Stop Pembiaran Pelanggaran HAM



Jenis dan Macam Hak Asasi Manusia:
1. Hak asasi pribadi / personal Right
  1. Hak kebebasan untuk bergerak, bepergian dan berpindah-pindah tempat
  2. Hak kebebasan mengeluarkan atau menyatakan pendapat
  3. Hak kebebasan memilih dan aktif di organisasi atau perkumpulan
  4. Hak kebebasan untuk memilih, memeluk, dan menjalankan agama dan kepercayaan yang diyakini masing-masing
Kasus yang dipilih:  Adanya Kasus pelarangan buku yang dikarang. Melanggar Hak kebebasan mengeluarkan atau menyatakan pendapat. Bertentangan  dengan UUD Pasal 28 dimana negara memberikan jaminan dalam bidang politik berupa hak untuk mengadakan persyerikatan, berkumpul dan menyatakan pendapat baik lisan maupun tulisan.
v  “Pelarangan buku yang berjudul “Enam Jalan Menuju Tuhan”. Setiap orang berhak mengeluarkan pendapat dan menulis. Kalau ada yang tidak suka ya harus mendebatnya dan membalasnya dengan menulis buku. Janganlah kemudian melarang mulut saya untuk bicara dan janganlah melarang tangan saya untuk menulis.Demikianlah yang diungkapkan oleh Darmawan selaku Pemohon dalam sidang uji materi Pasal 30 ayat (3) huruf c UU 16/2004 tentang Kejaksaan di Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (09/02). Perkara dengan registrasi nomor 6/PUU-VII/2010 ini dimohonkan oleh Darmawan dikarenakan haknya dirugikan atas berlakunya UU Kejaksaan terkait pelarangan bukunya yang berjudul “Enam Jalan Menuju Tuhan”. Adapun bunyi Pasal 30 ayat (3) huruf c adalah Dalam bidang ketertiban dan ketenteraman umum, kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan pengawasan peredaran barang cetakan.“Pasal tersebut tidak mengenal adanya due process of law. Pemohon mengetahui pelarangan bukunya justru melalui media massa dan bukan langsung dari kejaksaan. Dalil kejaksaan melarang barang cetakan yang isinya dianggap dapat mengganggu ketertiban umum bukanlah merupakan hukum yang adil,” kata Rahmat Bagja selaku kuasa hukum Pemohon kepada Majelis Sidang Panel MK.Pelarangan yang dilakukan oleh Kejaksaan, menurut Rahmat Bagja merupakan bentuk pengekangan atas kebebasan mengeluarkan pendapat. “Hal itu membuat Pemohon bahkan orang lain merasa tidak lagi bebas mengeluarkan pendapat. Pemerintah melalui kejaksaan saat ini suka melakukan intervensi. Intinya seorang yang mengeluarkan pendapat dan akses masyarakat mendapatkan informasi dikekang oleh pemerintah,” tegasnya.Dalam petitum permohonannya, Pemohon menginginkan supaya MK menyatakan bahwa Pasal 30 ayat (3) huruf c UU 16/2004 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 sehingga tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.Sementara itu, Majelis Sidang Panel MK memberikan nasehat dalam agenda sidang pemeriksaan permohonan ini. ”Permasalahan yang diajukan oleh pemohon ini apakah due process of law atau norma yang tercantum dalam UU Kejaksaan. Pada dasarnya pembatasan seperti yang diungkapkan dalam permohonan adalah hal yang boleh-boleh saja,” kata Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva. Menurut Hamdan, pelarangan kebebasan dalam berpendapat yang dialami Pemohon justru berdasarkan SK Kejaksaan Agung tentang pelarangan peredaran buku yang telah di ”clearing house” terlebih dahulu. ”Kalau berdasarkan SK Kejaksaan Agung, hal itu masuk wilayah PTUN bukan di MK,” nasehatnya kepada Pemohon.Lebih penting lagi tutur Hamdan, Pemohon harus bisa menjelaskan bagaimana hubungan antara UU Kejaksaan dengan permasalahan pelarangan buku yang kewenangannya diberikan kepada kejaksaan. ”Adalagi UU 1/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama, itu juga dapat menjadi dasar pelarangan sebuah buku yang terindikasi menodai dan menistakan sebuah agama,” tuturnya.Majelis Sidang Panel MK memberikan waktu selama 14 hari kedepan untuk memperbaiki permohonan. (RN Bayu Aji/MK) Sumber : http://indonesiabuku.com/?p=3934)

