Stop Pembiaran Pelanggaran HAM
1. Hak asasi pribadi / personal Right
- Hak kebebasan untuk bergerak, bepergian dan berpindah-pindah tempat
- Hak kebebasan mengeluarkan atau menyatakan pendapat
- Hak kebebasan memilih dan aktif di organisasi atau perkumpulan
- Hak kebebasan untuk memilih, memeluk, dan menjalankan agama dan kepercayaan yang diyakini masing-masing
Kasus yang
dipilih: Adanya Kasus pelarangan buku yang
dikarang. Melanggar Hak kebebasan
mengeluarkan atau menyatakan pendapat. Bertentangan dengan UUD Pasal 28 dimana negara memberikan
jaminan dalam bidang politik berupa hak untuk mengadakan persyerikatan,
berkumpul dan menyatakan pendapat baik lisan maupun tulisan.
v “Pelarangan
buku yang berjudul “Enam Jalan Menuju Tuhan”. Setiap orang berhak mengeluarkan pendapat dan menulis. Kalau ada
yang tidak suka ya harus mendebatnya dan membalasnya dengan menulis buku.
Janganlah kemudian melarang mulut saya untuk bicara dan janganlah melarang
tangan saya untuk menulis.Demikianlah yang diungkapkan oleh Darmawan selaku
Pemohon dalam sidang uji materi Pasal 30 ayat (3) huruf c UU 16/2004 tentang
Kejaksaan di Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (09/02). Perkara dengan
registrasi nomor 6/PUU-VII/2010 ini dimohonkan oleh Darmawan dikarenakan haknya
dirugikan atas berlakunya UU Kejaksaan terkait pelarangan bukunya yang berjudul
“Enam Jalan Menuju Tuhan”. Adapun bunyi Pasal 30 ayat (3) huruf c adalah Dalam
bidang ketertiban dan ketenteraman umum, kejaksaan turut menyelenggarakan
kegiatan pengawasan peredaran barang cetakan.“Pasal tersebut tidak mengenal
adanya due process of law. Pemohon mengetahui pelarangan bukunya justru melalui
media massa dan bukan langsung dari kejaksaan. Dalil kejaksaan melarang barang
cetakan yang isinya dianggap dapat mengganggu ketertiban umum bukanlah
merupakan hukum yang adil,” kata Rahmat Bagja selaku kuasa hukum Pemohon kepada
Majelis Sidang Panel MK.Pelarangan yang dilakukan oleh Kejaksaan, menurut
Rahmat Bagja merupakan bentuk pengekangan atas kebebasan mengeluarkan pendapat.
“Hal itu membuat Pemohon bahkan orang lain merasa tidak lagi bebas mengeluarkan
pendapat. Pemerintah melalui kejaksaan saat ini suka melakukan intervensi.
Intinya seorang yang mengeluarkan pendapat dan akses masyarakat mendapatkan
informasi dikekang oleh pemerintah,” tegasnya.Dalam petitum permohonannya,
Pemohon menginginkan supaya MK menyatakan bahwa Pasal 30 ayat (3) huruf c UU
16/2004 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (3) UUD 1945
sehingga tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.Sementara itu, Majelis Sidang
Panel MK memberikan nasehat dalam agenda sidang pemeriksaan permohonan ini.
”Permasalahan yang diajukan oleh pemohon ini apakah due process of law atau
norma yang tercantum dalam UU Kejaksaan. Pada dasarnya pembatasan seperti yang
diungkapkan dalam permohonan adalah hal yang boleh-boleh saja,” kata Hakim
Konstitusi Hamdan Zoelva. Menurut Hamdan, pelarangan kebebasan dalam
berpendapat yang dialami Pemohon justru berdasarkan SK Kejaksaan Agung tentang
pelarangan peredaran buku yang telah di ”clearing house” terlebih dahulu.
”Kalau berdasarkan SK Kejaksaan Agung, hal itu masuk wilayah PTUN bukan di MK,”
nasehatnya kepada Pemohon.Lebih penting lagi tutur Hamdan, Pemohon harus bisa
menjelaskan bagaimana hubungan antara UU Kejaksaan dengan permasalahan
pelarangan buku yang kewenangannya diberikan kepada kejaksaan. ”Adalagi UU
1/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama, itu juga
dapat menjadi dasar pelarangan sebuah buku yang terindikasi menodai dan
menistakan sebuah agama,” tuturnya.Majelis Sidang Panel MK memberikan waktu
selama 14 hari kedepan untuk memperbaiki permohonan. (RN Bayu Aji/MK) Sumber : http://indonesiabuku.com/?p=3934)
Kasus kedua
yang dipilih: Hak asasi manusia adalah hak-hak dasar yang di bawa manusia sejak ia
hidup yang melekat pada esensinya sebagai anugrah Tuhan yang maha kuasa. Bila hak asasi manusia belum dapat di
tegak kan maka akan terus terjadi pelanggaran dan penindasan atas Ham baik oleh
masyarakat, bangsa, atau pemerintah. UUD pasal 29 ini mengakui kebebasan dalam menjalankan perintah agama sesuai
kepercayaan masing-masing.
v Jakarta, Rakyat Merdeka. Bekas presiden Abdurrahman Wahid menyatakan
pemerintah telah gagal melindungi warganya.
