Nietzsche, Rousseau, Marx. Formula Tan Malaka

Saya tertarik menulis ini sebagai catatan bukan semata untuk mengulas pemikiran Tan Malaka, tetapi juga sebagai bagian dari proses pembelajaran saya sendiri. Mencoba memahami bagaimana seorang pemikir revolusioner Indonesia membaca, merangkai, dan menyintesis gagasan dari Nietzsche, Rousseau, hingga Marx dan Engels. 

Sebuah  perjalanan intelektual yang menantang sekaligus mencerahkan. Saya menulis Ini bukan dalam ranah kajian akademik, melainkan upaya pribadi untuk menyelami bagaimana dialektika menjadi alat berpikir dan bertindak bagi Tan Malaka dalam merumuskan jalan pembebasan.
.
.
.
Dalam semesta pemikiran revolusioner Indonesia, nama Tan Malaka menjulang sebagai tokoh yang tidak hanya bergerak di medan politik, tetapi juga di ruang filsafat dan ideologi. 

Salah satu pernyataannya yang menggugah adalah saat ia menyebut Nietzsche sebagai tesis, Rousseau sebagai antitesis, dan Marx-Engels sebagai sintesis. Ini bukan sekadar kutipan indah, tetapi refleksi dari cara Tan Malaka menyusun pemikirannya dalam kerangka dialektika.

Apa Itu Dialektika?

Dialektika adalah metode berpikir yang merunut perkembangan ide dari kontradiksi. 

Dalam tradisi Hegelian:
 • Tesis adalah ide awal atau posisi dominan.
 • Antitesis adalah lawan atau penyanggah dari tesis.
 • Sintesis adalah hasil benturan keduanya, yaitu posisi baru yang lebih tinggi dan menyeluruh.

Tan Malaka mengadopsi cara berpikir ini untuk menyaring dan menyintesis pemikiran besar dari dunia Barat, lalu menggunakannya untuk membangun arah perjuangan bangsa tertindas.

Nietzsche: Tesis tentang Pembebasan Diri

Bagi Tan Malaka, Friedrich Nietzsche adalah simbol kebangkitan manusia dari belenggu moralitas konvensional, agama yang dogmatis, dan budaya kepatuhan buta.

Nietzsche menolak sistem nilai yang melemahkan manusia, dan memanggil lahirnya Übermensch, manusia unggul yang mencipta nilai-nilainya sendiri. Di mata Tan, ini adalah kekuatan pembebasan: melawan takdir yang dibuat oleh penjajah, feodalis, dan pemilik modal.

Tapi pembebasan semacam ini bisa menjadi egoistik atau nihilistik jika tidak dikaitkan dengan keadilan sosial. Di sinilah Rousseau hadir.

Rousseau : Antitesis tentang Kemanusiaan dan Kesetaraan

Jean-Jacques Rousseau mewakili suara kerinduan terhadap kealamian manusia yang telah dirusak oleh peradaban dan kepemilikan. Ia mengusung ide kontrak sosial” yang menekankan bahwa kekuasaan harus lahir dari kehendak umum (volonté générale), bukan dari dominasi segelintir orang.

Di tangan Rousseau, keadilan tidak bersumber dari kekuatan, tapi dari kesepakatan bersama untuk hidup bermartabat.

Bagi Tan Malaka, Rousseau menjadi penyeimbang atas kehendak individual. Bagi Nietzsche manusia memang harus bebas, tapi kebebasan itu tidak sahih jika berdiri di atas penderitaan sesamanya.

Namun, idealisme Rousseau pun dianggap terlalu melangit jika tak disertai metode konkret untuk melawan ketidakadilan struktural.

Marx-Engels: Sintesis Revolusioner

Lalu Tan Malaka bertemu Karl Marx dan Friedrich Engels, dan di sanalah ia menemukan sintesis yang memadukan kebebasan individu dan keadilan sosial dalam analisis yang material dan ilmiah.

Marx menyusun teori tentang kelas sosial, eksploitasi tenaga kerja, dan nilai lebih (surplus value) dalam kapitalisme.

Engels menekankan pentingnya organisasi kelas pekerja, dan bersama Marx, menyerukan revolusi proletariat sebagai jalan menuju masyarakat tanpa kelas.

Di titik ini, Tan Malaka melihat: inilah jalan revolusi yang dapat membebaskan manusia secara pribadi sekaligus sosial

Pengetahuan yang Membebaskan

Dalam karya-karyanya seperti Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika), Tan Malaka terus mengajak pembacanya berpikir bebas, kritis, dan tidak dogmatis. 

Ia menyusun jalan berpikir yang menolak takhayul dan menjunjung ilmu, dengan landasan dialektika sebagai alat analisis.

Ia tidak menjadikan Nietzsche, Rousseau, atau Marx sebagai “guru” yang harus diikuti secara membuta. Sebaliknya, ia menggabungkan ketiganya dalam suatu pemikiran sintetis yang khas, orisinal, dan kontekstual dengan perjuangan bangsa Indonesia.

Dari Pemikiran ke Perlawanan
Pemikiran Tan Malaka tidak berhenti di ruang kuliah atau buku. Ia bergerak bersama massa, merancang kemerdekaan, dan bermimpi tentang Indonesia yang bebas dari kebodohan, kemiskinan, dan penindasan.

Maka memahami cara berpikir Tan Malaka dengan Nietzsche sebagai semangat pembebasan, Rousseau sebagai kompas moral, dan Marx-Engels sebagai strategi sosial-ekonomi bukan sekadar nostalgia intelektual, tapi bisa menjadi bahan bakar untuk membangun gerakan sadar hari ini.

Jika pemikiran adalah senjata, maka Tan Malaka menajamkannya melalui dialektika sejarah.


Comments

Popular posts from this blog

Jalur Pendidikan HBS - Hogereburgerschool

Kampung Arab Pekojan

Tjakrabirawa di malam kelam 1 Oktober 1965