Menghapus Segregasi Politik untuk Memenangkan Pilkada Jakarta 2024

Menghapus Segregasi Politik untuk Memenangkan Pilkada DKI 2024

Pilkada Jakarta 2024 membawa babak baru dalam dinamika politik ibu kota. 

Penyebutan Ahoker dan Anak Abah, identitas yang melekat pada pendukung setia Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan Anies Baswedan kini menjadi bagian dari narasi persatuan yang dibangun untuk mendukung pasangan calon nomor urut 3, Pramono Anung dan Rano Karno. Kedua kubu yang sebelumnya berseberangan ini diklaim bersatu setelah berbagai pertemuan dan deklarasi bersama.

Namun, di balik narasi persatuan ini, terdapat fenomena yang layak dikritisi. Penyatuan kedua kelompok ini kerap dipandang sebagai langkah pragmatis yang lebih banyak mengandalkan pencitraan daripada substansi politik. Identitas Ahoker dan Anak Abah masih terus dipelihara, seolah menjadi simbol rekonsiliasi, padahal pada dasarnya tetap mencerminkan segregasi politik masa lalu.

Politik Merangkul, Tapi Tidak Murni
Strategi merangkul kubu berbeda untuk mendapatkan suara kemenangan jelas merupakan langkah pragmatis. Dalam konteks Pilkada Jakarta, pendekatan ini memungkinkan kandidat mendapatkan legitimasi dari kelompok yang sebelumnya menjadi rival. Namun, proses merangkul ini tidak sepenuhnya murni karena masih memanfaatkan narasi segregasi masa lalu untuk menarik simpati massa.

Penyebutan identitas seperti "Ahoker" dan "Anak Abah" dalam kampanye politik mempertegas loyalitas emosional terhadap figur, bukan visi atau kebijakan. Alih-alih menciptakan persatuan yang benar-benar inklusif, hal ini justru memperkuat eksklusivitas, di mana dukungan diberikan bukan karena inspirasi gagasan, melainkan karena keterikatan terhadap simbol masa lalu.

Menuju Demokrasi yang Berbasis Ide
Untuk memenangkan Pilkada dan menciptakan perubahan nyata, narasi seperti ini perlu dilanjutkan dengan langkah-langkah yang lebih substansial. Demokrasi tidak boleh terus-menerus bergantung pada identitas emosional dan segregasi politik yang dilanggengkan. Sebaliknya, kandidat dan partai pengusung harus mendorong wacana yang berbasis ide dan kebijakan.

Strategi politik yang merangkul harus dilakukan secara otentik, tanpa sekadar mengakomodasi pendukung lama. Dialog terbuka dengan berbagai kelompok masyarakat harus menjadi prioritas, sehingga demokrasi tidak hanya menjadi alat pencitraan, tetapi juga forum aspirasi publik yang sesungguhnya.

Narasi "Ahoker" dan "Anak Abah" memang berhasil menciptakan headline, tetapi untuk menciptakan kemenangan sejati, Pilkada DKI membutuhkan langkah lebih besar menghilangkan segregasi pilihan politik dan menggantinya dengan visi inklusif yang relevan dengan kebutuhan rakyat Jakarta.

Politik merangkul, walau tidak murni, adalah langkah awal. Namun, ke depan, demokrasi harus kembali ke esensinya sebuah proses yang mengutamakan ide, kebijakan, dan aspirasi publik yang genuine ( Kematangan demokrasi ).

Pramono-Rano atau pasangan manapun dapat mengubah dinamika politik pilkada Jakarta menjadi lebih sehat dan konstruktif, membawa demokrasi Indonesia ke arah yang lebih baik.

Jakarta, 22 November 2024
Saskia UBAIDI (Pustaka Aristoteles )



Things to learn 😁 
m
Demokrasi berbasis ide adalah konsep di mana proses demokrasi tidak hanya berfokus pada figur, simbol, atau identitas tertentu, tetapi lebih pada gagasan, visi, dan kebijakan yang diusung oleh kandidat atau partai politik. 