Pernyataannya itu terkait dengan kasus penyerangan dsertai pembakaran rumah
jemaah Ahmadiyah di dusun Ketapang, Lombok Barat kemarin Sabtu (4/2). Menurut
Gus Dur dalam kasus Ahmadiyah, tidak saja di Ketapang, tapi yang terjadi di
sejumlah daerah, pemerintah takut mengambil tindakan tegas kepada para pelaku.
Apapun tindakan massa bertentangan dengan UUD 1945, tegas Gus Dur di sela
Seminar Membangun Peradaban Indonesia, di Hotel Sahid, tadi (Minggu (5/2).
Dalam siaran Radio Elshinta, Gus Dur yang juga ketua dewan Syuro PKB mendesak
pemerintah untuk menangkap pelaku. Sebab tindakan massa yang menyerang dan
membakar sekitar 31 rumah jemaah Ahmadiyah itu bertentangan dengan UUD 1945,
yang memberikan kebebasan bagi setiap orang melaksanakan kegiatan agamanya masing-masing. Seharusnya UUD itu dijadikan legitimasi bagi
pemerintah untuk menindak para pelaku, bukannya takut, kata Gus Dur lagi. UUD
1945 tambahnya lagi tidak pernah menyuruh orang membakar rumah orang lain.
Kenapa pemerintah tidak berani menegakkan UUD 1945? Sumber: http://www.rakyatmerdeka.co.id/news/2006/02/05/7534/Gus-Dur-Marah-Ahmadiyah-Dianiaya
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
2. Hak asasi politik / Political Right
- - Hak untuk memilih dan dipilih dalam suatu pemilihan
- - hak ikut serta dalam kegiatan pemerintahan
- - Hak membuat dan mendirikan parpol / partai politik dan organisasi politik lainnya
- - Hak untuk membuat dan mengajukan suatu usulan petisi
Kasus yang
dipilih: Hak untuk memilih dan dipilih
dalam suatu pemilihan yang jujur adil dan rahasia. Kebebasan dalam memilih merupakan hak konstitusional warga negara dan
tidak ada pihak yang dapat membatasinya termasuk oleh negara.
v Penyanderaan Hak Untuk Memilih dalam Suatu Pemilihan
Negara
berdasarkan hukum (recht staat)
memiliki empat aspek: 1. Perlindungan HAM 2. Pembagian Kekuasaan. 3.
Pemerintahan Berdasarkan UU. 4. Peradilan Tata Usaha Negara. Hak Asasi Manusia
(HAM) merupakan adalah hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak awal
dilahirkan yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat siapa pun. Sebagai
warga negara yang baik kita mesti menjunjung tinggi nilai hak azasi manusia
tanpa membeda-bedakan status, golongan, keturunan, jabatan, dan lain sebagainya.Berdasarkan
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusi pengaturan HAM terbagi atas dua (2), yang
pertama adalah HAK SIPOL (Sosal Politik) merupakan hak yang tidak dapat
dibatasi (non derogable rights) menuntut pembatasan kewenangan oleh apatur
negara (negatif raight),
artinya hak-hak dan kebebasan yang diatur dijamin di dalamnya akan dapat
terpenuhi apabila peran negara terbatasi atau terlihat minus, kedua EKOSOB (Ekonomi Sosial
Budaya) merupakan hak yang dapat dibatasi (derogable raights) yang menuntut peran aktif negara (positif right).Dalam ketentuan hak
asasi politik atau political right,
salah satunya menjamin hak untuk memilih dan dipilih dalam suatu pemilihan yang
jujur adil dan rahasia. Kebebasan dalam memilih merupakan hak konstitusional
warga negara dan tidak ada pihak yang dapat membatasinya termasuk oleh negara.
Pelaksanaan Pemilu Legislatif, Presiden maupun Kepala Daerah, sering kali
menyandera hak kebebasan memilih masyarakat. Hal tersebut begitu nyata ketika
TNI notabenya juga merupakan warga negara yang memiliki hak dan kewajiban
dihilangkan haknya oleh negara untuk mimilih dalam Pemilu tahun 2009 dan
2011.Beda lagi di daerah, calon incumbent Gubernur, Bupati dan Walikota
seringkali menakut-nakuti masyarakatnya, mengancam tidak dapat raskin, kompor
gas dan jaminan kesehatan, begitupun dengan bawahannya PNS yang diancam
dimutasi jika tidak memilih calon
incumbent. Sungguh ironis ketika pelaksanaan demokrasi dari rakyat,
untuk rakyat dan oleh rakyat begitu banyak intrik politik dan kecurangannya padahal
pemimpin seharusnya melindungi hak-hak konstitusional masyarakatnya bukan malah
sebaliknya. Menurut Punawiran Mayor Jendral Salim S Mengga kita jangan diam
melihat kezaliman. Jangan diam melihat dirimu dizalimi. Harus berani bertanya.