Kasus kedua yang dipilih: Hak asasi manusia adalah hak-hak dasar yang di bawa manusia sejak ia hidup yang melekat pada esensinya sebagai anugrah Tuhan yang maha kuasa. Bila hak asasi manusia belum dapat di tegak kan maka akan terus terjadi pelanggaran dan penindasan atas Ham baik oleh masyarakat, bangsa, atau pemerintah. UUD pasal 29 ini mengakui kebebasan dalam menjalankan perintah agama sesuai kepercayaan masing-masing.
v  Jakarta, Rakyat Merdeka. Bekas presiden Abdurrahman Wahid menyatakan pemerintah telah gagal melindungi warganya. Pernyataannya itu terkait dengan kasus penyerangan dsertai pembakaran rumah jemaah Ahmadiyah di dusun Ketapang, Lombok Barat kemarin Sabtu (4/2). Menurut Gus Dur dalam kasus Ahmadiyah, tidak saja di Ketapang, tapi yang terjadi di sejumlah daerah, pemerintah takut mengambil tindakan tegas kepada para pelaku. Apapun tindakan massa bertentangan dengan UUD 1945, tegas Gus Dur di sela Seminar Membangun Peradaban Indonesia, di Hotel Sahid, tadi (Minggu (5/2). Dalam siaran Radio Elshinta, Gus Dur yang juga ketua dewan Syuro PKB mendesak pemerintah untuk menangkap pelaku. Sebab tindakan massa yang menyerang dan membakar sekitar 31 rumah jemaah Ahmadiyah itu bertentangan dengan UUD 1945, yang memberikan kebebasan bagi setiap orang melaksanakan kegiatan agamanya masing-masing.  Seharusnya UUD itu dijadikan legitimasi bagi pemerintah untuk menindak para pelaku, bukannya takut, kata Gus Dur lagi. UUD 1945 tambahnya lagi tidak pernah menyuruh orang membakar rumah orang lain. Kenapa pemerintah tidak berani menegakkan UUD 1945? Sumber:  http://www.rakyatmerdeka.co.id/news/2006/02/05/7534/Gus-Dur-Marah-Ahmadiyah-Dianiaya

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
2. Hak asasi politik / Political Right
  1. - Hak untuk memilih dan dipilih dalam suatu pemilihan
  2. - hak ikut serta dalam kegiatan pemerintahan
  3. - Hak membuat dan mendirikan parpol / partai politik dan organisasi politik lainnya
  4. - Hak untuk membuat dan mengajukan suatu usulan petisi

Kasus yang dipilih:  Hak untuk memilih dan dipilih dalam suatu pemilihan yang jujur adil dan rahasia. Kebebasan dalam memilih merupakan hak konstitusional warga negara dan tidak ada pihak yang dapat membatasinya termasuk oleh negara.