Dalam demokrasi berbasis ide, diskusi dan partisipasi publik diarahkan untuk mengevaluasi dan membahas isi dari program yang ditawarkan, bukan hanya soal loyalitas terhadap individu atau kelompok.

Ciri-ciri Demokrasi Berbasis Ide:
1. Fokus pada Program dan Kebijakan
Kandidat menjelaskan secara rinci kebijakan apa yang akan dilakukan untuk menyelesaikan permasalahan masyarakat, seperti pendidikan, kesehatan, atau ekonomi.
2. Partisipasi Publik yang Substantif
Masyarakat dilibatkan dalam debat kebijakan, sehingga mereka dapat memahami dampak langsung dari visi dan program yang ditawarkan.
3. Minimnya Politik Identitas
Identitas agama, suku, atau loyalitas figur masa lalu tidak menjadi fokus utama. Sebaliknya, ide yang relevan dan inovatiflah yang menjadi daya tarik utama.
4. Evaluasi Berdasarkan Hasil
Pendukung memilih berdasarkan rekam jejak keberhasilan atau kegagalan kebijakan kandidat, bukan hanya atas dasar afiliasi emosional.

Manfaat Demokrasi Berbasis Ide
1.Meningkatkan Kualitas Pemilu
Masyarakat memilih berdasarkan pertimbangan rasional dan informasi yang cukup.
2.Mengurangi Polarisasi
Politik identitas cenderung memperburuk segregasi sosial, sementara politik ide cenderung inklusif.
3.Mengarah pada Kebijakan yang Efektif
Kandidat dengan ide yang jelas akan lebih siap menghadapi tantangan nyata saat memimpin.

Tantangan Menuju Demokrasi Berbasis Ide
1.Pendidikan Politik
Masyarakat perlu diberi pemahaman lebih dalam tentang pentingnya kebijakan dan visi dibandingkan figur.
2.Media yang Netral
Media harus mendorong diskusi kebijakan alih-alih hanya menyoroti drama politik atau konflik antarfigur.
3.Komitmen Kandidat
Para kandidat harus bersedia membuka ruang dialog untuk membahas ide-ide mereka dengan publik secara terbuka.

Demokrasi berbasis ide bukan hanya tentang siapa yang paling populer, tetapi tentang siapa yang memiliki gagasan terbaik untuk membawa masyarakat ke arah yang lebih baik. Di sinilah esensi demokrasi yang sebenarnyasuara rakyat digunakan untuk memilih ide yang paling sesuai dengan kebutuhan mereka.

Konsep demokrasi berbasis ide menekankan pentingnya gagasan, visi, dan kebijakan dalam proses demokrasi, dibandingkan dengan fokus pada figur atau identitas tertentu. Beberapa ahli telah membahas pentingnya pendekatan ini dalam memperkuat kualitas demokrasi:

1. Jürgen Habermas
 Filsuf Jerman ini memperkenalkan konsep demokrasi deliberatif, yang menekankan pentingnya diskusi rasional dan partisipasi publik dalam pengambilan keputusan politik. Menurut Habermas, legitimasi kebijakan publik harus berasal dari proses deliberasi yang melibatkan berbagai ide dan argumen, bukan sekadar dari otoritas atau mayoritas suara. 

2. Amy Gutmann dan Dennis Thompson
Dalam karya mereka, Gutmann dan Thompson menekankan bahwa demokrasi yang sehat harus didasarkan pada alasan yang dapat diterima secara timbal balik oleh semua pihak. Mereka menyoroti pentingnya deliberasi publik yang berfokus pada pertukaran ide dan argumen yang rasional.

3. Joshua Cohen
 Cohen mengembangkan teori demokrasi deliberatif yang menekankan bahwa proses demokrasi harus melibatkan diskusi yang didasarkan pada alasan yang dapat diterima oleh semua peserta. Ia menekankan pentingnya inklusivitas dan partisipasi aktif dalam proses demokrasi.

( Pustaka Aristoteles)

Comments

Popular posts from this blog

Jalur Pendidikan HBS - Hogereburgerschool

Kampung Arab Pekojan

Tjakrabirawa di malam kelam 1 Oktober 1965