Kondisi kita sekarang, menjadi tidak sehat. Kacau balau. Menakut-nakuti
masyarakat, mengancam tidak dapat raskin dan kompor gas kalau macam-macam.
Akibatnya, terjadi persepsi salah melihat pemimpin oleh kalangan muda. Nanti
suatu saat rakyat berpikir, bila kita mau memimpin, harus bersikap buruk. Nanti
menakut-nakuti orang baru cocok. Akhirnya itu tertular ke generasi selanjutnya.Pratek
penyanderaan hak untuk memilih harus segera diputus mata rantainya karena akan
merusak esensi demokrasi yang sebenarnya dan yang lebih penting adalah setiap
konsestan Pemilu baik itu, Legislatif, Presiden maupun Kepala Daerah harus siap
kalah dan siap menang agar tidak menghalalkan segala cara untuk menang karena
kekuasaan bukalah segala-galanya. http://hukum.kompasiana.com/2011/08/06/penyanderaan-hak-untuk-memilih-dalam-suatu-pemilihan-385869.html
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
3. Hak azasi hukum / Legal Equality Right
- - Hak mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan
- - Hak untuk menjadi pegawai negeri sipil / pns
- - Hak mendapat layanan dan perlindungan hukum
Kasus yang
dipilih : HAK MENDAPATKAN PERLAKUAN YANG
SAMA DAN SEDERAJAT DALAM HUKUM ( RIGHTS
OF LEGAL EQUALITY) Dalam negara hukum, negara mengakui dan melindungi hak
asasi manusia setiap individu tanpa membedakan latar belakangnya, sehingga
semua orang memiliki hak untuk diperlakukan sama di hadapan hukum (equality
before the law).Sesuai dengan Pasal 28 D ayat 1, UUD 1945 yang berbunyi : “Setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama
di hadapan hukum.
v
Masyarakat kelas bawah mendapat perlakuan hukum kurang
adil, bukti nya jika masyarakat bawah membuat suatu kesalahan misalkan mencuri
sendal proses hukum nya sangat cepat, akan tetapi jika masyarakat kelas atas
melakukan kesalahan misalkan korupsi, proses hukum nya sangatlah lama.
v
Masih ingatkah anda dengan kasus yang menimpa nenek
Minah yang dituduh mencuri 3 kilogram kakao, padahal kenyataannya beliau
hanya mngambil 3 buah kakao yang telah jatuh dari pohonnya Wanita berusia 55
tahun itu adalah warga Dusun Sidohar-jo Desa Darmakradenan, Kecamatan
Ajibarang, Kabupaten Banyumas, Provinsi Jawa Tengah. Ulahnya yang mencuri tiga
butir kakao di kebun milik PT Rumpun Sari Antam senilai Rp 2.000,00 pada
Agustus 2008 telah membuatnya harus berurusan dengan hukum. Majelis hakim
menjatuhkan vonis 1 bulan 15 hari kurungan penjara, serta masa percobaan 30
hari. Putusan itu muncul di tengah sengkarut kasus korupsi mega miliar di
Jakarta, Bank Century. Spontan muncul tanda tanya besar di benak publik.
Mengapa aparat penegak hukum kita begitu cepat dan responsif menangani kasus
pencurian seperti yang dilakukan Nenek Minah, sementara kasus pencurian uang
negara alias korupsi yang melibatkan pejabat negara begitu sulit terungkap?Sumber : http://aminahhumairoh.wordpress.com/2010/03/10/persamaan-dihadapan-hukum/)
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
- - Hak kebebasan melakukan kegiatan jual beli
- - Hak kebebasan mengadakan perjanjian kontrak
- - Hak kebebasan menyelenggarakan sewa-menyewa, hutang-piutang, dll
- - Hak kebebasan untuk memiliki susuatu
- - Hak memiliki dan mendapatkan pekerjaan yang layak
Kasus yang dipilih:
Hak Asasi Ekonomi (property Right) hak menikmati SDA, sesuai dengan UUD Pasal 33 mengandung
pengakuan hak-hak ekonomi berupa hak memiliki dan menikmati hasil kekayaan alam
Indonesia.
v
Eksploitasi
Sumber Daya Alam Papua Di bawah rezim Orde Baru, pemerintah
mengadakan reformasi ekonomi tertutup menuju sistem ekonomi terbuka yang
ditandai dengan liberalisasi rezim perdagangan internasional yaitu membebaskan
lalu lintas devisa dan penyatuan tingkat nilai tukar. Pada periode ini
perdagangan luar negeri mulai berperan penting dalam penerimaan negara.
Strategi industrialisasi yang dianut pemerintah pada awal-awal Orde Baru adalah
substitusi impor terutama untuk barang-barang konsumsi.Pemanfaatan kekayaan
Papua seharusnya dilakukan tanpa cara eksploitasi yang terlalu merusak alam.
