Kepergian Ray Dalio dan Sindiran terhadap Wajah Asli Tata Kelola Danantara


Kepergian Ray Dalio dan Sindiran terhadap Wajah Asli Tata Kelola Danantara
(Analisa Opini)

Kabar mundurnya Ray Dalio dari Dewan Penasihat Danantara menyibak satu ironi besar dalam proyek ambisius Indonesia membangun kepercayaan investor lewat simbol global. Bukannya memperkuat legitimasi Danantara, Kehadiran Dalio justru menjadi pengingat pahit bahwa reputasi sebesar apa pun tak akan mampu menutupi lemahnya sistem, dan meritokrasi sejati tidak bisa dibangun hanya lewat pencitraan.

Ketika Bloomberg merilis kabar bahwa Dalio memilih hengkang, publik dikejutkan bukan hanya oleh keputusannya, melainkan oleh cara diam yang menyertainya. Dalio tak memberi pernyataan resmi, namun justru mengunggah prinsip: “Don’t use your pull to get someone a job” sebuah sindiran keras terhadap praktik titip-menitip jabatan. 

Dalam politik simbolik Ernesto Laclau, Dalio sempat berperan sebagai empty signifier untuk menarik dukungan dan membangun legitimasi Danantara. Namun ketika simbol tak lagi menopang substansi, ia melepaskan diri membiarkan kekosongan itu berbicara sendiri.

Respons CEO Danantara, Rosan Roeslani, yang buru-buru menyangkal kabar mundurnya Dalio tanpa bukti konkret, justru menguatkan asumsi publik akan buruknya komunikasi dan transparansi di dalam lembaga tersebut. Narasi resmi terkesan defensif dan cenderung menyangkal realitas, tanda klasik krisis kredibilitas dalam institusi yang belum matang secara kelembagaan.

Komentar pengamat ekonomi seperti Syafruddin Karimi dan Bhima Yudhistira semakin memperjelas bahwa persoalannya bukan hanya soal siapa yang keluar, melainkan mengapa tata kelola dibiarkan longgar sejak awal. Ketika lembaga sekelas Danantara dibentuk untuk mengelola aset ratusan triliun demi masa depan investasi Indonesia, tetapi masih berkutat pada penempatan simbol, “orang dekat,” atau popularitas, maka seluruh kerangka pembangunannya sedang rapuh dari pondasi.

Danantara semestinya menjadi jangkar kepercayaan jangka panjang. Tetapi jangkar tidak bisa dibangun dari nama besar yang digantungkan sebatas iklan peluncuran. Ia hanya kuat bila ditambatkan pada sistem yang menolak intervensi, menjunjung profesionalisme, dan merekrut berdasarkan kapabilitas, bukan koneksi.

Ray Dalio tidak sedang sekadar mundur. Ia sedang memberikan pelajaran, bahwa reputasi global tak bisa dibeli dengan kursi penasihat, dan kepercayaan pasar dibangun dari nilai-nilai yang dijalankan, bukan yang dideklarasikan.

Jika Indonesia ingin Danantara bertahan lebih dari sekadar periode politik saat ini, maka pelajaran Dalio harus dijadikan refleksi menyeluruh. Meritokrasi bukan jargon,  ia adalah fondasi. Dan tanpa fondasi itu, kita hanya sedang membangun istana investasi di atas pasir.

Ditulis oleh Saskia Ubaidi, berdasarkan analisis terhadap laporan Harian Kompas edisi pagi 2 Juni 2025 : Ray Dalio, Danantara, dan Sindiran tentang Meritokrasi


Comments

Popular posts from this blog

Jalur Pendidikan HBS - Hogereburgerschool

Kampung Arab Pekojan

Tjakrabirawa di malam kelam 1 Oktober 1965