Posts

Nietzsche, Rousseau, Marx. Formula Tan Malaka

Image
Saya tertarik menulis ini sebagai catatan bukan semata untuk mengulas pemikiran Tan Malaka, tetapi juga sebagai bagian dari proses pembelajaran saya sendiri. Mencoba memahami bagaimana seorang pemikir revolusioner Indonesia membaca, merangkai, dan menyintesis gagasan dari Nietzsche, Rousseau, hingga Marx dan Engels.  Sebuah  perjalanan intelektual yang menantang sekaligus mencerahkan. Saya menulis Ini bukan dalam ranah kajian akademik, melainkan upaya pribadi untuk menyelami bagaimana dialektika menjadi alat berpikir dan bertindak bagi Tan Malaka dalam merumuskan jalan pembebasan. . . . Dalam semesta pemikiran revolusioner Indonesia, nama Tan Malaka menjulang sebagai tokoh yang tidak hanya bergerak di medan politik, tetapi juga di ruang filsafat dan ideologi.  Salah satu pernyataannya yang menggugah adalah saat ia menyebut Nietzsche sebagai tesis, Rousseau sebagai antitesis, dan Marx-Engels sebagai sintesis. Ini bukan sekadar kutipan indah, tetapi refleksi dar...

Paradoks Nikel di Raja Ampat

Image
Paradoks Nikel di Raja Ampat Oleh: Saskia Ubaidi Selama lebih dari dua dekade, Raja Ampat dikenal dunia sebagai surga biodiversitas laut dan model konservasi berbasis komunitas. Lautnya jernih, terumbu karangnya utuh, dan hutan-hutan karstnya relatif lestari. Namun narasi ini kini terancam oleh realitas baru yang muncul diam-diam yaitu ekspansi industri tambang nikel. Pulau Gag, salah satu bagian dari gugusan Raja Ampat, telah berubah menjadi zona industri. Sejak diberikannya izin produksi kepada PT Gag Nikel, anak usaha PT Antam Tbk pada 2017, aktivitas tambang mulai berlangsung secara penuh pada 2018. Dalam lima tahun terakhir, lebih dari 500 hektar hutan tropis telah hilang akibat pembukaan lahan tambang, sebagaimana dicatat dalam laporan Greenpeace Indonesia (2024). Ironi ini bukan hanya milik Raja Ampat, melainkan refleksi dari dilema yang lebih besar yaitu bagaimana sebuah negara seperti Indonesia harus menyeimbangkan ambisi transisi energi dengan pelestarian ekosiste...

Noice bagi mereka

Image
Noice bagi mereka Oleh: Saskia Ubaidi Ada yang ganjil dalam demokrasi kita hari ini. Ketika mahasiswa, pilar moral publik dan warisan dari semangat reformasi turun ke jalan memperingati Tragedi Trisakti dan Hari Buruh Internasional, mereka bukan hanya dibungkam, tapi ditetapkan sebagai tersangka. Dua puluh nama, dua puluh suara muda, dipaksa masuk ke dalam logika hukum yang terlalu sempit untuk memahami maksud dari kebebasan berekspresi. Pertanyaannya, apakah negara ini benar-benar terbuka pada kritik? Ataukah hanya terbuka pada kritik yang sudah diatur, dijinakkan, dan ditata supaya tidak terlalu mengguncang fondasi kekuasaan? Unjuk rasa mahasiswa Trisakti, yang seharusnya menjadi momen reflektif memperingati gugurnya rekan-rekan mereka pada 12 Mei 1998, justru berakhir dengan penetapan tersangka. Ironis, karena reformasi yang mereka perjuangkan dulu justru lahir dari keberanian mahasiswa untuk mengkritik kekuasaan yang otoriter. Kini, ketika generasi baru mencoba melakuka...