Penerapan mega proyek tambang yang dapat merusak alam juga harus dipikirkan
berkali-kali. Meskipun kekayaan tambang di Papua sangat melimpah, bukan berarti
kita semena-mena menggunakannya sekarang demi kemajuan yang belum sepenuhnya
dapat mengembangkan kemajuan Indonesia dan potensi lain yang dimiliki
Papua.Papua bukanlah daerah yang hanya dimanfaatkan kekayaan alamnya tanpa
dikembangkan masyarakatnya. Sangat kejam bila negara hanya mengeruk alamnya
saja yang dapat berkontribusi besar terhadap negara, sedangkan kondisi
masyarakat Papua sendiri tidak terjamin secara ekonomi dan pendidikan.
Seperti yang telah kita ketahui, terdapat mega proyek tambang yang terdapat di Papua yaitu PT Freeport. Hasil dari proyek tambang tersebut sebagian besar diborong oleh PT Freeport dan sebagian kecil diberikan ke pemerintah. Bila kita melihat kondisi seperti ini, sangat mengenaskan apabila Papua dieksploitasi secara besar-besaran kekayaan alamnya yang nantinya dinikmati sebagian besar oleh negara lain.Masyarakat Papua menjadi korban dari kapitalisme modern yang terus-menerus menggerus kekayaan tanah kelahirannya untuk kepentingan yang tidak dapat dinikmati secara nyata oleh masyarakat Papua tersebut. Dampak dari eksploitasi sumber daya alam tersebut antara lain kepada kesehatan, gangguan alam akibat galian tambang, konflik dengan pihak PT Freeport dan ketidakpercayaan masyarakat papua terhadap pemerintah Republik Indonesia.Konflik ini dapat bermuara kepada keinginan Papua untuk melepaskan diri dari Indonesia karena alasan tidak adanya pengembangan secara signifikan dalam bidang pendidikan dan ekonomi. Proses pemerataan harus sepenuhnya dilakukan di Papua agar konflik dapat ditekan. Kesenjangan ekonomi juga menjadi pemicu terjadinya berbagai jenis kesenjangan dan keterpurukan.Di Indonesia, sesuai dengan UUD45 Pasal 33 ayat 3 di atas, bukan seperti yang di Amerika itu yang terjadi. Siapapun yang melakukan usaha eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya ekstraksi kebumian harus mengontrak kepada Negara, karena yang memiliki dan menguasai kekayaan tersebut adalah Negara, bukan individu atau kelompok masyarakat yang mendiami dan atau mempunyai hak milik atas tanah tersebut. Makanya di dalam pengusahaan migas ada KKS Migas (Kontrak Kerja Sama Migas) atau dulu disebut sebagai KBH (Kontrak Bagi Hasil) atau PSC (Production Sharing Contract).Operasi pertambangan tidak hanya merusak lingkungan, tapi juga sering menjadi faktor penyebab pelanggaran hak asasi manusia, terutama untuk suku-suku asli setempat. Protes tentang ketimpangan porsi penghasilan operasi pertambangan yang dinikmati baik oleh perusahaan multinasional dan rakyak di negara yang memiliki lokasi pertambangan juga muncul ke permukaan. Hanya sebagian kecil saja yang bisa dinikmati rakyat setempat, sementara sebagian besar hasil pertambangan dinikmati oleh perusahaan multinasional dan pejabat pemerintah pusat atau daerah. http://blog.ub.ac.id/notyoubutme/2012/07/27/praktek-neoliberalisme-dalam-eksploitasi-hasil-tambang-di-papua/
Seperti yang telah kita ketahui, terdapat mega proyek tambang yang terdapat di Papua yaitu PT Freeport. Hasil dari proyek tambang tersebut sebagian besar diborong oleh PT Freeport dan sebagian kecil diberikan ke pemerintah. Bila kita melihat kondisi seperti ini, sangat mengenaskan apabila Papua dieksploitasi secara besar-besaran kekayaan alamnya yang nantinya dinikmati sebagian besar oleh negara lain.Masyarakat Papua menjadi korban dari kapitalisme modern yang terus-menerus menggerus kekayaan tanah kelahirannya untuk kepentingan yang tidak dapat dinikmati secara nyata oleh masyarakat Papua tersebut. Dampak dari eksploitasi sumber daya alam tersebut antara lain kepada kesehatan, gangguan alam akibat galian tambang, konflik dengan pihak PT Freeport dan ketidakpercayaan masyarakat papua terhadap pemerintah Republik Indonesia.Konflik ini dapat bermuara kepada keinginan Papua untuk melepaskan diri dari Indonesia karena alasan tidak adanya pengembangan secara signifikan dalam bidang pendidikan dan ekonomi. Proses pemerataan harus sepenuhnya dilakukan di Papua agar konflik dapat ditekan. Kesenjangan ekonomi juga menjadi pemicu terjadinya berbagai jenis kesenjangan dan keterpurukan.Di Indonesia, sesuai dengan UUD45 Pasal 33 ayat 3 di atas, bukan seperti yang di Amerika itu yang terjadi. Siapapun yang melakukan usaha eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya ekstraksi kebumian harus mengontrak kepada Negara, karena yang memiliki dan menguasai kekayaan tersebut adalah Negara, bukan individu atau kelompok masyarakat yang mendiami dan atau mempunyai hak milik atas tanah tersebut. Makanya di dalam pengusahaan migas ada KKS Migas (Kontrak Kerja Sama Migas) atau dulu disebut sebagai KBH (Kontrak Bagi Hasil) atau PSC (Production Sharing Contract).Operasi pertambangan tidak hanya merusak lingkungan, tapi juga sering menjadi faktor penyebab pelanggaran hak asasi manusia, terutama untuk suku-suku asli setempat. Protes tentang ketimpangan porsi penghasilan operasi pertambangan yang dinikmati baik oleh perusahaan multinasional dan rakyak di negara yang memiliki lokasi pertambangan juga muncul ke permukaan. Hanya sebagian kecil saja yang bisa dinikmati rakyat setempat, sementara sebagian besar hasil pertambangan dinikmati oleh perusahaan multinasional dan pejabat pemerintah pusat atau daerah. http://blog.ub.ac.id/notyoubutme/2012/07/27/praktek-neoliberalisme-dalam-eksploitasi-hasil-tambang-di-papua/
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
5.