v  Penyanderaan Hak Untuk Memilih dalam Suatu Pemilihan

Negara berdasarkan hukum (recht staat) memiliki empat aspek: 1. Perlindungan HAM 2. Pembagian Kekuasaan. 3. Pemerintahan Berdasarkan UU. 4. Peradilan Tata Usaha Negara. Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan adalah hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak awal dilahirkan yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat siapa pun. Sebagai warga negara yang baik kita mesti menjunjung tinggi nilai hak azasi manusia tanpa membeda-bedakan status, golongan, keturunan, jabatan, dan lain sebagainya.Berdasarkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusi pengaturan HAM terbagi atas dua (2), yang pertama adalah HAK SIPOL (Sosal Politik) merupakan hak yang tidak dapat dibatasi (non derogable rights) menuntut pembatasan kewenangan oleh apatur negara (negatif raight), artinya hak-hak dan kebebasan yang diatur dijamin di dalamnya akan dapat terpenuhi apabila peran negara terbatasi atau terlihat minus, kedua EKOSOB (Ekonomi Sosial Budaya) merupakan hak yang dapat dibatasi (derogable raights) yang menuntut peran aktif negara (positif right).Dalam ketentuan hak asasi politik atau political right, salah satunya menjamin hak untuk memilih dan dipilih dalam suatu pemilihan yang jujur adil dan rahasia. Kebebasan dalam memilih merupakan hak konstitusional warga negara dan tidak ada pihak yang dapat membatasinya termasuk oleh negara. Pelaksanaan Pemilu Legislatif, Presiden maupun Kepala Daerah, sering kali menyandera hak kebebasan memilih masyarakat. Hal tersebut begitu nyata ketika TNI notabenya juga merupakan warga negara yang memiliki hak dan kewajiban dihilangkan haknya oleh negara untuk mimilih dalam Pemilu tahun 2009 dan 2011.Beda lagi di daerah, calon incumbent Gubernur, Bupati dan Walikota seringkali menakut-nakuti masyarakatnya, mengancam tidak dapat raskin, kompor gas dan jaminan kesehatan, begitupun dengan bawahannya PNS yang diancam dimutasi jika tidak memilih calon incumbent. Sungguh ironis ketika pelaksanaan demokrasi dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat begitu banyak intrik politik dan kecurangannya padahal pemimpin seharusnya melindungi hak-hak konstitusional masyarakatnya bukan malah sebaliknya. Menurut Punawiran Mayor Jendral Salim S Mengga kita jangan diam melihat kezaliman. Jangan diam melihat dirimu dizalimi. Harus berani bertanya. Kondisi kita sekarang, menjadi tidak sehat. Kacau balau. Menakut-nakuti masyarakat, mengancam tidak dapat raskin dan kompor gas kalau macam-macam. Akibatnya, terjadi persepsi salah melihat pemimpin oleh kalangan muda. Nanti suatu saat rakyat berpikir, bila kita mau memimpin, harus bersikap buruk. Nanti menakut-nakuti orang baru cocok. Akhirnya itu tertular ke generasi selanjutnya.Pratek penyanderaan hak untuk memilih harus segera diputus mata rantainya karena akan merusak esensi demokrasi yang sebenarnya dan yang lebih penting adalah setiap konsestan Pemilu baik itu, Legislatif, Presiden maupun Kepala Daerah harus siap kalah dan siap menang agar tidak menghalalkan segala cara untuk menang karena kekuasaan bukalah segala-galanya. http://hukum.kompasiana.com/2011/08/06/penyanderaan-hak-untuk-memilih-dalam-suatu-pemilihan-385869.html
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

3. Hak azasi hukum / Legal Equality Right
  1. - Hak mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan
  2. - Hak untuk menjadi pegawai negeri sipil / pns
  3. - Hak mendapat layanan dan perlindungan hukum
Kasus yang dipilih : HAK MENDAPATKAN PERLAKUAN YANG SAMA DAN SEDERAJAT DALAM HUKUM  ( RIGHTS OF LEGAL EQUALITY) Dalam negara hukum, negara mengakui dan melindungi hak asasi manusia setiap individu tanpa membedakan latar belakangnya, sehingga semua orang memiliki hak untuk diperlakukan sama di hadapan hukum (equality before the law).Sesuai dengan Pasal 28 D ayat 1, UUD 1945 yang berbunyi : “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.

v  Masyarakat kelas bawah mendapat perlakuan hukum kurang adil, bukti nya jika masyarakat bawah membuat suatu kesalahan misalkan mencuri sendal proses hukum nya sangat cepat, akan tetapi jika masyarakat kelas atas melakukan kesalahan misalkan korupsi, proses hukum nya sangatlah lama.

v  Masih ingatkah anda dengan kasus yang menimpa nenek Minah yang dituduh mencuri  3 kilogram kakao, padahal kenyataannya beliau hanya mngambil 3 buah kakao yang telah jatuh dari pohonnya Wanita berusia 55 tahun itu adalah warga Dusun Sidohar-jo Desa Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang, Kabupaten Banyumas, Provinsi Jawa Tengah. Ulahnya yang mencuri tiga butir kakao di kebun milik PT Rumpun Sari Antam senilai Rp 2.000,00 pada Agustus 2008 telah membuatnya harus berurusan dengan hukum. Majelis hakim menjatuhkan vonis 1 bulan 15 hari kurungan penjara, serta masa percobaan 30 hari. Putusan itu muncul di tengah sengkarut kasus korupsi mega miliar di Jakarta, Bank Century. Spontan muncul tanda tanya besar di benak publik. Mengapa aparat penegak hukum kita begitu cepat dan responsif menangani kasus pencurian seperti yang dilakukan Nenek Minah, sementara kasus pencurian uang negara alias korupsi yang melibatkan pejabat negara begitu sulit terungkap?Sumber : http://aminahhumairoh.wordpress.com/2010/03/10/persamaan-dihadapan-hukum/)
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

