Membongkar Ulang Narasi Fadli Zon tentang Tragedi Mei 1998
Membongkar Ulang Narasi Fadli Zon tentang Tragedi Mei 1998
Pernyataan Fadli Zon yang kembali meragukan adanya pemerkosaan massal dalam kerusuhan Mei 1998 bukan hanya menunjukkan kelalaian etis, melainkan juga upaya sistematis dalam mendistorsi sejarah.
Dalam wawancara dengan IDN Times (10 Juni 2025), ia secara terang-terangan menyebut kekerasan seksual tersebut sebagai “cerita” tanpa bukti—narasi yang sudah berulang ia lontarkan sejak 1998.¹
Namun, klaim Fadli tidak berdiri di atas dasar yang kokoh. Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) secara resmi mendokumentasikan 52 kasus pemerkosaan, dengan bukti dari perawat, psikiater, rohaniawan, dan saksi lapangan.² Bahkan Tim Relawan untuk Kemanusiaan mencatat angka yang lebih besar: 156 kasus.³ Dalam konteks kekacauan dan trauma pasca-kerusuhan, angka ini bukan saja signifikan, tetapi menjadi pengingat bahwa pelanggaran HAM berat itu nyata.
Ironisnya, Fadli Zon menggunakan kerangka berpikir yang cacat secara logika dan bermasalah secara moral. Ia menuntut bukti medis sebagai satu-satunya validasi, padahal budaya malu dan rasa takut telah lama menjadi penghalang utama pelaporan kekerasan seksual.⁴ Ia juga menyematkan narasi sektarian ke isu ini, menyebutnya sebagai propaganda anti-Islam seolah-olah keadilan korban bergantung pada identitas pelaku.⁵
Lebih jauh, penolakan Fadli terhadap kesaksian rohaniawan dan psikolog bertentangan dengan prinsip dasar psikologi forensik, yang mengakui pentingnya bukti testimonial dalam kasus trauma berat.⁶
Sikap revisionis seperti ini menggambarkan apa yang Michel Foucault sebut sebagai “Disiplin narasi sejarah” oleh mereka yang memegang kekuasaan.⁷
Ketika politisi senior seperti Fadli menguasai akses ke media dan lembaga formal, narasi yang ia bangun punya efek besar dalam membentuk ingatan kolektif bangsa.
Fadli bahkan menyatakan bahwa dokumentasi visual kekerasan seksual adalah hasil manipulasi, mengabaikan kenyataan bahwa banyak kasus terjadi dalam situasi brutal, spontan, dan tanpa saksi yang terdokumentasi.⁸ Pernyataan ini bukan hanya menyesatkan, tetapi memperparah luka kolektif yang belum sembuh.
Jika Indonesia serius ingin menyembuhkan diri, maka suara korban harus lebih diutamakan daripada suara elite politik yang mengedepankan kepentingan citra dan ideologinya. Sejarah tidak boleh menjadi alat politik, ia harus menjadi cermin moral.
Catatan Kaki:
1. Fadli Zon, Politik Huru-Hara Mei 1998, Penerbit Didi Noya, 2004.
2. Laporan Akhir TGPF Mei 1998, Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1998.
3. Laporan Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRuK), dipimpin Romo Sandyawan Sumardi, 1999.
4. Ariel Heryanto, “Rape, Race and Reporting” dalam Reformasi: Crisis and Change in Indonesia, 2001.
5. Komnas Perempuan, Pemantauan dan Analisis Kasus Kekerasan Seksual 1998, 2003.
6. Amnesty International & Human Rights Watch, Indonesia: Justice Denied on May Riots, 1999.
7. Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings, 1972–1977.
8. Jurnal Perempuan, “Tubuh Perempuan Tionghoa dan Kekerasan Seksual Mei 1998”, 2008.
II. Wawancara dengan jurnalis Adam Schwarz pada 3 September 1998
Pernyataan Fadli Zon yang kembali mempertanyakan keberadaan pemerkosaan massal dalam kerusuhan Mei 1998 menyisakan sebuah pertanya besar. Mengapa seorang politisi senior masih bersikeras menyebut tragedi itu sebagai “propaganda untuk menjatuhkan Muslim”? Bukankah para korban itu nyata? Bukankah luka-luka itu belum sembuh?
Dalam wawancara dengan jurnalis Adam Schwarz pada 3 September 1998, tidak lama setelah kerusuhan besar terjadi, Fadli Zon yang kala itu merupakan tokoh muda aktif di Partai Bulan Bintang (PBB) dan Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam (KISDI) dengan tegas menyatakan:
“Tidak ada pemerkosaan. Semua itu hanyalah propaganda untuk menjatuhkan Muslim.”
( Adam Schwarz, A Nation in Waiting: Indonesia’s Search for Stability (hlm. 401–403, Westview Press, 1999)
Schwarz juga mencatat bahwa pihak Fadli menuding kelompok Tionghoa menyebarkan laporan palsu tentang pemerkosaan sebagai bagian dari agenda internasional untuk melemahkan posisi umat Islam dan menjatuhkan Presiden B.J. Habibie.
Pernyataan tersebut bukan rumor media lokal, melainkan hasil kutipan langsung dari wawancara yang dilakukan oleh penulis independen internasional.
