Noice bagi mereka
Noice bagi mereka
Oleh: Saskia Ubaidi
Ada yang ganjil dalam demokrasi kita hari ini. Ketika mahasiswa, pilar moral publik dan warisan dari semangat reformasi turun ke jalan memperingati Tragedi Trisakti dan Hari Buruh Internasional, mereka bukan hanya dibungkam, tapi ditetapkan sebagai tersangka. Dua puluh nama, dua puluh suara muda, dipaksa masuk ke dalam logika hukum yang terlalu sempit untuk memahami maksud dari kebebasan berekspresi.
Pertanyaannya, apakah negara ini benar-benar terbuka pada kritik? Ataukah hanya terbuka pada kritik yang sudah diatur, dijinakkan, dan ditata supaya tidak terlalu mengguncang fondasi kekuasaan?
Unjuk rasa mahasiswa Trisakti, yang seharusnya menjadi momen reflektif memperingati gugurnya rekan-rekan mereka pada 12 Mei 1998, justru berakhir dengan penetapan tersangka. Ironis, karena reformasi yang mereka perjuangkan dulu justru lahir dari keberanian mahasiswa untuk mengkritik kekuasaan yang otoriter. Kini, ketika generasi baru mencoba melakukan hal yang sama dengan cara mereka sendiri alih-alih mereka malah dilabeli sebagai pelanggar hukum.
Dalam kasus Faiz Nabawi dan kawan-kawannya, label “tersangka” itu seolah dipasang terlalu cepat, terlalu mudah, dan terlalu kasar. Bahkan restorative justice pun terasa seperti jalan kompromi karena negara seolah tidak ingin malu jika kasus ini benar-benar dibuka di ruang sidang. Negara lebih memilih meredam ketegangan dengan jalan damai yang semu, bukan dengan refleksi institusional atas kekerasan dan kesewenang-wenangan.
Yang lebih menyakitkan, kasus Cho Yong Gi menunjukkan bagaimana paramedis yang bertugas menolong korban justru dituduh sebagai pelaku. Alih-alih diberi perlindungan sebagai relawan kemanusiaan, dia dituduh melempar petugas dan mengalami kekerasan fisik saat ditangkap. Ia bahkan dipaksa menandatangani dokumen yang tidak mencerminkan pernyataan aslinya dalam kondisi fisik lemah. Ini bukan sekadar kesalahan prosedur. Ini adalah bentuk pembungkaman.
Pasal 216 dan 218 KUHP yang digunakan, karena dianggap “tidak mematuhi perintah petugas”, sering menjadi pasal karet untuk mengkriminalisasi unjuk rasa damai. Bukankah mahasiswa turun ke jalan bukan untuk menghina, melawan hukum, apalagi merusak? Mereka turun karena ada sesuatu yang tidak beres. Sesuatu yang hanya bisa dibongkar dengan menyuarakan kebenaran, bukan dengan diam.
Kalau negara menganggap unjuk rasa adalah ancaman, maka sesungguhnya negara sedang menunjukkan ketakutannya sendiri. Negara takut pada kritik, takut pada generasi muda yang cerdas dan peduli, dan takut pada gagasan alternatif yang tidak berasal dari lingkar kekuasaan.
Dan yang lebih menyedihkan, ini bukan demo yang dibuat-buat. Ini bukan “simulasi demokrasi” agar publik merasa semuanya baik-baik saja. Ini gerakan otentik, suara nurani dari bawah. Kalau pun ada kericuhan, kita mesti bertanya: siapa yang memulainya? Apakah benar mahasiswa, atau justru karena cara aparat menangani unjuk rasa dengan pendekatan represif?
Kini, wajah demokrasi kita dipertaruhkan. Jika suara mahasiswa saja dibungkam, siapa lagi yang berani bersuara? Kalau menyampaikan aspirasi dianggap kriminal, maka kita sedang masuk ke masa di mana hukum bukan lagi pelindung rakyat, tapi pagar tembok kekuasaan.
Negara tidak boleh alergi pada kritik. Kritik adalah vitamin demokrasi, bukan virus yang harus disingkirkan. Dan mahasiswa, dengan segala idealismenya, adalah penjaga terakhir dari suara nurani bangsa Bukan noise bagi mereka.
Disclaimer
Opini ini saya tulis setelah membaca Kompas, 5 Juni 2025. Saya ingin mengajak kita berpikir, dalam negara demokratis, siapa yang seharusnya jadi korban yang bersuara tapi dibungkam, atau yang berkuasa tapi alergi dikritik?
Comments