4. Hak azasi Ekonomi / Property Rigths
  1. - Hak kebebasan melakukan kegiatan jual beli
  2. - Hak kebebasan mengadakan perjanjian kontrak
  3. - Hak kebebasan menyelenggarakan sewa-menyewa, hutang-piutang, dll
  4. - Hak kebebasan untuk memiliki susuatu
  5. - Hak memiliki dan mendapatkan pekerjaan yang layak
Kasus yang dipilih:  Hak Asasi Ekonomi (property Right) hak menikmati SDA, sesuai dengan UUD Pasal 33 mengandung pengakuan hak-hak ekonomi berupa hak memiliki dan menikmati hasil kekayaan alam Indonesia.

v  Eksploitasi Sumber Daya Alam Papua Di bawah rezim Orde Baru, pemerintah mengadakan reformasi ekonomi tertutup menuju sistem ekonomi terbuka yang ditandai dengan liberalisasi rezim perdagangan internasional yaitu membebaskan lalu lintas devisa dan penyatuan tingkat nilai tukar. Pada periode ini perdagangan luar negeri mulai berperan penting dalam penerimaan negara. Strategi industrialisasi yang dianut pemerintah pada awal-awal Orde Baru adalah substitusi impor terutama untuk barang-barang konsumsi.Pemanfaatan kekayaan Papua seharusnya dilakukan tanpa cara eksploitasi yang terlalu merusak alam. Penerapan mega proyek tambang yang dapat merusak alam juga harus dipikirkan berkali-kali. Meskipun kekayaan tambang di Papua sangat melimpah, bukan berarti kita semena-mena menggunakannya sekarang demi kemajuan yang belum sepenuhnya dapat mengembangkan kemajuan Indonesia dan potensi lain yang dimiliki Papua.Papua bukanlah daerah yang hanya dimanfaatkan kekayaan alamnya tanpa dikembangkan masyarakatnya. Sangat kejam bila negara hanya mengeruk alamnya saja yang dapat berkontribusi besar terhadap negara, sedangkan kondisi masyarakat Papua sendiri tidak terjamin secara ekonomi dan pendidikan.
Seperti yang telah kita ketahui, terdapat mega proyek tambang yang terdapat di Papua yaitu PT Freeport. Hasil dari proyek tambang tersebut sebagian besar diborong oleh PT Freeport dan sebagian kecil diberikan ke pemerintah. Bila kita melihat kondisi seperti ini, sangat mengenaskan apabila Papua dieksploitasi secara besar-besaran kekayaan alamnya yang nantinya dinikmati sebagian besar oleh negara lain.Masyarakat Papua menjadi korban dari kapitalisme modern yang terus-menerus menggerus kekayaan tanah kelahirannya untuk kepentingan yang tidak dapat dinikmati secara nyata oleh masyarakat Papua tersebut. Dampak dari eksploitasi sumber daya alam tersebut antara lain kepada kesehatan, gangguan alam akibat galian tambang, konflik dengan pihak PT Freeport dan ketidakpercayaan masyarakat papua terhadap pemerintah Republik Indonesia.Konflik ini dapat bermuara kepada keinginan Papua untuk melepaskan diri dari Indonesia karena alasan tidak adanya pengembangan secara signifikan dalam bidang pendidikan dan ekonomi. Proses pemerataan harus sepenuhnya dilakukan di Papua agar konflik dapat ditekan. Kesenjangan ekonomi juga menjadi pemicu terjadinya berbagai jenis kesenjangan dan keterpurukan.Di Indonesia, sesuai dengan UUD45 Pasal 33 ayat 3 di atas, bukan seperti yang di Amerika itu yang terjadi. Siapapun yang melakukan usaha eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya ekstraksi kebumian harus mengontrak kepada Negara, karena yang memiliki dan menguasai kekayaan tersebut adalah Negara, bukan individu atau kelompok masyarakat yang mendiami dan atau mempunyai hak milik atas tanah tersebut. Makanya di dalam pengusahaan migas ada KKS Migas (Kontrak Kerja Sama Migas) atau dulu disebut sebagai KBH (Kontrak Bagi Hasil) atau PSC (Production Sharing Contract).Operasi pertambangan tidak hanya merusak lingkungan, tapi juga sering menjadi faktor penyebab pelanggaran hak asasi manusia, terutama untuk suku-suku asli setempat. Protes tentang ketimpangan porsi penghasilan operasi pertambangan yang dinikmati baik oleh perusahaan multinasional dan rakyak di negara yang memiliki lokasi pertambangan juga muncul ke permukaan. Hanya sebagian kecil saja yang bisa dinikmati rakyat setempat, sementara sebagian besar hasil pertambangan dinikmati oleh perusahaan multinasional dan pejabat pemerintah pusat atau daerah. http://blog.ub.ac.id/notyoubutme/2012/07/27/praktek-neoliberalisme-dalam-eksploitasi-hasil-tambang-di-papua/