Hak Asasi Peradilan / Procedural Rights
- - Hak mendapat pembelaan hukum di pengadilan
- - Hak persamaan atas perlakuan penggeledahan, penangkapan, penahanan dan penyelidikan di mata hukum.
Kasus yang
dipilih : HAK ASASI UNTUK MENDAPATKAN PERLAKUAN TATA CARA PERADILAN DAN
PERLINDUNGAN ( PROCEDURAL RIGHTS)-
HAM ini adalah hak untuk mendapatkan perlakuan yang wajar, layak, dan adil
dalam penggeledahan, baik razia, penangkapan, peradilan dan pembelaan hukum.
Dalam tata peradilan pidana terpadu segala tindakan aparat penegak hukum
(polisi, jaksa, hakim dan pejabat (petugas) lembaga pemasyarakatan) terhadap
seseorang yang diduga melakukan tindak pidana (tersangka/terdakwa) sampai
dengan dijatuhkan sanksi pidana (terpidana) dan menjalani masa hukuman
(narapidana) harus berdasarkan ketentuan atau aturan hukum yang berlaku. Oleh
karena itu segala tindakan aparat penegak hukum tersebut mulai dari
penangkapan, penahanan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang
pengadilan sampai dengan pelaksanaan hukuman di lembaga pemasyarakatan harus
memperhatikan hak-hak tersangka/terdakwa/terpidana/narapidana sebagaimana telah
dijamin oleh hukum. Apabila hal tersebut tidak dilaksanakan sebagaimana
mestinya berarti telah terjadi suatu pelanggaran hukum.
v
Aparat
Kepolisian Masih Lakukan Pelanggaran HAM? INILAH,
Bandung - Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) masih kerap terjadi di Indonesia
meski Hari HAM Internasional pada 10 Desember kerap diperingati setiap
tahunnya. Bahkan pelanggaran HAM diindikasikan masih kerap terjadi di ranah
kepolisian saat penanganan tersangka atau terdakwa. Mulai dari tahap
penyelidikan, penangkapan, pengeledahan dan penahanan.Pengamat
Kepolisian/Kriminolog dari Universitas Pajajaran (Unpad), Yesmil Anwar
menuturkan, sekitar tiga tahun lalu, sebuah lembaga internasional yang bergerak
di bidang criminal justice
system sempat merilis masih tingginya tingkat pelanggaran
terhadap hak tersangka, termasuk tindak kekerasan yang dilakukan polisi. Namun,
Yesmil mengakui adanya upaya dari pimpinan Polri untuk merubah hal
tersebut.“Tapi sayangnya, paradigma pemerasan atau kekerasan untuk mendapatkan
pengakuan atau keterangan dari tersangka di lapangan belum berubah.
Penyelidikan masih fokus kepada pengakuan, bahkan sampai terjadi rekayasa untuk
mendapatkan pengakuan tersebut. Seharusnya, penyelidikan juga bisa menggunakan
sejumlah alat bukti yang ditemukan,” kata Yesmil Anwar kepada INILAH, Senin
(10/12).Yesmil manambahkan, perilaku melanggar HAM terhadap tersangka ini,
lebih banyak dilakukan anggota polisi yang menjadi ujung tombak di lapangan.
Seperti di tingkat polsek. Namun demikian, hal ini berbeda dengan level
Perwira, yang diakui Yesmil ada upaya-upaya untuk merubah paradigma
tersebut.“Kalau level Perwira dan pimpinan-pimpanannya, jelas ada upaya ke arah
penegakan HAM. Namun sayang, di tataran lapangan masih terjadi pelanggaran.
Padahal, tersangka ataupun terdakwa itu memiliki hak asasi yang harus
dilindungi. Terlebih, dalam hukum itu menganut azas praduga tidak bersalah (Presumption of Innocence),"
tuturnya.Selain itu, lanjutnya, polisi sangat berhati-hari menghadapi kasus
besar yang menarik perhatian publik. Mereka tidak mau gegabah dalam melakukan
semua proses hukumnya, terutama untuk menghindari pelanggaran-peranggaran HAM.