III. Narasi yang Mengaburkan Luka
Kerusuhan Mei 1998 bukanlah sekadar letupan amarah rakyat. Ia lahir dari akumulasi ketimpangan ekonomi, diskriminasi rasial, dan krisis legitimasi politik menjelang kejatuhan Orde Baru. Dalam kekacauan itu, tubuh perempuan Tionghoa dijadikan medan penghukuman, bentuk kekerasan simbolik dan struktural yang sangat brutal.
Namun ketika Fadli Zon—yang kini menjabat Menteri Kebudayaan—menyebut bahwa isu pemerkosaan massal adalah bagian dari propaganda politik anti-Islam, ia tidak sedang mengomentari data, tetapi sedang membingkai ulang sejarah agar selaras dengan narasi identitas politik yang ia bangun sejak lama: bahwa umat Islam adalah korban, bukan pelaku, dan bahwa setiap kritik terhadap mayoritas harus ditolak sebagai serangan politik.
IV. Sejarah sebagai Ruang Perebutan Makna
Cara berpikir seperti Fadli Zon seperti mengingatkan kita sejarah bukan lagi medan pencarian kebenaran objektif, melainkan arena perebutan makna dan produksi identitas politik.
Perspektif ini selaras dengan pemikiran Michel Foucault, yang menolak anggapan bahwa sejarah adalah susunan fakta-fakta netral. Bagi Foucault, kebenaran tidak berdiri sendiri; ia diproduksi melalui relasi kuasa, dan bergantung pada siapa yang punya otoritas untuk menyatakan “apa yang benar”.¹
“Kebenaran bukanlah sesuatu yang berada di luar kekuasaan… ia merupakan sesuatu yang diproduksi oleh institusi, norma, dan mekanisme kekuasaan.”
( Michel Foucault, “Truth and Power”, 1980² )
Ketika Fadli Zon menyebut pemerkosaan massal 1998 sebagai “propaganda untuk menjatuhkan Muslim”, ia tidak sedang sekadar membantah data, melainkan sedang membingkai ulang narasi sejarah agar selaras dengan proyek identitas politik yang ia usung bahwa umat Islam adalah korban utama sejarah, bukan pelaku kekerasan. Dalam kerangka Foucault, ini adalah bentuk dari apa yang disebut sebagai “regime of truth” yakni sistem wacana yang menentukan versi mana dari sejarah yang layak dianggap benar, dan versi mana yang harus disingkirkan.
Lebih jauh lagi, dalam teori wacana Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe, sejarah dan identitas nasional bukan entitas final atau tetap. Mereka selalu merupakan hasil dari hegemonic struggle perebutan makna antara berbagai kelompok untuk menentukan siapa yang berhak mewakili “rakyat”, dan versi masa lalu mana yang akan diwariskan sebagai narasi kolektif.³
Dalam konteks ini, mengakui bahwa pemerkosaan massal benar-benar terjadi dalam kerusuhan Mei 1998 berarti:
- Membuka ruang bagi pengakuan terhadap subjek-subjek yang disingkirkan, seperti perempuan, korban kekerasan seksual, warga keturunan Tionghoa, dan para penyintas kekerasan negara
- Menggugat posisi moral kelompok mayoritas yang selama ini diklaim sebagai representasi utama rakyat
- Menggangu narasi hegemonik yang menyederhanakan sejarah sebagai perjuangan satu identitas kolektif yang bersih dari kesalahan.
Bagi banyak elite konservatif, ini adalah wilayah yang sangat berisiko secara politis. Maka, lebih aman untuk membungkus ulang sejarah dengan menyebut korban sebagai “fitnah”, meragukan kesaksian penyintas, dan memindahkan empati publik dari korban ke identitas dominan.
Fadli Zon tentu bukan satu-satunya tokoh yang memegang cara pandang seperti ini. Namun, posisinya sebagai pejabat negara, bahkan sebagai Menteri Kebudayaan, menjadikan pernyataannya jauh lebih berbahaya. Sebab di tangannya, sejarah tidak lagi berfungsi sebagai cermin kritis bangsa, tetapi berubah menjadi alat legitimasi politik untuk melanggengkan narasi identitas yang tertutup terhadap kritik dan kebhinekaan.
Catatan Teori:
1. Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings 1972–1977, Pantheon Books, 1980.
2. Michel Foucault, “Truth and Power”, dalam Power/Knowledge, hlm. 131–133.
3. Ernesto Laclau & Chantal Mouffe, Hegemony and Socialist Strategy, Verso, 1985.
4. Chantal Mouffe, The Democratic Paradox, Verso, 2000.
Sumber Referensi:
1. Adam Schwarz, A Nation in Waiting: Indonesia’s Search for Stability, Westview Press, 1999, hlm. 401–403.
2. Historia.id, “Sikap Fadli Zon soal Kekerasan Seksual dalam Kerusuhan Mei 1998,” 19 Juni 2025.
3. Laporan TGPF Kerusuhan Mei 1998, Sekretariat Negara RI.
4. Komnas Perempuan, Pemantauan Kekerasan Seksual Mei 1998, 2003.
Comments