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------


5. Hak Asasi Peradilan / Procedural Rights
  1. - Hak mendapat pembelaan hukum di pengadilan
  2. - Hak persamaan atas perlakuan penggeledahan, penangkapan, penahanan dan penyelidikan di mata hukum.
Kasus  yang dipilih : HAK ASASI UNTUK MENDAPATKAN PERLAKUAN TATA CARA PERADILAN DAN PERLINDUNGAN ( PROCEDURAL RIGHTS)- HAM ini adalah hak untuk mendapatkan perlakuan yang wajar, layak, dan adil dalam penggeledahan, baik razia, penangkapan, peradilan dan pembelaan hukum. Dalam tata peradilan pidana terpadu segala tindakan aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim dan pejabat (petugas) lembaga pemasyarakatan) terhadap seseorang yang diduga melakukan tindak pidana (tersangka/terdakwa) sampai dengan dijatuhkan sanksi pidana (terpidana) dan menjalani masa hukuman (narapidana) harus berdasarkan ketentuan atau aturan hukum yang berlaku. Oleh karena itu segala tindakan aparat penegak hukum tersebut mulai dari penangkapan, penahanan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan sampai dengan pelaksanaan hukuman di lembaga pemasyarakatan harus memperhatikan hak-hak tersangka/terdakwa/terpidana/narapidana sebagaimana telah dijamin oleh hukum. Apabila hal tersebut tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya berarti telah terjadi suatu pelanggaran hukum.