“Karena terlalu berhati-hati, justru menimbulkan pelanggaran baru. Contohnya,
seperti pembiaran terhadap suatu keadaan,” katanya.Terkait hal tersebut, Kepala
Bidang Humas Polda Jawa Barat, Kombes (Pol) Martinus Sitompul mengatakan,
sejauh ini Jajaran Polri terus berusaha meminimalisir terjadinya pelanggaran
HAM. Seperti pada saat penangkapan, pemeriksaan tersangka, pihak Kepolisian
selalu menawarkan kepada tersangka. Apakah akan didampingi oleh kuasa hukum,
sesuai dengan haknya seperti yang diatur dalam KUHP.Selain itu, jajaran
Kepolisian juga menempatkan pejabat struktural, agar tidak terjadi pelanggaran
hak tersangka. Pejabat struktural ini, di tingkat Polda jabatannya adalah
Direktur, sedangkan ditingkat Polres adalah Kepala Unit (Kanit).“Ini adalah
salah satu upaya kami untuk menekan atau meminimalisir pelanggaran HAM terhadap
tersangka. Pemasangan close circuit tekevision (CCTV) di tempat tahanan pun menjadi
salah satu piranti yang dipakai untuk menghindari pelanggaran yang dilakukan
anggota Kepolisian,” ujar Martinus.Selain itu, lanjutnya, pihaknya siap
menerima pengaduan jika ada masyarakat atau tahanan yang merasa hak-haknya
telah dilanggar oleh anggota Polisi. Pengaduan bisa dilakukan langsung ke
bagian Propam mulai dari tingkat Polres dengan Jabatan Kepala Seksi (Kasie) dan
di Polda dengan jabatan Kepala Bidang (Kabid).“Silakan masyarakat yang merasa
haknya terlanggar oleh anggota Polisi mengadukannya kepada kami melalui Propam.
Kami akan menindak dan melakukan pembinaan kepada anggota yang melakukan
pelanggaran,” tegasnya.Selain membuka pengaduan langsung dari masyarakat,
jajaran Kepolisian juga selalu mengawasi dan melakukan pembinaan internal
terhadap anggotanya. Agar dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari, tidak
melakukan kesalahan atau bahkan melakukan pelanggaran HAM. Karena didasarkan
kepada Standar Operasional Prosedur (SOP) .“Contohnya, pada saat melakukan
pengamanan aksi unjuk rasa, ada personil kami yang khusus betugas merekam
kegiatan tersebut dengan kamera video. Fungsinya untuk pengawasan dan
pembinaan, karena bisa saja, pada saat pengamanan itu, ada anggota kami yang
kelewatan. Misalnya memukul, menandang dan lain sebagainya, dengan adanya bukti
rekaman itu, kami bisa langsung menegur dan membinanyam” terangnya.[ang] (Sumber :
http://m.inilahkoran.com/read/detail/1936226/aparat-kepolisian-masih-lakukan-pelanggaran-ham)
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
6. Hak asasi sosial budaya / Social Culture Right
- - Hak menentukan, memilih dan mendapatkan pendidikan
- - Hak mendapatkan pengajaran
- - Hak untuk mengembangkan budaya yang sesuai dengan bakat dan minat
Kasus yang dipilih Hak
atas pendidikan, Sesuai dengan pasal 33 UUD 1945, Pasal ini
mengakui hak setiap warga negara akan pengajaran termasuk memastikan bahwa pendidikan
dasar adalah wajib, bahwa pendidikan cukup tersedia, dapat diakses, dapat
diterima dan disesuaikan dengan individu budaya .
v
Tarik Biaya
Sekolah Kepsek Bisa Dituduh Pelanggaran HAM Jakarta – Sekolah
yang memungut biaya sekolah anak terutama pada keluarga miskin, bisa dikenakan
pelanggaran HAM, karena salah satu hak anak yang dilindungi negara adalah hak
untuk mendapatkan pendidikan secara cuma-cuma.“Apalagi masyarakat miskin
termasuk dalam golongan yang dilindungi Undang-undang untuk mendapatkan
pendidikan cuma-cuma. Kepala sekolah dapat dikenai pasal pelanggaran HAM,”
demikian pengamat pendidikan Ade Irawan dari Koalisi Pendidikan di Jakarta,
Senin (14/7).Menurutnya pihak Koalisi Pendidikan sudah mendirikan pos-pos
pengaduan di beberapa daerah untuk menampung semua keluhan masyarakat termasuk
soal pungutan biaya sekolah anak. “Namun masyarakat bisa langsung mengadukan
pada Komnas HAM dan Komisi Perlindungan Anak,” katanya.Dinas Pendidikan dan
Kepala Sekolah diisyaratkan berhati-hati menetapkan biaya pendidikan tinggi
karena bisa menutup ruang bagi masyarakat tidak mampu mengenyam pendidikan, dan
akhirnya bisa dilaporkan pelanggaran Hak Azazi Manusia (HAM) di bidang
pendidikan. "Kepsek perlu hati-hati menetapkan biaya pendidikan tinggi,
karena jika memberatkan masyarakat apalagi bagi siswa miskin, dapat dilaporkan
