Parlemen Joget, Demokrasi Retak
Parlemen Joget, Demokrasi Retak
Baru saja kita memperingati Dirgahayu Republik Indonesia ke-80. Delapan dekade merdeka seharusnya menjadi penanda kedewasaan demokrasi.
Tetapi pertanyaan pun muncul, benarkah demokrasi kita telah matang.
Pemandangan anggota DPR berjoget di ruang sidang yang viral belakangan ini bukan sekadar tontonan sepele, melainkan cermin dari kultur politik yang dangkal.
Mahal Ongkos Politik, Murah Integritas
Joget itu lahir bukan tanpa sebab. Bagi sebagian anggota dewan, itu bukan sekadar hiburan, melainkan cara merayakan tunjangan dan fasilitas baru yang mereka nikmati.
Saat rakyat bergulat dengan biaya hidup, mereka justru merayakan euforia kegembiraan di ruang sidang. Bukannya bekerja serius melahirkan regulasi dan pengawasan, mereka memilih panggung hiburan yang mudah viral. Tak heran jika aksi itu semakin memperlebar jarak dengan rakyat dan memantik kemarahan yang akhirnya meledak dalam demonstrasi di jalanan.
Masalah DPR tidak lahir di ruang sidang, tapi sejak pintu masuknya yang salah arah. Sistem rekrutmen politik lebih banyak menyeleksi berdasarkan popularitas dan modal, menjadikan artis, selebritas, atau pengusaha kaya sebagai prioritas.
Sementara itu, biaya politik yang mahal menutup kesempatan bagi calon yang berintegritas tetapi minim dana. Alhasil, parlemen pun lebih sering dihuni mereka yang mencari panggung ketimbang yang siap bekerja untuk rakyat. Parlemen yang diisi oleh mereka yang mengutamakan panggung dan modal tentu membawa konsekuensi serius.
Wajar jika publik kerap mempertanyakan, apa sebenarnya yang rakyat peroleh dari DPR? Bukannya melahirkan regulasi yang memperkuat demokrasi, produk hukum justru sering lahir sebagai kompromi politik atau pesanan oligarki.
Sejarah Wibawa yang Hilang
Sejarah pernah mencatat parlemen yang berwibawa. Pada masa awal kemerdekaan, Badan Pekerja KNIP menjadi arena perdebatan serius soal arah bangsa. Di era 1950-an, parlemen masih dihuni tokoh berkapasitas intelektual tinggi, meski penuh perbedaan ideologis. Perdebatan tajam kala itu bukan dianggap ancaman, melainkan justru memperkaya fondasi politik bangsa.
Arah itu mulai bergeser ketika memasuki era Demokrasi Terpimpin di bawah Soekarno. Sistem demokrasi yang semula menekankan perdebatan terbuka diganti dengan model yang memusatkan keputusan pada Presiden.
Puncaknya terjadi pada 5 Juli 1959, ketika Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden untuk membubarkan Konstituante yang gagal menyusun UUD baru, sekaligus memberlakukan kembali UUD 1945. Sejak itu, parlemen semakin terkooptasi oleh kekuasaan eksekutif. Perbedaan suara dianggap mengganggu persatuan revolusi, oposisi ditekan, dan partai-partai dipaksa mengikuti garis politik Presiden. DPR hasil Pemilu 1955 bahkan kemudian dibubarkan, diganti dengan DPR-GR (Gotong Royong) yang sebagian besar anggotanya diangkat langsung oleh Soekarno. Dari titik inilah, dalam kerangka Demokrasi Terpimpin, parlemen lebih banyak berfungsi sebagai alat legitimasi kebijakan Presiden daripada forum check and balance. Tradisi perdebatan politik yang sebelumnya hidup berubah menjadi seremoni persetujuan, menandai lunturnya wibawa parlemen di hadapan eksekutif.