v  Aparat Kepolisian Masih Lakukan Pelanggaran HAM? INILAH, Bandung - Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) masih kerap terjadi di Indonesia meski Hari HAM Internasional pada 10 Desember kerap diperingati setiap tahunnya. Bahkan pelanggaran HAM diindikasikan masih kerap terjadi di ranah kepolisian saat penanganan tersangka atau terdakwa. Mulai dari tahap penyelidikan, penangkapan, pengeledahan dan penahanan.Pengamat Kepolisian/Kriminolog dari Universitas Pajajaran (Unpad), Yesmil Anwar menuturkan, sekitar tiga tahun lalu, sebuah lembaga internasional yang bergerak di bidang criminal justice system sempat merilis masih tingginya tingkat pelanggaran terhadap hak tersangka, termasuk tindak kekerasan yang dilakukan polisi. Namun, Yesmil mengakui adanya upaya dari pimpinan Polri untuk merubah hal tersebut.“Tapi sayangnya, paradigma pemerasan atau kekerasan untuk mendapatkan pengakuan atau keterangan dari tersangka di lapangan belum berubah. Penyelidikan masih fokus kepada pengakuan, bahkan sampai terjadi rekayasa untuk mendapatkan pengakuan tersebut. Seharusnya, penyelidikan juga bisa menggunakan sejumlah alat bukti yang ditemukan,” kata Yesmil Anwar kepada INILAH, Senin (10/12).Yesmil manambahkan, perilaku melanggar HAM terhadap tersangka ini, lebih banyak dilakukan anggota polisi yang menjadi ujung tombak di lapangan. Seperti di tingkat polsek. Namun demikian, hal ini berbeda dengan level Perwira, yang diakui Yesmil ada upaya-upaya untuk merubah paradigma tersebut.“Kalau level Perwira dan pimpinan-pimpanannya, jelas ada upaya ke arah penegakan HAM. Namun sayang, di tataran lapangan masih terjadi pelanggaran. Padahal, tersangka ataupun terdakwa itu memiliki hak asasi yang harus dilindungi. Terlebih, dalam hukum itu menganut azas praduga tidak bersalah (Presumption of Innocence)," tuturnya.Selain itu, lanjutnya, polisi sangat berhati-hari menghadapi kasus besar yang menarik perhatian publik. Mereka tidak mau gegabah dalam melakukan semua proses hukumnya, terutama untuk menghindari pelanggaran-peranggaran HAM. “Karena terlalu berhati-hati, justru menimbulkan pelanggaran baru. Contohnya, seperti pembiaran terhadap suatu keadaan,” katanya.Terkait hal tersebut, Kepala Bidang Humas Polda Jawa Barat, Kombes (Pol) Martinus Sitompul mengatakan, sejauh ini Jajaran Polri terus berusaha meminimalisir terjadinya pelanggaran HAM. Seperti pada saat penangkapan, pemeriksaan tersangka, pihak Kepolisian selalu menawarkan kepada tersangka. Apakah akan didampingi oleh kuasa hukum, sesuai dengan haknya seperti yang diatur dalam KUHP.Selain itu, jajaran Kepolisian juga menempatkan pejabat struktural, agar tidak terjadi pelanggaran hak tersangka. Pejabat struktural ini, di tingkat Polda jabatannya adalah Direktur, sedangkan ditingkat Polres adalah Kepala Unit (Kanit).“Ini adalah salah satu upaya kami untuk menekan atau meminimalisir pelanggaran HAM terhadap tersangka. Pemasangan close circuit tekevision (CCTV) di tempat tahanan pun menjadi salah satu piranti yang dipakai untuk menghindari pelanggaran yang dilakukan anggota Kepolisian,” ujar Martinus.Selain itu, lanjutnya, pihaknya siap menerima pengaduan jika ada masyarakat atau tahanan yang merasa hak-haknya telah dilanggar oleh anggota Polisi. Pengaduan bisa dilakukan langsung ke bagian Propam mulai dari tingkat Polres dengan Jabatan Kepala Seksi (Kasie) dan di Polda dengan jabatan Kepala Bidang (Kabid).“Silakan masyarakat yang merasa haknya terlanggar oleh anggota Polisi mengadukannya kepada kami melalui Propam. Kami akan menindak dan melakukan pembinaan kepada anggota yang melakukan pelanggaran,” tegasnya.Selain membuka pengaduan langsung dari masyarakat, jajaran Kepolisian juga selalu mengawasi dan melakukan pembinaan internal terhadap anggotanya. Agar dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari, tidak melakukan kesalahan atau bahkan melakukan pelanggaran HAM. Karena didasarkan kepada Standar Operasional Prosedur (SOP) .“Contohnya, pada saat melakukan pengamanan aksi unjuk rasa, ada personil kami yang khusus betugas merekam kegiatan tersebut dengan kamera video. Fungsinya untuk pengawasan dan pembinaan, karena bisa saja, pada saat pengamanan itu, ada anggota kami yang kelewatan. Misalnya memukul, menandang dan lain sebagainya, dengan adanya bukti rekaman itu, kami bisa langsung menegur dan membinanyam” terangnya.[ang]                (Sumber : http://m.inilahkoran.com/read/detail/1936226/aparat-kepolisian-masih-lakukan-pelanggaran-ham)
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
6. Hak asasi sosial budaya / Social Culture Right
  1. - Hak menentukan, memilih dan mendapatkan pendidikan
  2. - Hak mendapatkan pengajaran
  3. - Hak untuk mengembangkan budaya yang sesuai dengan bakat dan minat

Kasus yang dipilih  Hak atas pendidikan, Sesuai dengan pasal 33 UUD 1945, Pasal ini mengakui hak setiap warga negara akan pengajaran termasuk memastikan bahwa pendidikan dasar adalah wajib, bahwa pendidikan cukup tersedia, dapat diakses, dapat diterima dan disesuaikan dengan individu budaya .