sebagai pelanggaran HAM," kata praktisi hukum dari LBH Padang, Sudi
Prayitno, di Padang, Sabtu (12/7).Dia mengatakan hal tersebut, terkait sejumlah
sekolah setingkat SD, SMP dan SMA di Kota Padang menetapkan biaya tinggi bagi
siswa barunya.Informasi yang terhimpun di Kota Padang, biaya masuk sekolah bagi
siswa baru setingkat SMP mulai Rp 315.000/siswa sampai Rp 445.000/siswa dan
untuk siswa SMA dipungut rata-rata diatas Rp1 juta /siswa termasuk uang
pembangunan.Sudi mengatakan, biaya pendidikan tersebut dinilainya tinggi dan
memberatkan masyarakat dan bisa dilaporkan sebagai bentuk pelanggaran HAM
apalagi kondisi itu mengakibatkan terhambatnya sebagian masyarakat mengenyam
bangku sekolah.Pendidikan itu, katanya, telah diatur konstitusi, jadi jika
penyelenggaraannya terkesan memberatkan maka dapat dilaporkan sebagai
pelanggaran HAM dan konstitusi. "Semestinya pendidikan bisa dinikmati masyarakat
dengan biaya murah, karena telah diatur oleh konstitusi dan juga banyak bantuan
lainnya untuk biaya pendidikantersebut," katanya.(web warouw/ant)
Kasus yang dipilih : Hak-hak minoritas dan masyarakat adat; Sesuai dengan Pasal 32 UUD 1945,Pasal ini mengakui
adanya jaminan dan perlindungan dan hak untuk mengembangkan kebudayaan.
v BARITO SELATAN--BN: PIHAK Legislatif dan eksekutif di Barito Selatan (Barsel) saat
ini sedang membahas Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Kelembagaan Adat Dayak. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) berjanji secepatnya
mengupayakan agar memiliki Peraturan Daerah (Perda) tentang Kelembagaan Adat
Dayak.“Keberadaan perda ini sangat diperlukan, terutama untuk mengantisipasi
terjadinya pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang menyangkut masalah
se-ngketa lahan. Dengan perda tersebut hak-hak masyarakat adat bisa
dilindungi,” ungkap Wakil Ketua DPRD James Jamjam kepada ,
kemarin.
James, sangat mendukung dan berusaha agar Barsel segera memiliki perda adat. Karena perda itu sangat penting, mengingat salah satu isi dari perda itu adalah mengatur tentang hak tanah adat dan hak-hak adat di atas tanah.Dia berharap, dalam pembahasan dan pembuatan Perda harus dilakukan dengan hati-hati dan teliti karena Perda itu nantinya akan menjadi dasar hukum.
“Perda yang bertentang-an dengan hukum lebih tinggi, pasti akan dicabut oleh Kementerian Dalam Negeri,”pungkas James.Ketua Dewan Adat Dayak Lewy Bungken menjelaskan Perda kelembagaan adat dayak sangat diperlukan, hal itu tidak lepas dari upaya menjaga kearifan lokal dan menunjang program pemerintah, khususnya dalam menjaga dan melestarikan lingkungan hidup.
Kearifan lokal
“Perda Kelembagaan Adat Dayak bertujuan untuk menjaga kearifan lokal. Dengan dasar itu, semua lembaga adat dan hukum adat perlu mendapatkan legitimasi hukum berbentuk Perda, yang bakal diterapkan dan dilaksanakan seluruh masyarakat Kalteng umumnya dan Barsel khususnya,” jelas Lewy.Menurut Lewy, Perda kelembagaan adat tak terlepas dari penerapan denda adat yang kerap dianggap tak sesuai dengan produk hukum positif. Denda adat ini juga sering tak mendapat pengakuan dari pihak selain warga dan masyarakat.
“Dengan usulan menjadi Perda, kelembagaan hukum adat akan punya kekuatan hukum. Khususnya lingkungan hutan yang dijadikan perkebunan atau pertambangan yang tidak mengindahkan aturan adat.”(B-1) Sumber http://www.borneonews.co.id/index.php/news/barito/22432-perda-adat-dayak-dibahas.html
James, sangat mendukung dan berusaha agar Barsel segera memiliki perda adat. Karena perda itu sangat penting, mengingat salah satu isi dari perda itu adalah mengatur tentang hak tanah adat dan hak-hak adat di atas tanah.Dia berharap, dalam pembahasan dan pembuatan Perda harus dilakukan dengan hati-hati dan teliti karena Perda itu nantinya akan menjadi dasar hukum.
“Perda yang bertentang-an dengan hukum lebih tinggi, pasti akan dicabut oleh Kementerian Dalam Negeri,”pungkas James.Ketua Dewan Adat Dayak Lewy Bungken menjelaskan Perda kelembagaan adat dayak sangat diperlukan, hal itu tidak lepas dari upaya menjaga kearifan lokal dan menunjang program pemerintah, khususnya dalam menjaga dan melestarikan lingkungan hidup.
