Paradoks Nikel di Raja Ampat

Paradoks Nikel di Raja Ampat
Oleh: Saskia Ubaidi

Selama lebih dari dua dekade, Raja Ampat dikenal dunia sebagai surga biodiversitas laut dan model konservasi berbasis komunitas. Lautnya jernih, terumbu karangnya utuh, dan hutan-hutan karstnya relatif lestari. Namun narasi ini kini terancam oleh realitas baru yang muncul diam-diam yaitu ekspansi industri tambang nikel.

Pulau Gag, salah satu bagian dari gugusan Raja Ampat, telah berubah menjadi zona industri. Sejak diberikannya izin produksi kepada PT Gag Nikel, anak usaha PT Antam Tbk pada 2017, aktivitas tambang mulai berlangsung secara penuh pada 2018. Dalam lima tahun terakhir, lebih dari 500 hektar hutan tropis telah hilang akibat pembukaan lahan tambang, sebagaimana dicatat dalam laporan Greenpeace Indonesia (2024).

Ironi ini bukan hanya milik Raja Ampat, melainkan refleksi dari dilema yang lebih besar yaitu bagaimana sebuah negara seperti Indonesia harus menyeimbangkan ambisi transisi energi dengan pelestarian ekosistem yang tak tergantikan?

Nikel kini disebut sebagai “emas baru” dalam ekonomi hijau. Indonesia menjadi produsen nikel terbesar dunia dan pemerintah mendorong hilirisasi untuk mendukung produksi baterai kendaraan listrik. Narasi ini terdengar menjanjikan, menyelamatkan dunia dari krisis iklim sekaligus membawa pertumbuhan ekonomi nasional.

Namun transisi energi yang hanya dilihat dari sisi teknologis kerap mengabaikan dimensi ekologis dan sosial. Di Raja Ampat, masyarakat adat kehilangan akses terhadap tanah ulayat. Laut yang dulu menjadi sumber hidup perlahan tercemar oleh limbah. Komunitas yang sebelumnya hidup dari pariwisata dan perikanan tradisional mulai mengalami kerentanan baru. Mereka yang terdampak paling awal justru kerap tak memiliki posisi tawar dalam proses pengambilan keputusan.

Pemerintah memang sempat menghentikan sementara operasi tambang di Pulau Gag pada Mei 2025. Evaluasi izin dan dokumen AMDAL sedang berlangsung. Namun penghentian ini bersifat administratif, bukan pergeseran paradigma. Belum ada jaminan bahwa kawasan tersebut akan sepenuhnya dibebaskan dari aktivitas ekstraktif di masa depan.

Pembangunan tidak semestinya menjadikan masyarakat lokal sebagai objek pasif. Dalam konteks Raja Ampat, warga tidak menolak pembangunan secara mutlak. Yang mereka tolak adalah pembangunan yang menyingkirkan mereka dari tanahnya sendiri.

Ketika pembangunan dilakukan dengan pendekatan sektoral, tanpa konsultasi yang berarti, tanpa pengakuan terhadap struktur sosial-budaya lokal, maka konflik tak terhindarkan. Konflik yang muncul bukan selalu dalam bentuk demonstrasi, tetapi dalam ketidakpercayaan, pembelahan sosial, dan hilangnya kontrol masyarakat terhadap nasib mereka sendiri.

Kebijakan pembangunan semestinya bukan sekadar proyek fisik. Ia adalah soal siapa yang punya hak untuk menentukan masa depan ruang hidupnya. Dalam logika ini, pembangunan tambang di kawasan seperti Raja Ampat tidak bisa hanya diukur dari nilai investasi dan volume ekspor, tetapi juga dari dampaknya terhadap integritas ekologis dan keutuhan komunitas adat.

Kasus Raja Ampat mengajarkan kita pentingnya prinsip keadilan ekologis dalam setiap kebijakan pembangunan, termasuk dalam proyek transisi energi. Keadilan ekologis bukan hanya soal distribusi manfaat dan risiko, tetapi juga soal pengakuan atas hak dan peran komunitas yang selama ini menjaga ekosistem tersebut.

Jika kawasan seunik dan seikonik Raja Ampat saja tidak bisa bebas dari tekanan industri, maka hal ini menunjukkan bahwa agenda pelestarian kita masih sangat rapuh. Apalagi jika narasi “hijau” justru menjadi pembungkus baru dari model eksploitasi lama.

Sudah waktunya pemerintah dan publik bertanya ulang, transisi ke energi bersih itu untuk siapa, dan dengan cara siapa? Jangan sampai, dalam upaya menyelamatkan planet dari krisis iklim, kita justru mengorbankan ruang hidup yang selama ini menjadi pertahanan terakhir dari krisis itu sendiri.

Daftar Pustaka
 1. Conservation International (2010). Bird’s Head Seascape: Biodiversity Report.
 2. PT Antam Tbk. (2017). Annual Report: Izin Operasi PT Gag Nikel.
 3. Greenpeace Indonesia. (2024). Jejak Tambang di Tanah Surga: Investigasi Pulau Gag.
 4. The Guardian. (2023). “The Hidden Cost of Indonesia’s Nickel Boom.”
 5. Kementerian ESDM. (2025). Pernyataan Resmi Penghentian Operasi PT Gag Nikel, Mei 2025.



Comments

Popular posts from this blog

Jalur Pendidikan HBS - Hogereburgerschool

Kampung Arab Pekojan

Tjakrabirawa di malam kelam 1 Oktober 1965