v  Tarik Biaya Sekolah Kepsek Bisa Dituduh Pelanggaran HAM Jakarta – Sekolah yang memungut biaya sekolah anak terutama pada keluarga miskin, bisa dikenakan pelanggaran HAM, karena salah satu hak anak yang dilindungi negara adalah hak untuk mendapatkan pendidikan secara cuma-cuma.“Apalagi masyarakat miskin termasuk dalam golongan yang dilindungi Undang-undang untuk mendapatkan pendidikan cuma-cuma. Kepala sekolah dapat dikenai pasal pelanggaran HAM,” demikian pengamat pendidikan Ade Irawan dari Koalisi Pendidikan di Jakarta, Senin (14/7).Menurutnya pihak Koalisi Pendidikan sudah mendirikan pos-pos pengaduan di beberapa daerah untuk menampung semua keluhan masyarakat termasuk soal pungutan biaya sekolah anak. “Namun masyarakat bisa langsung mengadukan pada Komnas HAM dan Komisi Perlindungan Anak,” katanya.Dinas Pendidikan dan Kepala Sekolah diisyaratkan berhati-hati menetapkan biaya pendidikan tinggi karena bisa menutup ruang bagi masyarakat tidak mampu mengenyam pendidikan, dan akhirnya bisa dilaporkan pelanggaran Hak Azazi Manusia (HAM) di bidang pendidikan. "Kepsek perlu hati-hati menetapkan biaya pendidikan tinggi, karena jika memberatkan masyarakat apalagi bagi siswa miskin, dapat dilaporkan sebagai pelanggaran HAM," kata praktisi hukum dari LBH Padang, Sudi Prayitno, di Padang, Sabtu (12/7).Dia mengatakan hal tersebut, terkait sejumlah sekolah setingkat SD, SMP dan SMA di Kota Padang menetapkan biaya tinggi bagi siswa barunya.Informasi yang terhimpun di Kota Padang, biaya masuk sekolah bagi siswa baru setingkat SMP mulai Rp 315.000/siswa sampai Rp 445.000/siswa dan untuk siswa SMA dipungut rata-rata diatas Rp1 juta /siswa termasuk uang pembangunan.Sudi mengatakan, biaya pendidikan tersebut dinilainya tinggi dan memberatkan masyarakat dan bisa dilaporkan sebagai bentuk pelanggaran HAM apalagi kondisi itu mengakibatkan terhambatnya sebagian masyarakat mengenyam bangku sekolah.Pendidikan itu, katanya, telah diatur konstitusi, jadi jika penyelenggaraannya terkesan memberatkan maka dapat dilaporkan sebagai pelanggaran HAM dan konstitusi. "Semestinya pendidikan bisa dinikmati masyarakat dengan biaya murah, karena telah diatur oleh konstitusi dan juga banyak bantuan lainnya untuk biaya pendidikantersebut," katanya.(web warouw/ant)



Kasus yang dipilih : Hak-hak minoritas dan masyarakat adat;  Sesuai dengan Pasal 32 UUD 1945,Pasal ini mengakui adanya jaminan dan perlindungan dan hak untuk mengembangkan kebudayaan.

v  BARITO SELATAN--BN: PIHAK Legislatif dan eksekutif di Barito Selatan (Barsel) saat ini sedang membahas Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Kelembagaan Adat Dayak. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) berjanji secepatnya mengupayakan agar memiliki Peraturan Daerah (Perda) tentang Kelembagaan Adat Dayak.“Keberadaan perda ini sangat diperlukan, terutama untuk mengantisipasi terjadinya pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang menyangkut masalah se-ngketa lahan. Dengan perda tersebut hak-hak masyarakat adat bisa dilindungi,” ungkap Wakil Ketua DPRD James Jamjam kepada , kemarin.
James, sangat mendukung dan berusaha agar Barsel segera memiliki perda adat. Karena perda itu sangat penting, mengingat salah satu isi dari perda itu adalah mengatur tentang hak tanah adat dan hak-hak adat di atas tanah.Dia berharap, dalam pembahasan dan pembuatan Perda harus dilakukan dengan hati-hati dan teliti karena Perda itu nantinya akan menjadi dasar hukum.
“Perda yang bertentang-an dengan hukum lebih tinggi, pasti akan dicabut oleh Kementerian Dalam Negeri,”pungkas James.Ketua Dewan Adat Dayak Lewy Bungken menjelaskan Perda kelembagaan adat dayak sangat diperlukan, hal itu tidak lepas dari upaya menjaga kearifan lokal dan menunjang program pemerintah, khususnya dalam menjaga dan melestarikan lingkungan hidup.

Kearifan lokal
“Perda Kelembagaan Adat Dayak bertujuan untuk menjaga kearifan lokal. Dengan dasar itu, semua lembaga adat dan hukum adat perlu mendapatkan legitimasi hukum berbentuk Perda, yang bakal diterapkan dan dilaksanakan seluruh masyarakat Kalteng umumnya dan Barsel khususnya,” jelas Lewy.Menurut Lewy, Perda kelembagaan adat tak terlepas dari penerapan denda adat yang kerap dianggap tak sesuai dengan produk hukum positif. Denda adat ini juga sering tak mendapat pengakuan dari pihak selain warga dan masyarakat.
“Dengan usulan menjadi Perda, kelembagaan hukum adat akan punya kekuatan hukum. Khususnya lingkungan hutan yang dijadikan perkebunan atau pertambangan yang tidak mengindahkan aturan adat.”(B-1) Sumber http://www.borneonews.co.id/index.php/news/barito/22432-perda-adat-dayak-dibahas.html