Perubahan itu kian mengeras pada era Orde Baru. Jika di masa Demokrasi Terpimpin parlemen masih menyisakan peran simbolik, maka di bawah kendali Soeharto ia kehilangan ruhnya sama sekali. DPR lebih banyak berfungsi sebagai stempel kebijakan eksekutif ketimbang lembaga pengimbang kekuasaan. Kritik dibungkam, oposisi dipreteli, dan politik diseragamkan demi stabilitas.
Politik Transaksional Pasca-Reformasi
Keruntuhan Orde Baru pada 1998 sempat membuka harapan baru. Reformasi memberi DPR kewenangan besar, seolah mengembalikan marwah lembaga legislatif yang selama tiga dekade dibungkam.
Namun ruang itu segera dipakai untuk manuver politik jangka pendek. Puncaknya terjadi pada 2001, ketika Presiden Abdurrahman Wahid dijatuhkan melalui Sidang Istimewa. Gus Dur yang mencoba membubarkan DPR justru berbalik dilengserkan, menandai betapa lembaga legislatif baru saja terbebas dari Orde Baru langsung menggunakan kekuatannya untuk mempertahankan diri. Sejak saat itu DPR memang lebih kuat secara formal, tetapi kekuatan itu lebih sering digunakan untuk kepentingan pragmatis ketimbang memperbaiki mutu demokrasi.
Di masa Presiden Megawati Soekarnoputri (2001–2004), DPR mulai terbiasa memainkan kekuatannya dalam tarik-menarik anggaran dan pembagian kursi. Komposisi Kabinet Gotong Royong dibentuk lewat kompromi dengan partai-partai besar di parlemen.
PDIP sebagai partai utama penguasa memegang kendali, Golkar mendapat jatah penting melalui Jusuf Kalla, PKB memperoleh kursi strategis untuk menjaga pengaruhnya, sementara PPP dan PAN juga kecipratan posisi menteri demi mengamankan dukungan politik.
Dalam pembahasan APBN 2002–2003, isu subsidi BBM berulang kali dijadikan alat tawar antarfraksi, sedangkan proyek-proyek pembangunan kerap diwarnai tudingan ‘titipan anggaran’ dari anggota dewan. Dari titik inilah politik transaksional pasca-Reformasi menemukan momentumnya, DPR belajar bahwa kewenangan barunya bisa dipakai sebagai alat negosiasi, bukan semata untuk kepentingan rakyat.
Pola itu berlanjut bahkan semakin menajam di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2004–2014). Citra DPR kian merosot karena rentetan kasus yang melibatkan banyak anggotanya. Praktik ‘uang pelicin’ dalam pembahasan anggaran menjadi rahasia umum, proyek pembangunan, dana aspirasi, hingga alokasi APBN sering dibarengi lobi dan transaksi di balik layar.
Skandal Bank Century (2008) menjadi sorotan besar karena DPR terbelah dalam proses penyelidikan, memperlihatkan bahwa keputusan politik kerap dipengaruhi kepentingan kelompok, bukan semata kepentingan publik. Puncaknya, kasus korupsi berjamaah proyek e-KTP menyeret puluhan anggota dewan lintas fraksi dari Demokrat, Golkar, hingga PDIP mengungkap wajah gelap parlemen sebagai sarang korupsi sistemik.
Di saat yang sama, DPR justru sering berseberangan dengan semangat pemberantasan korupsi. Beberapa kali muncul upaya pelemahan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), baik melalui revisi undang-undang maupun penggunaan hak angket. Semua ini memperlihatkan bahwa DPR lebih sering menjadi bagian dari masalah ketimbang solusi. Tak heran, survei demi survei, dari LSI hingga Transparency International menempatkan DPR sebagai lembaga dengan tingkat kepercayaan publik paling rendah.
Di titik ini, benih harapan Reformasi mulai kehilangan makna, karena parlemen terjebak dalam lingkaran pragmatisme dan korupsi yang berulang. Kegagalan DPR menjaga integritas di era Susilo Bambang Yudhoyono seharusnya menjadi pelajaran, namun yang terjadi justru kontinuitas.
