Ketika Pers Dipaksa Bungkam, Dunia kehilangam Suara.
Ketika Pers Dipaksa Bungkam, Dunia Kehilangan Suaranya
Dalam peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia 2025, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, António Guterres, menyuarakan keprihatinan mendalam terhadap situasi kebebasan pers global. Ia menyatakan bahwa jurnalisme yang bebas merupakan fondasi dari keadilan, kemerdekaan, dan hak asasi manusia (United Nations, 2025). Namun, justru di berbagai belahan dunia, pers sedang berada dalam kondisi tertekan, dicekam sensor, bahkan ancaman kekerasan.
Tekanan terhadap pers bukan hanya terjadi melalui represi langsung seperti penahanan atau intimidasi. Dalam era digital, bahaya baru justru hadir melalui penyebaran masif disinformasi dan ujaran kebencian yang merusak ekosistem informasi. AG Sulzberger, penerbit The New York Times, menambahkan bahwa internet saat ini dibanjiri konten clickbait, propaganda, dan narasi yang dibungkus dengan keahlian palsu, semuanya mengikis kepercayaan publik terhadap jurnalisme (UNESCO, 2025).
Kondisi ini semakin diperparah oleh meningkatnya penyensoran oleh negara-negara otoriter. Agnes Callamard dari Amnesty International menyebut penyensoran kini telah menjadi “posisi default” banyak pemerintah untuk mengendalikan akses publik terhadap informasi (Amnesty International, 2025). Artinya, bukan hanya berita yang disembunyikan, tetapi juga kesadaran masyarakat ikut dibentuk dan dikendalikan.
Contoh nyata datang dari Nikaragua. Surat kabar La Prensa, pemenang UNESCO/Guillermo Cano World Press Freedom Prize 2025, menjadi lambang keberanian jurnalistik di tengah represi. Setelah edisi cetaknya ditutup secara paksa oleh pemerintah dan sejumlah jurnalisnya ditangkap, media ini tetap melanjutkan kerja jurnalistiknya dari pengasingan melalui platform daring (UNESCO, 2025a). Mereka menjadi bukti bahwa kebenaran bisa diasingkan, tapi tidak bisa dimusnahkan.
Reporters Without Borders (RSF) mencatat bahwa lebih dari separuh negara di dunia saat ini memiliki iklim kebebasan pers yang dikategorikan “sulit” atau “sangat serius” (RSF, 2025). Ini menandakan bahwa jurnalisme independen kini menjadi barang langka, bahkan terancam punah.
Kita harus menyadari, ketika jurnalisme dibungkam, maka demokrasi pun perlahan terkubur. Pemberitaan yang bebas bukan sekadar produk informasi, melainkan jantung dari diskusi publik yang sehat. Tanpa itu, masyarakat akan terjebak dalam kebingungan, ketidakpercayaan, dan akhirnya tunduk pada narasi tunggal yang disusun oleh segelintir elite kekuasaan.
Hari ini, lebih dari sebelumnya, dunia membutuhkan jurnalis yang merdeka dan publik yang mendukung mereka. Karena hanya dengan suara yang bebas, dunia bisa mendengar kebenaran yang sebenarnya.
Dalam rangka memperingati Hari Kebebasan Pers Sedunia yang jatuh pada tanggal 3 Mei,
Saskia Ubaidi / (Pustaka Aristoteles)
Daftar Pustaka:
United Nations. (2025). Message by Secretary-General António Guterres on World Press Freedom Day. Retrieved from https://press.un.org/en/2025/sgsm22629.doc.htm
UNESCO. (2025). World Press Freedom Day 2025 Programme. Retrieved from https://www.unesco.org/en/days/press-freedom
Amnesty International. (2025). Statement on Global Censorship and Press Freedom. Retrieved from https://www.amnesty.org/en/latest/news/2025/05/global-press-freedom-threatened
RSF (Reporters Without Borders). (2025). 2025 World Press Freedom Index. Retrieved from https://rsf.org/en/index
UNESCO. (2025a). Nicaraguan newspaper La Prensa wins UNESCO/Guillermo Cano World Press Freedom Prize. Retrieved from https://www.unesco.org/en/articles/nicaraguan-newspaper-la-prensa-wins-2025
Comments