Kasus yang dipilh : Hak untuk memperoleh standar tertinggi kesehatan fisik dan mental, termasuk hak untuk kondisi hidup sehat dan tersedia, dapat diakses, dapat diterima, dan pelayanan kesehatan yang berkualitas; Sesuai dengan Pasal 28 H UUD 1945, Pasal ini mengakui hak hidup sejahtera lahir batin, hak bertempat tinggal dan hak akan lingkungan hidup yang baik dan sehat, hak pelayanan kesehatan, hak jaminan sosial, hak milik pribadi.
v  JAKARTA, KOMPAS.com — Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyimpulkan beberapa pelanggaran HAM yang diakibatkan oleh lumpur Lapindo di Porong-Sidoarjo, Jawa Timur. Hal ini disampaikan Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim dalam keterangan pers yang diterima Kompas.com, Selasa (14/8/2012).Adapun beberapa pelanggaran HAM tersebut antara lain hak untuk hidup. Berdasarkan temuan Komnas HAM, pemerintah gagal untuk memenuhi hak atas standar dan lingkungan hidup yang layak. "Tercatat pada tanggal 3 Desember 2008, satu pengungsi bernama Ibu Jumik meninggal karena sakit dan tanpa bantuan, baik dari pemerintah maupun perusahaan Lapindo Brantas, Inc, sebagai perusahaan yang bertanggung jawab," ungkap Ifdhal dalam keterangan pers tersebut.Pelanggaran lainnya adalah dalam hal hak atas informasi. Hal ini ditekankan pada informasi yang tidak sampai kepada masyarakat terkait proyek pengeboran yang dilakukan, kemudian hak atas rasa aman terhadap ancaman jebolnya tanggul penahan lumpur yang sewaktu-waktu dapat menenggelamkan rumah-rumah penduduk. "Dalam hal ini, pemerintah juga tidak membuat sistem peringatan dini (early warning system). Ditambah lagi dengan munculnya gelembung-gelembung gas yang berpotensi menyebabkan kebakaran," tambahnya.Tidak hanya itu, Ifdhal Kasim menambahkan bahwa bencana lumpur Lapindo di Porong Sidoarjo tersebut juga menghilangkan hak pengembangan diri, hak atas perumahan, hak atas pangan, hak atas kesehatan, hak atas pekerjaan, juga hak pendidikan. "Karena bencana lumpur tersebut, tercatat 2.288 orang berhenti bekerja akibat pabrik-pabrik tempat mereka bekerja sudah tidak beroperasi. Kemudian ada 1.774 siswa SD, SMP, SMA, dan pondok pesantren kehilangan tempat belajar karena sekolah mereka tergenang lumpur," tambah Ifdhal.Komnas HAM juga mencatat, akibat bencana lumpur tersebut, para korban kehilangan hak kesejahteraan (hak milik) atas aset-aset mereka yang hilang direnggut lumpur. Hal ini juga berimplikasi terhadap hilangnya hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan. "Hilangnya properti membuat korban berhalangan untuk menyalurkan kebutuhan biologis serta naluri reproduksinya, apalagi di tempat pengungsian tidak ada tempat yang layak," jelasnya.Komnas HAM juga menyebutkan bahwa dalam konteks bencana lumpur di Porong Sidoarjo itu, pemerintah ataupun pihak yang bertanggung jawab juga telah melanggar hak-hak kelompok rentan seperti kaum disabilitas, kelompok lanjut usia, anak-anak, dan perempuan. Terbukti di lapangan, tidak ada perlakuan khusus untuk ibu hamil serta tidak ada jaminan keamanan terhadap anak-anak perempuan dari tindak kekerasan ataupun pelecehan seksual karena tidak ada pemisahan khusus antara pria dan wanita. "Dengan terlanggarnya hak-hak para korban lumpur tersebut, maka secara tidak langsung hak mereka untuk memperoleh jaminan sosial juga tidak dipenuhi sama sekali," kata Ifdhal.( Sumber : http://nasional.kompas.com/read/2012/08/15/04234381/Lumpur.Lapindo.Sebabkan.Pelanggaran.HAM )

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------






Comments

Popular posts from this blog

Jalur Pendidikan HBS - Hogereburgerschool

Kampung Arab Pekojan

Tjakrabirawa di malam kelam 1 Oktober 1965