Situasi itu berlanjut ke era Joko Widodo, ketika wajah parlemen semakin ditentukan oleh politik kompromi besar. Hampir semua partai memilih merapat ke koalisi pemerintah dengan dalih stabilitas, sementara oposisi yang tersisa terlalu lemah untuk memberi tekanan berarti.
Seharusnya menjadi saluran utama suara rakyat, tetapi parlemen di era Jokowi lebih sering tampil sebagai bagian dari mesin kekuasaan eksekutif.
Demokrasi prosedural tetap berjalan melalui pemilu, tetapi substansinya makin kosong, rakyat memilih, partai berkoalisi, lalu suara kritis hilang di antara deal politik. Dengan demikian, DPR tidak lagi dilihat sebagai lembaga terhormat, melainkan sekadar arena kompromi dan legitimasi bagi keputusan pemerintah.
Revisi UU KPK (2019) melemahkan lembaga antikorupsi, UU Cipta Kerja (2020) disahkan kilat meski ditolak luas, KUHP baru (2022) penuh pasal bermasalah, hingga revisi UU Minerba yang berpihak pada oligarki tambang. Belum lagi wacana dana aspirasi DPR sempat menuai kritik karena rawan korupsi. Rangkaian kasus ini mempertegas kesan bahwa parlemen bukan lagi pengimbang kekuasaan, melainkan perpanjangan tangan politik eksekutif dan kepentingan elite.
Ketika pemerintahan berganti ke Presiden Prabowo Subianto, pertanyaan besar pun muncul, apakah DPR akan kembali sekadar menjadi stempel kebijakan pemerintah, atau mampu memperbaiki citra yang sudah terlanjur rusak? Dengan mayoritas partai kembali merapat ke koalisi, risiko terulangnya pola lama sangat besar, DPR kehilangan independensinya dan rakyat hanya disuguhi demokrasi prosedural tanpa substansi.
Pada akhirnya bukanya menjawab krisis kepercayaan, publik justru disuguhi tontonan anggota DPR berjoget di ruang sidang, yang menandakan betapa rendahnya standar etik lembaga negara.
Puncak kekecewaan rakyat tumpah pada demo 28 Agustus 2025, ketika jalanan dipenuhi bukan oleh kaum elite, melainkan rakyat kecil, mahasiswa, buruh, hingga pengemudi ojek online yang merasa suaranya diabaikan. Ironisnya, unjuk rasa yang seharusnya menjadi kanal aspirasi justru berakhir ricuh, dan seorang pengemudi ojek online tewas tragis setelah tertabrak serta terlindas roda kekerasan negara dalam kekacauan itu.
Tragedi ini bukan sekadar kecelakaan, melainkan buah dari ulah parlemen yang lebih sibuk berjoget dan berkompromi ketimbang mendengar rakyat. Ketika DPR menutup telinga dan meremehkan aspirasi publik, jalanan pun menjadi ruang terakhir rakyat bersuara dan nyawa yang melayang menjadi harga yang harus dibayar.
Dari sini terlihat betapa jauh jarak antara wakil rakyat dan rakyat. Di dalam gedung parlemen, para anggota dewan sibuk mempertontonkan gimmick politik dari joget, euforia tunjangan, hingga debat dalam rapat komisi yang asal bunyi, seolah mempertontonkan mandat yang mereka emban.
Sementara di luar gedung, rakyat kecil berdesakan di jalanan, berteriak menuntut keadilan, bahkan rela mempertaruhkan nyawa agar suaranya didengar. Kontras ini memperlihatkan bagaimana DPR semakin kehilangan fungsi representasi, ia lebih akrab dengan kepentingan elit dan kenyamanan internal, ketimbang dengan penderitaan publik yang seharusnya mereka wakili.
DPR sepantasnya menjadi arena tempat rakyat benar-benar merasa diwakili, bukan panggung joget yang mengikis wibawa. Namun wajah parlemen tak akan berubah selama partai politik lebih mengutamakan popularitas dan modal daripada kapasitas.
Rekrutmen politik dalam partai politik seharusnya tidak lagi didasarkan pada siapa yang terkenal atau siapa yang mampu membayar ongkos politik, melainkan pada intelektualitas, rekam jejak, dan keberpihakan pada rakyat kecil.
