Indonesia pada akhir Mei 2025 menjadi headline penting dalam lanskap hubungan luar negeri kita. Tak hanya sebagai kunjungan kenegaraan simbolik, lawatan ini membawa janji investasi senilai USD 10 miliar (Rp 162 triliun) dan disertai narasi besar "multilateralisme sejati” dan solidaritas Global South. Namun di balik semangat persaudaraan dan sambutan hangat pemerintah Indonesia, muncul pertanyaan strategis, apakah Indonesia sedang memperkuat kedaulatan nasional, atau malah melapangkan jalan bagi ketergantungan baru?

Proyek-Proyek Besar: Siapa Diuntungkan?

Menurut laporan Kompas, investasi yang dijanjikan PM Li Qiang mencakup proyek-proyek di sektor hilirisasi, industri kimia, dan transportasi. Ini tampaknya selaras dengan visi pembangunan Presiden Prabowo Subianto yang menekankan nilai tambah dalam pengelolaan sumber daya alam. Tetapi publik masih trauma dengan proyek-proyek sebelumnya, salah satunya adalah kereta cepat Jakarta–Bandung yang disebut sebagai "pelajaran mahal" oleh ekonom karena mengalami pembengkakan biaya dari Rp 86 triliun menjadi Rp 114 triliun (Tempo, 2024).

Maka, investasi sebesar apapun harus dilihat secara kritis. Apakah ada jaminan transfer teknologi? Apakah ada perlindungan untuk tenaga kerja lokal? Apakah proyek ini akan menyentuh kebutuhan dasar rakyat atau hanya memperkuat posisi elit dan perusahaan besar? Investasi tanpa regulasi yang berpihak pada rakyat hanyalah bentuk kolonialisme baru berbaju diplomasi.

Retorika Multilateralisme dan Realita Global

Dalam pertemuan Indonesia–China Business Reception 2025, Li Qiang menyinggung pentingnya “multilateralisme sejati” yang mengacu pada semangat Konferensi Asia-Afrika tahun 1955 di Bandung (Reuters, 2025). Pernyataan ini menarik, terutama di tengah meningkatnya rivalitas China–AS dan tekanan geopolitik di kawasan.

Namun, retorika “multilateralisme sejati” harus diuji dalam praktik. Di Laut Natuna Utara, misalnya, aktivitas kapal penjaga pantai China kerap menimbulkan ketegangan. Indonesia sering dipaksa bersikap ambigu dalam menjaga kedaulatan maritim, demi menjaga hubungan dagang. Apakah itu sejalan dengan prinsip solidaritas global yang sesungguhnya?

Prabowo di Panggung Global

Kunjungan ini juga menjadi momen strategis bagi Presiden Prabowo untuk memperlihatkan arah kebijakan luar negerinya. Dengan pendekatan nasionalistik yang diusung selama kampanye, publik berharap bahwa Prabowo tidak hanya membuka pintu investasi, tetapi juga memagari kepentingan nasional dengan ketegasan yang proporsional.

Sebagai contoh, kerja sama China–Indonesia untuk mendukung program Makan Bergizi Gratis (MBG) terlihat positif (Bloomberg Technoz), namun perlu kejelasan mengenai sejauh mana ketergantungan program ini pada dukungan asing. Kedaulatan pangan, dalam konteks ini, tidak bisa diserahkan pada skema CSR internasional belaka.

Warga Jakarta, Waspadalah

Bagi warga DKI Jakarta, gelombang investasi dari China bisa membawa peluang dan tantangan. Proyek-proyek properti, infrastruktur, hingga zona industri baru berpotensi mengubah wajah kota. Namun, tanpa regulasi yang ketat, proyek-proyek ini juga bisa menciptakan polarisasi, masyarakat lokal tersingkir, harga tanah melonjak, dan kota menjadi semakin eksklusif.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bersama DPRD harus bersiap menjadi filter pertama dalam menjaga kepentingan rakyat dari dampak pembangunan yang terlalu cepat dan tidak inklusif. Setiap proyek harus dikaji secara transparan, bukan sekadar dilihat dari angka investasi.

Jangan Terlena dalam Diplomasi Ramah

Hubungan baik antara negara adalah sebuah keharusan. Tetapi diplomasi bukan hanya tentang keramahan, konferensi pers, dan jamuan makan malam. Ia adalah arena tarik-ulur kepentingan. Dalam diplomasi, negara yang tidak punya agenda, akan menjadi bagian dari agenda negara lain.

Indonesia harus menyusun ulang narasi kebangsaannya dalam menghadapi gelombang globalisasi dan investasi. Bukan untuk menutup diri, tapi untuk memastikan bahwa setiap kerja sama benar-benar berpihak pada kepentingan rakyat. Karena dalam dunia yang penuh negosiasi ini, hanya negara yang cerdas membaca arah anginlah yang mampu berdiri tegak tanpa kehilangan akar.

Oleh: Saskia Ubaidi
Opini #pustakaaristoteles

Berita : 



Comments

Popular posts from this blog

Jalur Pendidikan HBS - Hogereburgerschool

Kampung Arab Pekojan

Tjakrabirawa di malam kelam 1 Oktober 1965