Cuan Besar di Pasar Politik




Demokrasi seharusnya menjadi sistem yang menempatkan kepentingan rakyat di atas segalanya. Namun, kenyataan politik di Indonesia menunjukkan bahwa sistem ini semakin tergerus oleh praktik transaksional, terutama dengan semakin mahalnya biaya politik. Berdasarkan laporan dari Indonesia Corruption Watch (ICW), biaya yang dibutuhkan untuk menjadi anggota DPR bisa mencapai Rp 80 miliar. Angka ini menciptakan ketergantungan pada modal besar, yang sering kali berasal dari pihak-pihak yang memiliki kepentingan ekonomi. Hal ini mengancam kualitas demokrasi kita.

Tingginya Biaya Politik dan Demokrasi Transaksional

Ketika biaya politik menjadi sangat tinggi, politisi terpaksa mencari dukungan dari kalangan bisnis atau pemodal besar untuk mendanai kampanye mereka. Kajian dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) juga mengungkapkan bahwa dana kampanye yang mahal mendorong penggunaan sumber-sumber dana yang tidak sah, membuka ruang bagi praktik demokrasi transaksional. Dalam kondisi ini, politik berubah menjadi arena transaksi antara politisi dan pemodal, di mana keputusan politik lebih diarahkan untuk mempertahankan atau mengakumulasi kekayaan, bukan memperjuangkan kepentingan publik.

Sebagai contoh, banyak kebijakan yang dihasilkan lebih menguntungkan segelintir elite dibandingkan dengan masyarakat luas. Hal ini menciptakan apa yang disebut sebagai perburuan rente, di mana fungsi-fungsi publik seperti legislasi tidak lagi digunakan untuk kemaslahatan rakyat, melainkan untuk keuntungan pribadi.

Kartelisasi Politik dan Risiko Kolusi

Selain itu, biaya politik yang tinggi turut memicu munculnya kartelisasi politik. Buku Democracy for Sale karya Edward Aspinall dan Ward Berenschot mengungkapkan bagaimana politik uang dan clientelism menjadi fenomena yang semakin mengakar di Indonesia. Dengan adanya kartelisasi, hanya segelintir elite politik yang mampu bersaing, sehingga kompetisi politik menjadi tertutup dan terpusat pada kepentingan segelintir orang. Situasi ini memperbesar potensi konflik kepentingan, memicu kolusi, dan pada akhirnya korupsi.

Kartelisasi ini jelas merugikan kepentingan publik, karena kekuasaan tidak lagi berada di tangan rakyat, melainkan di tangan mereka yang memiliki akses terhadap modal besar. Politisi yang terpilih pun tidak bebas dalam mengambil keputusan yang berpihak pada rakyat, melainkan terikat oleh kepentingan pihak-pihak yang mendanai kampanye mereka.

Langkah untuk Memperbaiki Sistem

Untuk memperbaiki kondisi ini, diperlukan reformasi yang mendalam terhadap sistem pendanaan politik di Indonesia. Pertama, harus ada transparansi yang lebih besar mengenai sumber dana kampanye, serta pengawasan yang lebih ketat untuk memastikan bahwa dana yang digunakan berasal dari sumber yang sah. Kedua, upaya untuk menekan biaya politik perlu diperkuat, sehingga tidak hanya mereka yang memiliki modal besar yang bisa bersaing dalam pemilihan umum.

Demokrasi kita harus kembali pada hakikatnya sebagai alat untuk memperjuangkan kepentingan rakyat, bukan sarana untuk memperkaya diri atau kelompok tertentu.

Indonesia tidak boleh jatuh dalam perangkap demokrasi transaksional. Jika praktik ini dibiarkan terus berlanjut, maka masa depan demokrasi kita akan semakin suram, dan rakyat yang seharusnya menjadi subjek utama dalam sistem ini justru akan semakin terpinggirkan.

Kapan bangsa kita bisa menjadi dewasa dalam demokrasi? Jawabannya ada pada perubahan mentalitas yang mendasar. Demokrasi yang matang tidak hanya soal mekanisme pemilu atau institusi, tapi juga soal mental bangsa yang harus berubah. 

Kita harus meninggalkan mentalitas politik yang hanya mencari keuntungan pribadi atau golongan. Politisi dan rakyat sama-sama harus menanamkan kesadaran bahwa demokrasi adalah tanggung jawab bersama, bukan sekadar alat untuk mencapai kekuasaan.

"It takes two to tango" negara dan rakyat harus berkolaborasi dalam mewujudkan demokrasi yang berfungsi untuk semua. 

Negara harus berkomitmen untuk membangun sistem yang lebih bersih, transparan, dan berintegritas, sementara rakyat harus lebih kritis dan terlibat aktif. 

Dengan demikian, kita dapat melangkah bersama menuju demokrasi yang dewasa dan berkeadilan, di mana kekuasaan dijalankan untuk kemaslahatan bersama, bukan segelintir elite.

Jakarta, 4 Oktober 2024
Saskia Ubaidi
Pustaka Aristoteles



Comments

Popular posts from this blog

Jalur Pendidikan HBS - Hogereburgerschool

Kampung Arab Pekojan

Tjakrabirawa di malam kelam 1 Oktober 1965