Tanpa perbaikan di hulu ini, demokrasi hanya akan terus melahirkan wakil rakyat yang mencari panggung, bukan yang siap berjuang untuk rakyat. Delapan puluh tahun merdeka seharusnya cukup bagi bangsa ini untuk belajar.
Mentalitas Politisi, Kunci Peran Oposisi di Pemerintahan Presidensial
Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensial, di mana presiden memegang jabatan sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Karena itu, kabinet tidak mengenal oposisi formal sebagaimana di sistem parlementer.
Dalam sistem presidensial, oposisi seharusnya dimaknai sebagai fungsi penyeimbang yang dijalankan partai politik di parlemen. Artinya, ada partai atau kelompok yang berani bersikap kritis, mendukung ketika kebijakan pemerintah baik, dan mengoreksi dengan tegas ketika kebijakan merugikan rakyat.
Fungsi penyeimbang ini tidak lahir otomatis dari sistem, melainkan bergantung pada mentalitas personal para politisi, apakah mereka siap memperjuangkan kepentingan publik, atau justru tenggelam dalam kompromi dan kenyamanan kekuasaan.
Dengan demikian, oposisi dalam presidensial bukanlah musuh pemerintah, melainkan mitra kritis yang menjaga agar check and balances tetap berjalan. Tanpa oposisi yang berani dan berintegritas, parlemen hanya akan menjadi ruang seremonial persetujuan, kehilangan wibawanya sebagai representasi rakyat
Rakyat Cerdas, Parlemen Berintegritas
Rakyat pun harus dibekali pendidikan politik agar lebih cerdas membaca siapa yang layak dipercaya. Pilihan seharusnya didasarkan pada rekam jejak dan integritas, bukan semata popularitas atau sensasi.
Di sisi lain, kode etik DPR mesti ditegakkan dengan ketat agar parlemen kembali bermartabat di mata publik, dengan diisi pribadi-pribadi berintegritas, berintelektual, dan sungguh-sungguh berpihak pada kepentingan rakyat. Sebuah parlemen yang jujur dan bersih memang bukan hal mudah dalam politik, tetapi tanpa itu, demokrasi hanya akan menjadi panggung kosong tanpa makna.
Belajar dari Parlemen Sehat di Negara Presidensial
Parlemen sehat bukan berarti tanpa konflik, justru sebaliknya, ia lahir ketika parlemen berani mengoreksi jalannya pemerintahan. Brasil bisa menjadi contoh, ketika Kongres memakzulkan Presiden Dilma Rousseff pada 2016 karena dinilai menyalahgunakan kewenangan anggaran negara. Korea Selatan juga memberi teladan, lewat keberanian parlemen memakzulkan Presiden Park Geun-hye akibat skandal korupsi besar yang mengguncang negeri itu. Bahkan Filipina, yang kultur politiknya tak jauh berbeda dengan Indonesia, memperlihatkan peran senat sebagai penyeimbang dengan menolak kebijakan berlebihan eksekutif serta menggelar dengar pendapat publik untuk membongkar kasus-kasus korupsi.
Semua ini menunjukkan, dalam sistem presidensial sekalipun, parlemen tetap bisa menjadi ruang kritik dan koreksi, asalkan partai politik dan para wakil rakyat bermental independen serta berani berpihak pada kepentingan publik.
Itulah cermin lembaga legislatif yang seharusnya dituju Indonesia, parlemen yang berwibawa karena keberanian moral, bukan karena joget dan gimmick politik.
Jakarta,29 Agustus 2025
Saskia Ubaidi/ Pustaka Aristoteles
Referensi
• Feith, H. (1962). The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia. Ithaca: Cornell University Press.
• Ricklefs, M. C. (2008). A History of Modern Indonesia Since c. 1200. Stanford: Stanford University Press.
• Aspinall, E., & Mietzner, M. (Eds.). (2010). Problems of Democratisation in Indonesia: Elections, Institutions and Society. Singapore: ISEAS.
Comments