Abolisi & Amnesti. Drama Hukum Sang Sutradara Politik
Kasus Thomas Lembong dan Hasto Kristiyanto bukan sekadar perkara hukum. Keduanya adalah refleksi terang tentang bagaimana hukum dan politik saling menunggangi, saling meminjam narasi, dan pada akhirnya mengatur kesadaran publik.
Di tengah kelelahan masyarakat atas drama hukum yang terus berulang, dua nama ini menjadi ikon, yang satu sebagai korban, yang lain sebagai simbol kompromi. Keduanya kini telah “dibebaskan”, dan justru di sinilah cerita sesungguhnya dimulai.
Thomas Lembong, dijatuhi hukuman 4 tahun 6 bulan penjara oleh Pengadilan Tipikor. Ia dianggap terbukti menyebabkan kerugian negara dalam kasus impor gula kristal mentah. Putusan ini mengejutkan, mengingat rekam jejak Lembong sebagai profesional non-partisan.
Bagi banyak pihak, vonis itu bukan soal hukum semata, tapi simbol bagaimana suara kritis bisa dibungkam lewat proses legal yang dikemas rapi. Ketika masyarakat sipil bersuara membela, muncul abolisi. Lembong pun dibebaskan dan narasi bergeser dari kriminalisasi menjadi “pemulihan keadilan”.
Sementara itu, Hasto Kristiyanto tokoh politik PDIP, terseret dalam kasus Harun Masiku. Ia dituduh menghalangi penyidikan. Tapi gelombang publik terhadapnya berbeda, bukan kemarahan, tapi simpati politik. Ketika amnesti diajukan oleh Presiden Prabowo dan disetujui DPR, situasi tampak seolah-olah adil.
Dua orang dibebaskan, dua kutub politik diakomodasi. Namun jika diperhatikan lebih cermat, publik seperti diajak larut dalam drama dua babak yaitu satu dihukum untuk memancing emosi, satu dibebaskan untuk menenangkan badai. Inilah seni framing ala kekuasaan.
Teori framing dari Erving Goffman menjelaskan bahwa manusia tidak pernah melihat fakta secara netral.
Realitas sosial selalu dibingkai oleh konteks, narasi, dan emosi. Dalam kasus ini, proses hukum menjadi alat untuk menyusun makna politik.
Hukuman terhadap Lembong memberi kesan keras dan tegas; pembebasan Hasto terlihat wajar karena publik sudah “dihibur” oleh keadilan yang tampak ditegakkan sebelumnya.
Inilah permainan emosi publik, ketika marah dan simpati dikelola lewat urutan narasi, bukan kejujuran proses.
Apa yang terjadi menunjukkan bahwa hukum bisa dikendalikan bukan hanya oleh kekuasaan, tetapi oleh kemampuan mengatur persepsi.
Mahfud MD, pakar hukum tata negara, menyebut abolisi dan amnesti ini sebagai sinyal harapan, bahwa hukum mulai ditegakkan. Namun dalam tafsir yang lebih kritis, ini justru bisa dibaca sebaliknya yaitu hukum ditegakkan hanya ketika sudah disesuaikan dengan kebutuhan politik hari itu. Bukan hukum yang memimpin politik, melainkan politik yang mengatur kapan dan untuk siapa hukum berlaku.
Dan di tengah panggung besar itu, publik hanya menjadi penonton. Bukan karena tidak mampu berpikir, tetapi karena terlalu sering dibingkai. Disuguhkan drama hukum, diminta memilih pahlawan dan penjahat, lalu dilupakan begitu saja. Ini bukan hanya soal Lembong dan Hasto, ini soal bagaimana sistem memperlakukan keadilan sebagai alat negosiasi, bukan prinsip.
Maka jika hari ini hukum tampak memihak atau membebaskan, pertanyaannya bukan lagi siapa yang benar? Tetapi siapa yang sedang memainkan narasi?
Jakarta, 3 Agustus 2025
Framing Hukum, Panggung Kekuasaan, dan Publik yang Dijinakkan
Pustaka Aristoteles ( Saskia Ubaidi)
Comments