Kearifan lokal
“Perda Kelembagaan Adat Dayak bertujuan untuk menjaga kearifan lokal. Dengan dasar itu, semua lembaga adat dan hukum adat perlu mendapatkan legitimasi hukum berbentuk Perda, yang bakal diterapkan dan dilaksanakan seluruh masyarakat Kalteng umumnya dan Barsel khususnya,” jelas Lewy.Menurut Lewy, Perda kelembagaan adat tak terlepas dari penerapan denda adat yang kerap dianggap tak sesuai dengan produk hukum positif. Denda adat ini juga sering tak mendapat pengakuan dari pihak selain warga dan masyarakat.
“Dengan usulan menjadi Perda, kelembagaan hukum adat akan punya kekuatan hukum. Khususnya lingkungan hutan yang dijadikan perkebunan atau pertambangan yang tidak mengindahkan aturan adat.”(B-1) Sumber http://www.borneonews.co.id/index.php/news/barito/22432-perda-adat-dayak-dibahas.html
Kasus yang dipilh : Hak
untuk memperoleh standar tertinggi kesehatan fisik dan mental,
termasuk hak untuk kondisi hidup sehat dan tersedia, dapat diakses, dapat
diterima, dan pelayanan kesehatan yang berkualitas; Sesuai dengan Pasal
28 H UUD 1945, Pasal ini mengakui hak hidup sejahtera lahir batin, hak
bertempat tinggal dan hak akan lingkungan hidup yang baik dan sehat, hak
pelayanan kesehatan, hak jaminan sosial, hak milik pribadi.
v JAKARTA, KOMPAS.com — Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyimpulkan
beberapa pelanggaran HAM yang diakibatkan oleh lumpur Lapindo di
Porong-Sidoarjo, Jawa Timur. Hal ini disampaikan Ketua
Komnas HAM Ifdhal Kasim dalam keterangan pers yang diterima Kompas.com, Selasa (14/8/2012).Adapun
beberapa pelanggaran HAM tersebut antara lain hak untuk hidup. Berdasarkan
temuan Komnas HAM, pemerintah gagal untuk memenuhi hak atas standar dan
lingkungan hidup yang layak. "Tercatat pada tanggal 3 Desember 2008, satu
pengungsi bernama Ibu Jumik meninggal karena sakit dan tanpa bantuan, baik dari
pemerintah maupun perusahaan Lapindo Brantas, Inc, sebagai perusahaan yang
bertanggung jawab," ungkap Ifdhal dalam keterangan pers
tersebut.Pelanggaran lainnya adalah dalam hal hak atas informasi. Hal ini
ditekankan pada informasi yang tidak sampai kepada masyarakat terkait proyek
pengeboran yang dilakukan, kemudian hak atas rasa aman terhadap ancaman
jebolnya tanggul penahan lumpur yang sewaktu-waktu dapat menenggelamkan
rumah-rumah penduduk. "Dalam hal ini, pemerintah juga tidak membuat sistem
peringatan dini (early warning system). Ditambah lagi dengan munculnya gelembung-gelembung gas yang
berpotensi menyebabkan kebakaran," tambahnya.Tidak hanya itu, Ifdhal Kasim
menambahkan bahwa bencana lumpur Lapindo di Porong Sidoarjo tersebut juga
menghilangkan hak pengembangan diri, hak atas perumahan, hak atas pangan, hak
atas kesehatan, hak atas pekerjaan, juga hak pendidikan. "Karena bencana
lumpur tersebut, tercatat 2.288 orang berhenti bekerja akibat pabrik-pabrik
tempat mereka bekerja sudah tidak beroperasi. Kemudian ada 1.774 siswa SD, SMP,
SMA, dan pondok pesantren kehilangan tempat belajar karena sekolah mereka
tergenang lumpur," tambah Ifdhal.Komnas HAM juga mencatat, akibat bencana
lumpur tersebut, para korban kehilangan hak kesejahteraan (hak milik) atas
aset-aset mereka yang hilang direnggut lumpur. Hal ini juga berimplikasi
terhadap hilangnya hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan. "Hilangnya
properti membuat korban berhalangan untuk menyalurkan kebutuhan biologis serta
naluri reproduksinya, apalagi di tempat pengungsian tidak ada tempat yang
layak," jelasnya.Komnas HAM juga menyebutkan bahwa dalam konteks bencana
lumpur di Porong Sidoarjo itu, pemerintah ataupun pihak yang bertanggung jawab
juga telah melanggar hak-hak kelompok rentan seperti kaum disabilitas, kelompok
lanjut usia, anak-anak, dan perempuan. Terbukti di lapangan, tidak ada
perlakuan khusus untuk ibu hamil serta tidak ada jaminan keamanan terhadap
anak-anak perempuan dari tindak kekerasan ataupun pelecehan seksual karena
tidak ada pemisahan khusus antara pria dan wanita. "Dengan terlanggarnya
hak-hak para korban lumpur tersebut, maka secara tidak langsung hak mereka
untuk memperoleh jaminan sosial juga tidak dipenuhi sama sekali," kata
Ifdhal.( Sumber : http://nasional.kompas.com/read/2012/08/15/04234381/Lumpur.Lapindo.Sebabkan.Pelanggaran.HAM )
Comments