Kepergian Ray Dalio dan Sindiran terhadap Wajah Asli Tata Kelola Danantara

Image
Kepergian Ray Dalio dan Sindiran terhadap Wajah Asli Tata Kelola Danantara (Analisa Opini) Kabar mundurnya Ray Dalio dari Dewan Penasihat Danantara menyibak satu ironi besar dalam proyek ambisius Indonesia membangun kepercayaan investor lewat simbol global. Bukannya memperkuat legitimasi Danantara, Kehadiran Dalio justru menjadi pengingat pahit bahwa reputasi sebesar apa pun tak akan mampu menutupi lemahnya sistem, dan meritokrasi sejati tidak bisa dibangun hanya lewat pencitraan. Ketika Bloomberg merilis kabar bahwa Dalio memilih hengkang, publik dikejutkan bukan hanya oleh keputusannya, melainkan oleh cara diam yang menyertainya. Dalio tak memberi pernyataan resmi, namun justru mengunggah prinsip: “ Don’t use your pull to get someone a job” sebuah sindiran keras terhadap praktik titip-menitip jabatan.  Dalam politik simbolik Ernesto Laclau, Dalio sempat berperan sebagai empty signifier untuk menarik dukungan dan membangun legitimasi Danantara. Namun ketika simbol tak ...

Di Balik Jamuan Diplomatik: Menghitung Ulang Harga Investasi China

Image
Di Balik Jamuan Diplomatik: Menghitung Ulang Harga Investasi China Kedatangan Perdana Menteri China, Li Qiang, ke Indonesia pada akhir Mei 2025 menjadi headline penting dalam lanskap hubungan luar negeri kita. Tak hanya sebagai kunjungan kenegaraan simbolik, lawatan ini membawa janji investasi senilai USD 10 miliar (Rp 162 triliun) dan disertai narasi besar "multilateralisme sejati” dan solidaritas Global South. Namun di balik semangat persaudaraan dan sambutan hangat pemerintah Indonesia, muncul pertanyaan strategis, apakah Indonesia sedang memperkuat kedaulatan nasional, atau malah melapangkan jalan bagi ketergantungan baru? Proyek-Proyek Besar: Siapa Diuntungkan? Menurut laporan Kompas, investasi yang dijanjikan PM Li Qiang mencakup proyek-proyek di sektor hilirisasi, industri kimia, dan transportasi. Ini tampaknya selaras dengan visi pembangunan Presiden Prabowo Subianto yang menekankan nilai tambah dalam pengelolaan sumber daya alam. Tetapi publik masih trauma den...

Anak kontrakan di rumah sendiri

Image
Indonesia bukan bangsa kecil. Kita kaya akan sumber daya alam, populasi yang cukup besar dan produktif. Tapi semua potensi itu sering kali tenggelam dalam satu penyakit lama yaitu mental korup yang menjalar dari elite menembus ke  jantung pemerintahan bahkan dalam masyarakat sekitar kita.  Korupsi di sini bukan hanya soal suap atau proyek. Lebih dari itu, korupsi telah menjadi cara berpikir, cara memandang kekuasaan, dan cara kita menjalankan negara. Acapkali Kebijakan publik dibuat bukan berdasarkan kepentingan jangka panjang rakyat, melainkan atas dasar siapa yang dapat bagian. Pemerintahan hadir, tapi fungsinya sering semu, program digembor-gemborkan, tetapi hasilnya tidak menyentuh akar persoalan. Kita sedang berjalan, tapi di tempat. Demokrasi hanya jadi seremoni elektoral. Negara hadir dalam rupa fisik yaitu infrastruktur jalan, gedung, dan proyek megah, tetapi rapuh dalam visi dan integritas. Inilah kenyataan bangsa yang kehilangan arah. Kita melihat ini den...

Ketika Pers Dipaksa Bungkam, Dunia kehilangam Suara.

Image
Ketika Pers Dipaksa Bungkam, Dunia Kehilangan Suaranya Dalam peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia 2025, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, António Guterres, menyuarakan keprihatinan mendalam terhadap situasi kebebasan pers global. Ia menyatakan bahwa jurnalisme yang bebas merupakan fondasi dari keadilan, kemerdekaan, dan hak asasi manusia (United Nations, 2025). Namun, justru di berbagai belahan dunia, pers sedang berada dalam kondisi tertekan, dicekam sensor, bahkan ancaman kekerasan. Tekanan terhadap pers bukan hanya terjadi melalui represi langsung seperti penahanan atau intimidasi. Dalam era digital, bahaya baru justru hadir melalui penyebaran masif disinformasi dan ujaran kebencian yang merusak ekosistem informasi. AG Sulzberger, penerbit The New York Times, menambahkan bahwa internet saat ini dibanjiri konten clickbait, propaganda, dan narasi yang dibungkus dengan keahlian palsu, semuanya mengikis kepercayaan publik terhadap jurnalisme (UNESCO, 2025). K...