Kemitraan Indonesia-China : Antara Peluang dan Tantangan
Kemitraan Indonesia-Tiongkok, Antara Peluang dan Tantangan.
Tulisan yang mengajak pembaca untuk melihat lebih dalam dinamika hubungan Indonesia-China sebagai bagian dari upaya membangun wawasan geopolitik yang kritis di era globalisasi.
Kunjungan kenegaraan Presiden Prabowo Subianto ke China pada 8–10 November 2024 menjadi momentum strategis bagi hubungan bilateral kedua negara. Kesepakatan investasi sebesar 10 miliar dolar AS dan program bantuan gizi dari pemerintah China mencerminkan komitmen kedua negara untuk mempererat hubungan di berbagai sektor. Namun, dalam euforia kesepakatan ini, terdapat sejumlah catatan kritis yang perlu menjadi perhatian.
Frasa Komunitas Masa Depan Bersama
Salah satu poin dalam Pernyataan Bersama Republik Rakyat China dan Republik Indonesia menyebutkan frasa "komunitas masa depan bersama sebanyak tujuh kali. Frasa ini, yang menjadi visi global Presiden Xi Jinping, sering diasosiasikan dengan anti-hegemoni Barat dan tatanan dunia baru yang lebih berorientasi pada China.
Meskipun Indonesia memiliki sejarah panjang dalam hubungan bebas aktif, penggunaan frasa ini dapat menimbulkan persepsi bahwa Indonesia mendukung agenda politik tertentu. Padahal, netralitas Indonesia dalam diplomasi global adalah kunci menjaga keseimbangan hubungan dengan kekuatan besar dunia.
Dukungan Penuh terhadap Tiga Prakarsa Global China
Poin lain yang menimbulkan tanda tanya adalah dukungan penuh Indonesia terhadap tiga Prakarsa Global China: Prakarsa Pembangunan Global, Prakarsa Keamanan Global, dan Prakarsa Peradaban Global. Pada KTT G20 Bali 2022, Indonesia menyatakan dukungan terhadap Prakarsa Pembangunan Global namun masih mengamati Prakarsa Keamanan Global.
Kini, dalam Pernyataan Bersama terbaru, dukungan penuh diberikan. Apakah keputusan ini telah melalui konsultasi lintas kementerian terkait, seperti Kementerian Luar Negeri, Kementerian Pertahanan, atau lembaga maritim? Jika tidak, hal ini dapat melemahkan posisi Indonesia sebagai negara yang menganut prinsip politik bebas aktif.
Isu Overlapping Claim di Laut Natuna
Poin paling kontroversial adalah penggunaan istilah "overlapping claims" dalam konteks kerja sama maritim. Istilah ini merujuk pada sengketa Laut China Selatan, termasuk wilayah perairan Natuna. Posisi Indonesia selama ini konsisten sebagai negara non-claimant, yang menolak klaim sepihak China atas perairan Natuna berdasarkan sembilan garis putus-putus.
Penggunaan istilah "overlapping claims" dapat ditafsirkan sebagai pengakuan tidak langsung atas klaim China, yang berpotensi melemahkan posisi diplomasi maritim Indonesia. Kedaulatan Indonesia di perairan Natuna dilindungi oleh Konvensi Hukum Laut PBB 1982, dan setiap pelanggaran terhadap hak maritim Indonesia harus diproses berdasarkan hukum internasional.
Bagaimana Menjaga Keseimbangan Diplomasi ?
Kesepakatan bilateral yang saling menguntungkan antara Indonesia dan China tentu menjadi langkah positif dalam memperkuat hubungan kedua negara.
Namun, pemerintah perlu lebih berhati-hati dalam memilih bahasa diplomasi dan memastikan bahwa setiap keputusan telah melalui kajian lintas institusi yang matang.
Prinsip-prinsip kerja sama seperti "saling menguntungkan," "saling percaya," dan "keadilan dan kejujuran" harus menjadi dasar implementasi nyata, bukan sekadar slogan. Dengan pendekatan yang lebih bijak, Indonesia dapat memanfaatkan kemitraan strategis ini tanpa mengorbankan kedaulatan maupun independensi politik luar negerinya.
---
Sumber tulisan ini berasal dari artikel yang dimuat di Harian Kompas edisi Sabtu, 16 November 2024, Klaus Heinrich Raditio Pengajar Politik China STF Driyarkara, Jakarta Nila Setitik dalam Pernyataan Bersama RI-China , membahas hasil kunjungan kenegaraan Presiden Prabowo Subianto ke China.
Dengan kurs saat ini, kesepakatan investasi 10miliar AS setara 157.780.000.000.000 idr
Jakarta,16 Nov 2024
Saskia UBAIDI ( Pustaka Aristoteles)
Comments